• Friday, 24 July 2020
  • Ngasiran
  • 0

Buddha Dharma pernah berkembang pesat, dan dianut oleh sebagian besar leluhur bangsa Indonesia. Yang terkenal paling tidak masa kerajaan Majapahit, Syailendra, dan Sriwijaya. Hal ini terbukti dengan banyaknya tinggalan sejarah berupa candi-candi Buddha, prasasti, dan juga naskah kuna yang tersebar diberbagai pelosok tanah air.

Banyak yang beranggapan runtuhnya kerajaan Majapahit, dan berpindahnya Hindu Buddha ke Islam membuat ajaran Buddha seolah menghilang dari Bumi Nusantara. Lalu bagaimana dengan ajaran Hindu Buddha yang sebelumnya menjadi pedoman masyarakat saat itu? Apakah benar-benar menghilang begitu saja?

Ternyata tidak, ajaran Buddha yang telah mengakar kuat pada masyarakat Nusantara pada masa itu tidak menghilang begitu saja setelah peralihan Hindu Buddha ke Islam. Di beberapa daerah ajaran itu masih dikenal, bahkan diajarkan secara turun-temurun meskipun tanpa “nama” Buddha Dharma. Setidaknya itu yang BuddhaZine tangkap dari obrolan ringan dengan beberapa sesepuh umat Buddha Desa Traji, Kecamatan Parakaran, Temanggung.

Seperti sudah disebutkan dalam beberapa artikel sebelumnya, Desa Traji merupakan salah satu desa di Kecamatan Parakan, Temanggung. Di desa itu (tak jauh dari lokasi vihara) terdapat beberapa situs candi tinggalan agama Buddha. Candi Setapan yang berjarak tak lebih dari 500 meter dari lokasi vihara, Situs Gunung Candi berjarak sekitar 1 kilometer, dan Situs Kayumwungan berada di desa lain namun masih berada di Parakan.

Berdasarkan artefak tinggalan, situs tersebut jelas candi tinggalan kerajaan Buddha. Candi Setapan adalah reruntuhan bangunana setupa, situs Kanyuwungan adalah tempat ditemukannya prasasti Kanyuwungan yang masih berhubungan dengan Candi Borobudur, sedangkan situs Gunung Candi berdasarkan artefak tersisa dulu berbentuk bangunan yang ada dalam panel relief Candi Borobudur.

Tak hanya tiga situs tersebut, di Kecamatan Parakan memang banyak ditemukan situs tinggalan kerajaan Hindu Buddha. Namun hingga kini yang ditengarai sebagai situs Buddha baru tiga situs itu. Menurut keterangan umat Buddha setempat, situs Buddha berada di sebelah kanan jalan, sedangkan di sebelah barat jalan raya adalah candi-candi Hindu.

“Menurut cerita dari leluhur kami, candi yang berada di sebelah kanan jalan memang candi Buddha,” kata Budi Yanto, sesepuh umat Buddha Desa Traji. Melihat keberadaan Vihara Metta Lokha yang berada di tanah leluhur Hindu Buddha, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah adakah kesinambungan antara Buddha Dharma yang berkembang pada masa lalu dengan yang sekarang?

Dalam ingatan Mbah Bud, Buddha Dharma berkembang di Desa Traji sejak tahun 1962. Sebelum itu, kebanyakan dari mereka menganut spiritualitas Jawa. “Dari Guru Malatan (nama sebuah desa di Lereng Gunung Sindoro) itu para Mbah Buyut sebagian umat Buddha Traji belajar falsafah kehidupan,” tutur Mbah Bud.

Sosok Guru Malatan mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan spiritual masyarakat Traji pada masa kolonial Belanda. Meski begitu, dalam mengajar Ia hanya melakukannya pada waktu-waktu tertentu. “Masa itu cara penyampaian ajaran oleh Guru Malatan harus dengan hati-hati dan secara sembunyi-sembunyi. sebab masa itu masih banyak orang mencurigai ajaran dari Guru Malatan sebagai ilmu klenik. Biasanya Guru Malatan akan mengajar pada malam hari di jam-jam tertentu, konon mendekati tengah malam,” cerita Mbah Bud.

Salah satu ajaran sloka yang masih diingat oleh Mbah Bud dari ajaran guru maladan adalah ‘mati sak jroning urip’. Dalam pengertian Mbah Bud sebagai umat Buddha, sloka tersebut di artikan sebagai meditasi. Mbah Bud pun meyakini bahwa apa yang diajarkan Guru Malatan dahulu masih berkaitan dengan ajaran Buddha. Hal itu diperkuat dengan apa yang pernah didengarnya dari buyut sewaktu berdoa. Dalam doanya, Mbah Buyutnya pernah menutup doanya dengan ucapan sadhu.

Di Desa Traji saat ini masih tersisa murid dari Guru Malatan, namanya Mbah Gini. Sayang dalam kunjungan itu BuddhaZine tidak berhasil menemui beliau karena kondisinya sudah sepuh. Tapi menurut cerita dari umat Buddha setempat, berkembangnya agama Buddha di Desa Traji membuat Mbah Gini yang semula belajar spiritualitas Jawa bersama Guru Malatan serasa menemukan ajaran yang selama ini menjadi rahasia.

“Setelah tahu ada agama Buddha yang masuk ke daerah Traji, Mbah Gini lalu bergabung untuk menjadi umat Buddha.‘Eee..aku ra iso nek ra melu iki’ (aku nggak bisa kalau nggak ikut ini (agama Buddha),” turut Sudaryono menirukan apa yang dikatakan Mbah Gini.

Pernyataan yang pernah diungkapkan Mbah Gini ketika awal mengenal agama Buddha itu seolah menjadi penekanan bahwa apa yang beliau dapatkan dari Guru Malatan adalah ajaran Buddha. Atau minimal ada kesinambungan dengan ajaran Buddha saat ini.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *