Ngadas, merupakan salah satu desa di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa ini masuk dalam wilayah pegunungan Tengger, berada di ketinggian 2.150 mdpl, membuat Desa Ngadas dijuluki Negeri Kayangan.
Desa Ngadas terbagi atas dua dusun, Dusun Jarak Ijo dan Dusun Ngadas sendiri. Desa dengan luas area sekitar 395 hektar ini dihuni oleh 516 kepala keluarga yang sebagian besar bermata pencarian sebagai petani kentang. Berdasarkan keyakinan, saat ini terdapat tiga agama yang dianut oleh masyarakat Desa Ngadas. Agama Buddha masih menjadi mayoritas, disusul Islam dan Hindu. Meskipun begitu, kehidupan masyarakat tetap bejalan harmonis.
Puluhan upacara adat tradisi masih dijalankan pada hajatan dan hari-hari tertentu. Salah satunya adalah yang kami (BuddhaZine) temui saat liputan Perayaan Waisak umat Buddha Ngadas, yaitu upacara Karak-karakan kuda lumping.
Upacara ini digelar hari Sabtu (8/6) sehari sebelum perayaan Waisak. Menurut keterangan dari Endiyanto, salah satu warga Ngadas, upacara Karak-karakan Kuda Lumping ini digelar dalam rangka hajatan khitan Dodi, anak dari pasangan Bapak Muyanto dan Ibu Akim. “Karak-karakan kuda lumping, tradisi masyarakat Ngadas yang biasa dipakai pada hajat sunatan. Ini dimaknai supaya anaknya gembira dan mendapatkan berkah,” kata Endriyanto yang masih kerabat yang punya hajat.
Baca juga: Waisakan Bersama Masyarakat Suku Tengger di Ngadas, Jawa Timur
Selain digunakan dalam hajat sunatan, karak-karakan juga sering digunakan dalam hajat tugel kuncung (cukur kuncung) bagi anak-anak perempuan yang masih ada unsur keturunan dari nenek ibunya.
Tempat duduk dengan hiasan indah diletakkan di setiap punggung kuda yang kemudian digunakan untuk duduk manten (anak yang akan disunat) dan juga untuk anak-anak pengiring yang masih ada hubungan kerabat dengan manten. Ujung barisan adalah para penabuh gamelan khas Desa Ngadas yang mengalun sepanjang prosesi karak-karakan berlangsung. Rombongan khusus yang melaksanakan karak-karakan biasa disebut rombongan kuda joget yang merupakan penduduk asli Desa Ngadas.
“Sebelum karak-karakan mulai jalan, terlebih dahulu rombongan kuda joget melakukan ritual semeningan arak di tempat yang punya hajat. Baru setelah ritual selesai dilaksanakan prosesi karak-karakan,” terang Bu Supriasih, pembina umat Buddha Desa Ngadas.
Sesepuh desa dengan berbusana adat berlaku sebagai pemimpin karak-karakan, tepat di belakang sesepuh desa diikuti seorang anak kecil yang membawa piring berisi sesajen sebagai simbol keselamatan dan kelancaran selama prosesi berlangsung.
Dengan dipimpin oleh sesepuh desa karak-karakan berjalan dari rumah yang punya hajat menuju ke pemakaman desa untuk melakukan nyekar ke makam leluhur sebagai wujud penghormatan kepada leluhur. Nampak di pintu masuk makam terdapat tiga orang setengah baya berbusana adat yang menjaga sesaji serta membantu rombongan manten untuk nyekar di makam. Sebelum nyekar di makam leluhur sendiri, manten dan pengiringnya melakukan nyekar di makam Mbah Sedek yang merupakan leluhur di Desa Ngadas, dalam istilah Jawa yang mbobak citak desa.
Selesai nyekar karak-karakan menuju rumah Kepala Desa untuk makan bersama, hal ini sebagai wujud penghormatan dari rakyat terhadap pemimpinnya. Dari rumah Kepala Desa kemudian menuju rumah Mbah Pandita Dukun untuk nimbul manten dan juga makan bersama di rumah Mbah Pandita Dukun. Nampak istri Mbah Pandita Dukun memberikan minuman air bening yang sudah diberikan doa dari Mbah Pandita Dukun untuk manten dan juga anak-anak yang menjadi pengiring manten.
“Ini namanya nimbul manten, dengan cara di kasih air bening untuk diminumkan kepada anak yang mau disunat juga kepada anak-anak yang mengiringi manten. Harapannya supaya anaknya diberi kesehatan juga supaya lancar segalanya dan juga selamat,” ungkap istri Pak Sutomo (Mbah Pandita Dukun).
Akhir prosesi rombongan karak-karakan berkumpul kembali ke rumah yang punya hajat untuk melanjutkan acara hajatan.
Selain menjadi cermin masih kuatnya adat dan budaya di Desa Ngadas namun tradisi ini menjadi salah satu cermin masih terjaganya toleransi antarumat beragama di Desa Ngadas. Hal bisa terlihat dari salah satu contoh hajatan sunat, yang mana keluarga yang punya hajat ternyata berbeda keyakinan dengan Mbah Pandita Dukun, namun tetap yang punya hajat patuh terhadap tradisi yang sudah terbentuk.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara