• Friday, 29 March 2024
  • Surahman Ana
  • 0

Foto     : Dok. Panitia

Pada Selasa (26/03/2024), webinar bertajuk “Puasa dalam Tradisi Ragam Agama dan Kepercayaan” menghadirkan Bhante Jayamedho sebagai perwakilan Sangha Theravada Indonesia (STI) untuk memaparkan makna puasa dalam pandangan Buddhisme. Kegiatan ini merupakan webinar ketiga selama 2024 yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru. Acara diikuti oleh sekitar delapan puluh peserta dan diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom serta live di channel YouTube Yayasan Cahaya Guru.

Turut hadir dalam acara ini empat pembicara lintas iman lainnya yaitu Rabbi Yaakov Baruch (Sinagoga Sha’ar Hashamayim Tondano), Sr. Vincent, HK (Kongregasi Suster Hati Kudus, Keuskupan Tj. Karang), Nur Rofiah (Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia), dan Maradi Naipospos (Ugamo Malim).

Dalam webinar tersebut, Bhante Jayamedho menjelaskan bahwa kata “puasa” berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu vassa atau warsa, yang artinya kurun waktu. Khususnya bagi para bhikkhu, vassa dilakukan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sekitar bulan Juli sampai Oktober. Puasa dalam konteks ini, bhante menjelaskan, adalah sebuah bentuk penahanan diri dari nafsu-nafsu seperti keserakahan, kebencian, kedengkian, dan iri hati. Sebelum menjalankan vassa, bhikkhu harus memiliki tekad atau niat selama tiga bulan untuk menjaga diri dan menahan indrianya.

“Bhikkhu terikat dengan 227 peraturan, maka yang paling utama adalah indrianya yang harus terkendali dengan baik,” ungkap Bhante Jayamedho. Ia menjelaskan bahwa setiap indrianya harus dijaga, seperti mata dari tontonan yang tidak pantas, telinga dari mendengarkan hal-hal yang tidak bermanfaat, dan mulut dari berbohong atau berkata kasar. Bahkan, hidung pun harus dijaga dari mencium bau-bauan yang mungkin memicu nafsu. Selain itu, badan juga harus dijaga dari melakukan hubungan seksual.

“Puasa bukan hanya soal menahan diri untuk makan, tetapi juga tentang mengendalikan seluruh indrianya demi kehidupan yang rukun dan damai,” tambahnya.

Namun, bhante menekankan bahwa pengendalian diri bukan hanya dilakukan selama puasa, tetapi juga dalam keseharian. “Jangan hanya pada saat puasa saja indrianya terkendali, tetapi setelah puasa pun, pengendalian diri harus tetap dijaga,” ujarnya.

Dalam konteks umat awam, tradisi puasa juga dijalankan pada bulan gelap dan bulan purnama dengan praktek lima aturan moral (Pancasila) atau delapan aturan (Athasila). Bhante menyatakan bahwa tradisi ini telah dilakukan sejak zaman Buddha sebagai bentuk pengendalian diri untuk menghindari perilaku buruk yang dapat merusak kedamaian dalam masyarakat.

“Puasa memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai keselarasan dan kedamaian,” tegas Bhante Jayamedho.

Bhante juga mengungkapkan bahwa bagi bhikkhu yang terikat dengan 227 peraturan, pembacaan ulang peraturan dilakukan setiap bulan gelap dan bulan purnama agar tidak lupa. Sedangkan bagi umat awam, tradisi pembacaan biasa dilakukan pada saat puja bakti setiap hari Sabtu atau Minggu, dengan mengulang prinsip-prinsip etika seperti menghindari pembunuhan, pencurian, tindak asusila, perkataan tidak benar, dan konsumsi makanan atau minuman yang memabukkan.

“Pengendalian diri ini sangat penting untuk mencapai keselarasan dalam kehidupan,” pungkas Bhante Jayamedho.

Dalam konteks Buddhisme, puasa bukan sekadar menahan diri dari makanan, melainkan sebuah upaya untuk mengendalikan seluruh indrianya demi mencapai kehidupan yang harmonis dan damai. Dengan menjaga diri dari nafsu-nafsu negatif, umat Buddha diyakini dapat menciptakan kedamaian dalam diri dan masyarakat secara keseluruhan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara