Secara historis wilayah Kayong Utara adalah bagian dari Kerajaan Tanjungpura di masa lalu yang merupakan kerajaan tertua di wilayah Kalimantan Barat. Kerajaan Tanjungpura tidak dapat lepas dari corak Hindu dan Buddha karena merupakan bagian dari wilayah kerajaan Sriwijaya dan kemudian menjadi bagian dari kerajaan Majapahit.
Kota Sukadana pernah menjadi ibukota Kerajaan Tanjungpura sekaligus pusat perdagangan, sehingga tidak heran apabila banyak masyarakat keturunan Tionghoa yang menetap di wilayah ini yang mana banyak pedagang dan pekerja dari Tiongkok yang mengunjungi Sukadana.
Kabupaten Kayong Utara masa kini adalah sebuah kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat dan ibu kotanya adalah Sukadana. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan undang-undang Nomor 6 Tahun 2007 pada tanggal 2 Januari 2007. Kabupaten Kayong Utara terdiri dari 6 Kecamatan yaitu Kepulaun Krimata, Pulau Maya, Sukadana, Simpang Hilir, Seponti dan Teluk Batang dengan total 43 desa.
Jumlah umat Buddha menurut data Kementerian Agama Kabupaten Kayong Utara pada tahun 2010 berjumlah 982 jiwa yang tersebar di Kecamatan Teluk Batang, Simpang Hilir, Sukadana dan Pulau Maya.
Tempat ibadah agama Buddha hanya ada 3 yaitu Vihara Kwan Im di Desa Rantau Panjang, Simpang Hilir; Vihara Zi Heng (Zi Heng Fo Tang) di kampung Ampera, Simpang Hilir dan Vihara He Xin di Desa Sungai Paduan, Teluk Batang. Sedangkan di wilayah Sukadana hanya ada kelenteng yang dipakai untuk ritual oleh umat Buddha dan Khonghucu.
Komunitas Buddhis tersebar di tiga Kecamatan yaitu Sukadana, Simpang Hilir dan Teluk Batang. Salah satu kantong umat Buddha adalah desa Padu Banjar yang terletak di Kecamatan Simpang Hilir. Bahkan kepala desanya adalah umat Buddha yang bernama Kasdy.
Infranstruktur desa sudah cukup bagus karena berada di jalan poros Sukadana-Pontianak (jalan provinsi). Masyarakat Desa Padu Banjar di dominasi oleh suku Melayu dan Tionghoa dengan mata pencaharian sebagai nelayan, petani dan pedagang.
Berbicara masalah pembinaan di bidang agama dan keagamaan Buddha dapat dikatakan sangat minim bahkan nihil, khususnya yang dilakukan oleh pemerintah melalui kementerian agama yaitu bimas Buddha. Tidak ada pihak yang perlu dipersalahkan namun hal ini harus menjadi perhatian agar ada perubahan ke arah yang lebih baik.
Wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang sangat luas dengan sumber daya manusia dan anggaran bimas Buddha yang terbatas memang sering dianggap sebagai salah satu kendala utama minimnya pembinaan kepada umat di daerah-daerah hampir seluruh wilayah Kalimantan Barat. Belum lagi bicara jarak dan akses transportasi yang cukup menantang dari ibu kota provinsi ke daerah-daerah yang menjadi kantong umat Buddha.
Realita demikian hendaknya menjadi pemacu semangat untuk terus berjuang dalam memberi pelayanan terbaik dalam menjaga Buddhadhamma. Berbagai permasalahan yang ada bukanlah halangan namun kesempatan sebagai ladang kebajikan yang harus diolah. Problem utama adalah lemahnya pembinaan umat di bidang keagamaan dan pendidikan.
Minimnya pengetahuan agama Buddha menjadi titik lemah sehingga banyak yang goyah keyakinanya. Di kehidupan sosial sulitnya untuk menikah secara agama Buddha dan mendapat akta perkawinan secara agama Buddha karena tidak ada petugas yang melayani perkawinan agama Buddha, akhirnya banyak umat yang hanya menikah secara tradisi atau bahkan cari jalan pintas menikah di agama lain.
Demikian juga di bidang pendidikan, tidak adanya guru agama Buddha, hampir semua siswa beragama Buddha terpaksa memilih ikut agama Katolik atau Protestan di sekolah dan dampaknya sudah dapat diketahui banyak siswa yang akhirnya pindah agama.
Kenyataan demikian memberi stigma bahwa menjadi umat Buddha itu berat, susah, sulit dan banyak tantangan karena status double minority (Tionghoa-Buddhis). Bagi yang kokoh keyakinanya mampu untuk bertahan, namun bagi yang lemah akan memilih jalan lain dengan pindah agama dengan alasan mencari kemudahan terhadap akses sosial dan sebagainya.
Sebagai seorang penyuluh yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah melalui kementerian agama, ini merupakan kesempatan besar untuk memberi pelayanan terbaik dan memberi solusi kepada umat Buddha agar ada perubahan yang lebih baik.
Salah satu upaya yang di tempuh adalah pendataan siswa beragama Buddha di sekolah-sekolah negeri, menjalin komunikasi dengan pihak sekolah agar ada kegiatan pembinaan secara agama Buddha dan upaya mendatangkan guru agama Buddha untuk membimbing para siswa agar hak sebagai siswa dapat dipenuhi. Ini adalah sebuah awal menuju sejarah baru untuk menyiram benih Dhamma di Bumi Tanjungpura, meski benih itu kini sedang layu.
Tradisi Tionghoa menyelamatkan agama Buddha
Keberadaan umat Buddha di kalangan masyarakat Tionghoa tidak lepas dari keberadaan tradisi yang masih tetap di jaga. Ritual agama, adat dan budaya Tionghoa telah menyatu dengan agama Buddha dan juga agama lain seperti Tao dan Khonghucu.
Tanpa adanya tradisi yang dijaga maka agama Buddha juga sudah luntur, hal ini terlihat dari kenyataan yang mana apabila masyarakat Tionghoa masih kuat dalam memegang tradisi leluhur mereka maka agama Buddha di situ juga tetap bertahan khususnya secara kuantitas. Namun sebaliknya di lingkungan masyarakat Tionghoa yang kurang menjaga tradisinya maka agama Buddha juga luntur, banyak yang sudah beralih keyakinan dengan berbagai alasan.
Kenyataan ini terlihat jelas di kalangan masyarakat Tionghoa di wilayah Kayong Utara, dimana mereka masih cukup kuat menjaga tradisi dan budayanya maka disitu agama Buddha juga masih terjaga meski hanya sebatas identitas.
Masyarakat masih melakukan berbagai ritual, acara adat dan kegiatan budaya Tionghoa secara baik sehingga nilai-nilai tersebut juga diajarkan pada anak-anak mereka, dengan demikian identitas sebagai umat Buddha juga diturunkan dari generasi ke generasi.
Namun semua itu kini sedang berada di persimpangan ketika arus moderenisasi telah menerjang sendi-sendi tradisi. Siar agama dengan menyerang tradisi juga menjadi ancaman tersendiri. Anak-anak masa kini digiring untuk menghakimi tradisi dan budaya leluhurnya karena dianggap kuno, ribet, bahkan di cap sesat.
Tradisi bakti pada orangtua atau leluhur memiliki tempat yang sangat penting dalam budaya Tionghoa. Mereka yang sudah meninggal akan selalu di kenang oleh generasi berikutnya dengan berbagai cara berupa ritual dan sebagainya. Kirim doa dan sembahyang pada leluhur merupakan tradisi yang wajib bagi warga Tionghoa.
Sembahyang dengan membakar dupa, pasang bunga, buah dan makanan sudah diwariskan turun temurun. Dalam sudut pandang agama Buddha, hal ini tidak ditentang karena tradisi tersebut memiliki nilai-nilai luhur secara etis dan filosofis, oleh karena itu ketika keluarga Tionghoa masih menjaga tradisinya maka agama Buddha juga ikut terjaga, demikian juga sebaliknya.
Namun kenyataan berbeda ketika salah satu anggota keluarga Tionghoa sudah beralih keyakinan, maka tradisi sembahyang pada leluhur dapat menjadi masalah, karena dianggap memuja setan karena membakar dupa, memakai sesajen dan lain-lain.
Akhirnya terjadi gesekan kuat antara tradisi dan dogma agama. Apabila menghormat leluhur yang sudah meninggal dianggap menyembah setan maka ajaran bakti kepada leluhur menjadi luntur. Agama terkadang menjadi penghancur tradisi dan budaya, yang sesungguhnya memiliki nilai-nilai luhur yang pantas untuk dijaga dan dilestarikan yang selanjutnya diwariskan dari generasi ke generasi.
Dusun rangkap, kampung Tionghoa Buddhis yang terkikis
Kampung Rangkap adalah kampung paling ujung di desa Penjalaan, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara. Kampung yang di huni oleh mayoritas masyarakat Tionghoa. Rumah-rumah tidak berdiri saling berdekatan namun cukup jauh antara rumah satu dengan yang lain bisa berjarak 30 sampai 50 meter bahkan lebih, dan terpisahkan oleh kebun kelapa.
Rumah-rumah kayu dengan atap seng atau rumbia di kelilingi pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi, dengan daun rindang dan buah yang lebat memberi suasana teduh di kampung Rangkap. Kelapa menjadi sumber penghasilan utama warga kampung Rangkap, selain kebun karet dan ada juga kandang walet atau ternak seperti kambing.
Terdapat sekitar 30 keluarga yang tinggal di kampung Rangkap, ada satu sekolah dasar negeri 21 yang kini sudah tutup sehingga anak-anak kampung Rangkap harus menuju ke sekolah yang ada di desa induk dengan jarak sekitar 3 km. Ketika musim hujan anak-anak tidak bisa sekolah karena jalan berlumpur cukup dalam tidak bisa di lalui sama sekali. Pembangunan jalan yang baru di mulai, menjadi harapan adanya perubahan bagi warga kampung yang selama ini terisolir.
Secara tradisi mayoritas warga Rangkap yang Tionghoa adalah Buddhis atau Khonghucu, namun sekarang mereka seperti kehilangan identitas keagamaan tradisional. Sebagian sudah ada yang pindah Katolik atau Protestan, ini terjadi karena melalui sekolah yang tidak ada guru agama Buddha serta melalui pernikahan beda agama. Mereka tak punya pilihan, karena tidak ada pembinaan agama Buddha.
Dalam administrasi kependudukan seperti akta pernikahan, warga mengalami kesulitan bila menikah secara agama Buddha. Banyak yang menikah secara tradisi apabila sesama agama Buddha atau Khonghucu, tetapi bila menikah dengan agama lain pasti pindah agama. Masalah ini sudah berlangsung cukup lama, sejak negeri ini berdiri hingga hari ini.
Kini masyarakat Rangkap sudah tidak terlalu peduli soal agama, apalagi untuk generasi muda, hampir semua sudah tidak kenal dengan agama Buddha meski hanya sebatas identitas. Mereka semua ikut agama Nasrani di sekolah. Ini adalah masalah klasik bagi masyarakat Buddhis di Indonesia yang hingga kini belum terselesaikan dan entah sampai kapan akan selesai. Harus ada upaya strategis sebelum umat di daerah semakin terkikis habis.
Kami tak punya pilihan
Beberapa umat mengatakan bahwa umat Buddha kurang mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya pembangunan rumah ibadah tidak pernah dapat bantuan, berbeda dengan mesjid. Umat mendapat kesulitan ketika mengurus akta perkawinan, di bidang pendidikan kami sebagai orangtua mendapat kesulitan berkaitan dengan pelajaran agama di sekolah.
Tidak ada guru agama Buddha di sekolah, akhirnya kami terpaksa mengikutkan anak kami gabung dengan siswa Katolik atau Protestan yang ada guru agamanya meskipun itu sekolah negeri. Bahkan ada yang ikut Islam karena tidak ada guru agama lain disekolah. Kami pasrah, yang penting anak kami bisa dapat nilai agama dan lanjut sekolah, kami tak punya pilihan.
Bahkan hari minggu anak kami harus ikut kegiatan gereja sebagai syarat mendapat nilai agama Katolik, kalau tidak ikut ke gereja maka nilainya pasti rendah hanya batas KKM saja meskipun mampu mengerjakan soal tes. Ada juga yang sudah pindah ke Katolik karena sering ikut kegiatan di gereja.
Kami berharap ada guru agama Buddha yang mau mengajar di sekolah anak kami agar mereka juga bisa belajar agama Buddha, karena kami memang beragama Buddha. Kalau begini terus lama-lama bisa habis generasi umat Buddha disini, kata beliau dengan penuh harap.
Mendengar curhatan umat tersebut tentu ada rasa perihatin dan sesak di dada, saya yakin realita ini juga banyak dialami umat kita di daerah lain, khususnya anak-anak kita yang belajar di sekolah negeri apalagi sekolah swasta di bawah yayasan keagamaan.
Di satu sisi umat kita bisa bertahan karena memiliki keyakinan kepada agama Buddha secara turun temurun, namun keyakinan tersebut semakin tergerus oleh lingkungan khususnya di bidang pendidikan karena orangtua juga tidak memiliki pengetahuan tentang agama Buddha, sehingga tidak mampu mengajarkan kepada anak-anak mereka, yang dilakukan hanya mengajarkan ritual dan tradisi saja.
Berdasarkan hasil pendataan di sekolah-sekolah negeri yang ada di wilayah kecamatan Simpang Hilir dan Teluk Batang, siswa beragama Buddha tersebar di sekitar 15 sekolah negeri baik SD, SMP, SMA dan SMK. Karena tidak ada guru agama Buddha di sekolah maka mereka mengikuti pelajaran agama Nasrani untuk mendapat nilai agama.
Sedangkan bentuk pembinaan agama Buddha yang mulai di lakukan adalah kegiatan sekolah minggu di vihara/kelenteng. Dimana para siswa beragama Buddha di sekolah-sekolah di himbau untuk mengikuti kegiatan sekolah minggu di vihara/kelenteng sebagai bentuk kegiatan ekstrakurikuler tambahan. Oleh karena itu kebutuhan yang cukup mendesak adalah guru agama Buddha untuk mengajar di sekolah-sekolah negeri di wilayah Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara