Ribuan umat Buddha mengikuti perayaan Tri Suci Waisak 2567 BE/2023 di Candi Sewu Kecamatan Prambanan, Kab. Klaten, Jawa Tengah, Minggu (4/6). Perayaan ini diselenggarakan oleh Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) dengan mengusung tema “Harmonis Masyarakat Damai Negaranya”.
Perayaan dihadiri oleh puluhan anggota Sangha Agung Indonesia (SAGIN) dan para pejabat pemerintah setempat. Umat yang datang dalam perayaan didominasi dari daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Upacara diawali dengan pensakralan altar, dilanjutkan prosesi persembahan sarana puja dari Candi Lumbung menuju pelataran Candi Sewu dengan berjalan kaki sejauh 500 meter. Prosesi diikuti oleh anggota Sangha dan umat yang membawa amisa puja, tumpeng serta berbagai hasil tani. Sesi pentas seni dan sambutan-sambutan dilaksanakan setelah detik-detik Waisak, sebagai penutupan.
Ketua Panitia, William Hardikar menyampaikan bahwa rangkaian perayaan dihelat selama dua hari sejak Sabtu, 3 Juni 2023.
“Rangkaian perayaan dimulai sejak Sabtu, 3 Juni dengan kegiatan temu pemuda Sekber Jawa Tengah dan DIY, pengambilan air Waisak dari berbagai sumber yang ada di Jawa Tengah dan DIY, pengambilan api abadi dari Mrapen, Grobogan, Jawa Tengah, dan dialog pada malam keakraban pemuda Sekber yang juga dihadiri tokoh lintas iman,” kata William.
Pesan Waisak
Bhante Khemacaro, mengisi pesan Dhamma dengan mengajak seluruh umat Buddha untuk menghadirkan makna Waisak dalam kehidupan bermasyarakat. Ia menekankan umat Buddha untuk memahami peran setiap individu sesuai Dhamma demi terciptanya keharmonisan.
“Kita punya harapan bersama ingin melakukan sujud dan bakti kita untuk memperingati Tri Suci Waisak, dimana tema SAGIN tahun ini adalah “Harmonis Masyarakat Damai Negaranya”. Hal terpenting dalam peringatan ini adalah bagaimana kita menghadirkan makna Waisak dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu memahami peran diri kita masing-masing. Betapa pentingnya hidup di dalam masyarakat untuk memilah tugas, kewajiban, antara rumah tangga dengan pabbajita. Setelah memilah dan mengerti peran masing-masing, kita bisa memilih bagaimana kita berbuat untuk menjalani kehidupan kita sesuai Dhamma,” papar bhante mengawali ceramah.
Bhante menjelaskan, SAGIN sangat menekankan bagi umat Buddha untuk membina keharmonisan dalam keluarga, yang ia nilai menjadi cikal bakal keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Oleh karenanya, bhante mengajak seluruh umat Buddha yang hadir untuk memperkenalkan Dhamma kepada anak-anak sejak usia dini.
“Oleh sebab itu saya merasa bangga kepada seluruh umat Buddha yang memperkenalkan Dhamma pada anak-anaknya sejak dini. Ini akan memberikan pemahaman yang baik dari waktu ke waktu, mereka akan memiliki keyakinan dan pemahaman Dhamma yang baik sebagai bekal menjalani hidup bermasyarakat.”
Menurut bhante, peran orang tua sangat penting dalam membentuk pola pikir hidup harmonis bagi anak-anaknya. Dimana hal ini sudah tertuang dalam ajaran Buddha yang menjelaskan tugas serta kewajiban dalam rumah tangga.
“Peran orang tua dan anak harus dipahami, harus dipahami, sehingga mereka tahu bagaimana memerankan posisi diri dalam keluarga. Dengan peran orang tua yang selalu memperkenalkan Dhamma kepada anak, Dhamma akan terjaga dengan baik.”
Setelah terbentuk keharmonisan dalam keluarga, bhante melanjutkan, akan menjadi bekal bagi umat Buddha untuk turut menciptakan keharmonisan dalam masyarakat. Terkait hal ini, bhante menerangkan empat hal yang hendaknya dilakukan Umat Buddha untuk menggapai kesejahteraan dan keharmonisan dalam hidup.
“Pertama adalah melakukan kebajikan, harus sudah dilakukan. Yang kedua adalah kebajikan harus dipertahankan. Ketiga, ini yang harus ditekankan yaitu punya sahabat-sahabat yang senantiasa pakem di dalam kehidupan baik secara spiritual maupun bermasyarakat. Keempat, setelah punya sahabat akan menimbulkan masyarakat yang baik,” terang bhante.
Selain itu bhante juga menghimbau umat untuk praktek cinta kasih dan kasih sayang sebagai dasar keharmonisan. Sekilas bhante memberikan contoh praktek dari para Bhikkhu Thudong yang telah menyelesaikan perjalanan panjang, yang ia nilai memberikan nilai keharmonisan.
“Contoh nyata, begitu luar biasanya telah ditunjukkan oleh para bhikhu yang berjalan ribuan kilo meter, tentunya haparan kita memberikan contoh yang terbaik. Inilah gambaran siswa-siswa Buddha. Tidak pernah menghadirkan hidup yang menyakiti satu sama lain,” lanjut bhante.
Bhante juga menambahkan contoh lain praktek Dhamma yang dilakukan oleh umat Buddha Pantura yaitu praktek Atthasila sebulan penuh menjelang Hari Raya Waisak. Selain menjadi wujud nyata praktek Dhamma, hal ini menurut bhante juga menjadi salah satu cara untuk menumbuhkan dan mengembangkan cinta kasih di dalam diri. Maka dari itu, bhante juga mendorong segenap umat yang hadir untuk meneladani praktek tersebut.
“Saya mengapresiasi latihan Atthasila sebulan penuh menjelang Waisak oleh umat Buddha Pantura. Ini menjadi wujud nyata praktek ajaran Buddha. Kami harap tahun depan menjelang Waisak, umat Buddha yang hadir di sini mulai latihan Atthasila juga.”
Bhante menilai, upaya tersebut adalah cara bagaimana umat Buddha mampu menciptakan keharmonisan dalam hidup bernegara dengan segala keragamannya.
“Masyarakat Indonesia itu beragam, banyak sekali perbedaan yang kita jumpai, tetapi cinta kasih dan kasih sayang tetap bisa merangkul semua perbedaan itu. Menjaga keharmonisan bisa membuat negara ini menjadi negara yang benar-benar diharapkan oleh para pendiri bangsa, pemerintah, dan kita semua,” tutup bhante.[MM]
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara