• Monday, 1 February 2016
  • Ngasiran
  • 0

Dalam sebuah dialog nasional tokoh agama Buddha yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kemenag di Jakarta tahun 2014 lalu, sempat muncul isu rujuk nasional antara dua lembaga besar agama Buddha yaitu Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Namun, wacana tersebut sepertinya mustahil terwujud melihat perdebatan dan ego sektarian yang begitu kuat di kalangan para tokoh agama Buddha di tingkat nasional.

Wacana tersebut sempat digulirkan kembali oleh mahasiswa Buddhis se-Jabodetabek pada acara pembinaan mahasiswa Buddhis yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmahbudhi) yang bekerjasama dengan Ditjen Bimas Buddha di Aula Museum Bank Mandiri Jakarta, tapi sama saja, pasca dialog wacana tersebut seolah menghilang tanpa tindak lanjut.

Berbeda dengan para tokoh Buddhis di kalangan atas, praktik kebersamaan tanpa memandang organisasi keagamaan Buddha maupun sektarian sudah terjadi di kalangan bawah. Umat Buddha di Kabupaten Jepara misalnya, dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno, dosen STAB Nalanda menunjukkan bahwa komunikasi antar umat Buddha dengan yang berbeda mazhab dan tradisi sudah berjalan dengan baik. Juga dalam melakukan kegiatan keagamaan Buddha, umat Buddha selalu melakukannya bersama-sama.

Begitu juga dengan umat Buddha Temanggung. Pada masa perpecahan sekte, organisasi dan majelis umat Buddha Temanggung menjadi salah satu korban perpecahan tersebut. Banyak umat Buddha yang “bingung” dan pindah agama karena ketegangan antar sekte.

Namun dari hampir di semua basis umat Buddha yang mengalami perpecahan di daerah Temanggung, terdapat kelompok-kelompok kecil yang memulai membangun kebersamaan meskipun berbeda mazhab dan tradisi. Umat Buddha di Desa Gandon, Kecamatan Kaloran misalnya, terdapat sekolompok kecil umat Buddha dari beberapa dusun yang telah memulai kegiatan bersama sejak tahun 2007.

Sumarmi (46), umat Buddha Vihara Wirya Dhamma, Dusun Mlondang, Desa Gandon menuturkan bahwa umat Buddha di beberapa vihara di Desa Gandon, walaupun berbeda mazhab dan majelis, mereka setiap minggu melakukan kegiatan bersama.

Ia memberi contoh, Vihara Wirya Dhamma yang bermazhab Theravada, jarang tersentuh pembinaan. “Daripada vakum tidak ada kegiatan, ya kita gabung dengan vihara lain dalam melakukan kegiatan,” ujar Sumarmi.

Desa Gandon merupakan salah satu desa di kecamatan Kaloran, Temanggung yang hampir di semua dusun terdapat umat Buddha walaupun merupakan umat minoritas di setiap dusunnya. Seperti Dusun Mlondang yang hanya terdapat 23 kepala keluarga (KK), Dusun Jaranan 19 KK, Dusun Brongkol 13 KK, dan Dusun Mulyosari 11 KK.

“Umat Buddha kan minoritas ya, jadi harus ada kegiatan supaya umat aktif dan bisa memahami ajaran Buddha dan menambah keyakinan umat. Itulah awalnya sehingga kita dari vihara di Desa Gandong sepakat melakukan kegiatan anjangsana, setiap minggu kita adakan berbagai kegiatan di vihara secara bergantian. Tidak hanya puja bakti, kita juga belajar puja bakti secara Pali, Sansekerta, dan Mandarin,” jelas ibu dua anak ini.

Sebelum ada kegiatan bersama, Sumarmi mengaku bahwa umat Buddha di Gandong sempat mengalami kebingungan khususnya umat Buddha di Dusun Jaranan.

“Dulu di Dusun Jaranan ada seorang bhiksu, tapi akhirnya lepas jubah. Nah ini umat menjadi bingung bahkan ada yang mempertanyakan, ‘Lha bhiksunya saja lukat (lepas jubah), terus kita ikut siapa?’ Ya saya jawab, ‘Ya ikut Sang Buddha to’.”

Setelah melakukan kegiatan bersama, umat Umat Buddha di empat dusun tersebut semakin mempunyai keyakinan dan aktif dalam setiap kegiatan, bahkan umat Buddha di Dusun Mlondang walaupun minoritas dipercaya menempati posisi-posisi strategis di pemerintahan dusun seperti, ketua kelompong tani, kepala dusun, sampai pengurus ibu-ibu PKK. Bukan hanya itu, dengan diadakannya berbagai kegiatan, umat juga semakin aktif dan kesadaran akan pentingnya pendidikan juga tumbuh, sehingga anak-anak Buddhis dari keempat dusun tersebut paling rendah berpendidikan SMA.

Namun kebersamaan antar sekte dan majelis juga belum bisa diterima di semua kalangan umat Buddha dari daerah lain. “Dulu sempat ada yang bilang, ‘Mlondang itu kan Theravada ya, kok kebaktiannya ikut-ikut Mahayana?’, tapi setelah diberi penjelasan ya semua bisa menerima,” jelasnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara