• Saturday, 3 August 2019
  • Billy Setiadi
  • 0

Desa Sekar Gadung begitu namanya lebih dikenal oleh masyarakat Kab. Blitar. Secara administrasi nama resminya adalah Desa Balerejo II. Terletak di Kecamatan Panggungrejo, Kab. Blitar, Jawa Timur. Letaknya tak jauh dari pantai. Lebih terkenal dengan nama Sekar Gadung karena dulu di desa ini berdiri pabrik kapuk Sekar Gadung milik Belanda yang tersohor pada zamannya. Desa ini tergolong sangat heterogen. Terdapat empat agama yang ada di desa ini, Islam, Kristen Protestan, Katolik, dan Buddha.

Hidup saling berdampingan tanpa ada konflik dan sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Siapa sangka umat Buddha di desa ini tersisa tinggal 12 KK (Kepala Keluarga) dengan satu cetiya yang berdiri dengan nama Cetiya Buddha Bhavana. Umat didominasi oleh golongan sepuh (berumur).

Persis di belakang cetiya terdapat rumah umat. Seorang Mbah-mbah (Kakek-kakek) dengan istrinya yang berprofesi sebagai buruh tani. Mereka berdua menempati rumah “gedhek” yakni rumah yang berdinding anyaman bambu dengan beralaskan tanah. Tanpa semen, tembok, ubin, bahkan tanpa ornamen-ornamen yang menghiasi rumah mereka.

Diantar oleh Pak Tarwadi seorang penyuluh agama Buddha non-PNS, sekelompok pemuda Buddhis yang mengatasnamakan Gerakan Millenial Buddhis Indonesia (GEMBI) mengunjungi umat-umat desa ini. Sekadar melihat kondisi dan memberikan harapan bahwa generasi muda Buddhis tetap ada di ruang-ruang yang tak banyak tersentuh sebagian orang.

Pak Tarwadi tahu persis kondisi umat desa ini karena ia masuk ke sini sejak tahun 80’an, sewaktu dirinya memakai jubah. Pak Tarwadi menceritakan sewaktu dirinya pertama kali berkunjung ke Sekar Gadung, menyaksikan umat desa ini melakukan persembahyangan hanya di kandang ayam karena tidak memiliki tempat.

Dahulu umumnya umat Sekar Gadung menganut ajaran Buddha Jawi Wisnu. Aliran Buddhis yang tidak cukup familiar dalam beberapa dekade terakhir. Ajaran Buddha asli masyarakat Jawa yang tidak terdapat di negara manapun selain Indonesia. Alirannya di luar term aliran ortodoks.

Maksud dari ortodoks di sini ialah agama atau posisi filosofis yang sesuai dengan pemahaman asli dan harafiah suatu doktrin. Atau mempunyai arti yang lebih sempit sebagai komitmen suatu standar yang benar, yang berlaku secara umum. Di Jawa Timur sekarang hanya tersisa pada umat di Alas Purwo, suatu daerah perhutanan di Banyuwangi. Mbah Karto menceritakan bahwa dulu umat di Sekar Gadung dibina oleh seseorang bernama Misran pada tahun 50-60’an.

Kemungkinan Misran juga melakukan pembinaan di Desa Blumbang, Desa Bumiayu, dan Desa Sumberjo yang masih satu budaya dan secara demografi masih berdekatan. Di ketiga desa ini juga masih terdapat umat Buddha sampai sekarang. Namun Misran menghilang bak ditelan bumi pasca kejadian 1965 (Peristiwa G-30S PKI).

Karena ajaran-ajaran kepercayaan “Jawa” di tahun itu sangat diidentikan dengan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) oleh Pemerintahan Orde Baru. Sehingga banyak dari mereka yang menjadi korban pembunuhan massal.

GEMBI juga menemui dan berbincang dengan Kepala Desa Balerejo II yang rumahnya persis berada di depan Cetya. Pak Suprans selaku Kades menyambut dengan baik kedatangan GEMBI. Pak Suprans juga menceritakan bagaimana kondisi sosial masyarakat Desa Sekar Gadung yang rukun dan bisa hidup berdampingan.

Ia sempat menceritakan bagaimana dulu Desa Sekar Gadung sempat hampir diserbu pembunuhan massal penumpasan PKI. Karena waktu itu banyak juga petani Sekar Gadung yang menjadi anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) sebuah sayap organisasi dari PKI yang khusus menaungi kelompok-kelompok tani.

Namun semua bisa diredam dan dicegah oleh seorang purnawirawan KNIL (Tentara zaman Hindia Belanda) dan seorang Pastor dari Keuskupan Malang yang menjadi tokoh di desa tersebut, sehingga tragedi berdarah pun tak sampai terjadi di desa ini. Sebab itu pula ajaran Buddha Jawi Wisnu yang dianut para umat Buddha Sekar Gadung bisa bertahan sampai tahun 80’an akhir. Mayoritas di Desa Sekar Gadung beragama Katolik sampai sekarang.

Teringat pepatah seorang guru bangsa, Gus Dur yang mengatakan “Tidak penting apa agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang. Orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.” Kurang lebih waktu itu banyak yang berterima kasih dengan kedua tokoh di desa tersebut.

Namun Pak Suprans selaku kepala desa juga menyayangkan pertumbuhan umat Buddha di Desa Sekar Gadung yang sangat lambat dan perhatiannya minim. Ia mengatakan bahwa kurangnya kaderisasi yang dilakukan untuk umat Buddha Desa Sekar Gadung sehingga generasinya putus.

Pak Suprans memberikan peluang sebesar-besarnya pada masing-masing agama untuk berkembang, tentunya tanpa menabrak nilai-nilai kerukunan yang ada dan disepakati oleh masyarakat di Desa Sekar Gadung. Bahkan Pak Suprans mempersilakan orang-orang luar untuk menginap di Desa Sekar Gadung guna mempelajari nilai-nilai keberagaman dan kerukunan yang ada di Desa Sekar Gadung tanpa melihat dari latar belakang keagamaan manapun.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *