• Friday, 27 January 2023
  • BuddhaZine
  • 0

Oleh: Latifah, STAB Kertarajasa

“Kalau ada konflik terkait kebebasan berkeyakinan dan beragama, masyarakat biasanya datang ke mana? Secara umum nyatanya pengadilan belum bisa dijadikan sebagai media yang efektif dalam membela hak dan kepentingan masyarakat,” pernyataan ini dilontarkan oleh Julian Duwi Prasetia, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

Pertanyaan ini membuka diskusi tentang peran paralegal dalam memberikan pelayanan bantuan hukum sebagai alternatif terbatasnya akses terhadap LBH yang di UU ditentukan hanya untuk orang-orang yang memiliki surat keterangan tidak mampu. Padahal di luar itu banyak orang yang membutuhkan bantuan hukum. 

Undang-Undang Bantuan Hukum saat ini hanya mengakomodasi bantuan hukum kepada kelompok dengan kriteria miskin. Miskin secara harfiah yaitu adalah orang atau kelompok yang tidak mampu atau miskin secara ekonomi, di antaranya memiliki penghasilan atau pendapatan bulanan setara atau di bawah upah minimum. Dalam perjalanannya, sampai saat ini masyarakat dihadapkan pada situasi dan kondisi  makin majemuknya persoalan hukum yang terjadi.  Karena itu, pembaharuan makna mengenai pemaknaan hak dasar untuk perluasan akses penerima bantuan hukum sebab perubahan kondisi dan situasi di dalam masyarakat. Salah satu tantangannya adalah penguatan paralegal untuk mendukung legal empowerment masyarakat.

Srikandi Lintas Iman (Srili) Yogya dan LBH Yogya membuat langkah nyata untuk menjawab tantangan itu dengan mengadakan pelatihan advokasi “Peran Strategis Perempuan Lintas Iman dalam Advokasi KBB” yang dilaksanakan pada 21-22 Januari 2023 di LPP Sinode GKJ, Yogyakarta. Pengurus Wandani (Wanita Theravada Indonesia) Yogyakarta, Ibu Wuryanti, dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha  (STAB) Kertarajasa, Latifah, dengan antusias turut mengikuti pelatihan ini.

Lebih lanjut Julian memaparkan, pengalaman empirik YLBHI dan LBH kantor di 15 Provinsi menyadarkan, proses advokasi pemenuhan hak dasar masyarakat, yang berhadapan dengan masalah hukum dan ketidakadilan, tidak cukup dilakukan hanya melalui proses pendampingan hukum di pengadilan. Karenanya YLBHI dan LBH Kantor pada era tahun 1980-an mulai mengembangkan metode advokasi non-litigasi bagi upaya mendorong perwujudan pemenuhan hak dasar masyarakat, yang diarahkan pada tujuan meningkatkan kesadaran dan pemahaman  hukum masyarakat, memperkuat posisi tawar masyarakat, serta mengembangkan berbagai bentuk kampanye dan advokasi per-UU-an dan kebijakan agar sejalan dengan amanah konstitusi dan upaya pemajuan penghormatan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak dasar warga negara dan perwujudan demokratisasi di Indonesia. 

Paralegal Berperan Penting Mendampingi Masyarakat tentang Hukum 

Dalam hal ini, paralegal memegang peran strategis yang di antaranya melaksanakan penyebarluasan pemahaman hukum dan berbagai informasi penting yang berguna bagi peningkatan pemahaman dan kesadaran atas hak-hak hukum komunitas masyarakat serta berbagai praktik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan atau oleh sekelompok orang atau golongan yang merugikan hak kepentingan masyarakat.  Selanjutnya, paralegal memfasilitasi terbangunnya kontak-kontak person dari komunitas masyarakat yang memiliki potensi serta kemauan kuat untuk bersama-sama melaksanakan kerja-kerja pembentukan serta melakukan berbagai upaya untuk menguatkan kelompok atau organisasi masyarakat agar  mampu memperjuangkan hak-haknya secara kolektif.  Selain itu, paralegal juga membantu melakukan upaya mediasi atau konsiliasi atas berbagai permasalahan yang terjadi di komunitas masyarakat, guna mencegah terjadinya konflik horizontal antar-masyarakat di lapangan. 

Nah, siapakah paralegal itu? Paralegal adalah pemuka masyarakat, pemuda desa, para pekerja sosial, utusan kelompok masyarakat yang menghadapi permasalahan hukum dan/ atau korban kebijakan pemerintah, korban kekerasan, kelompok suku terasing, pimpinan serikat pekerja, pimpinan serikat petani, neyalan, masyarakat miskin kota, pimpinan atau tokoh
dan pemuda dari kelompok minoritas agama/ keyakinan/ kepercayaan dan sukarelawan lainnya, yang mempunyai potensi, kemauan keras dan berkomitmen untuk melakukan hal terbaik bagi masyarakat, dikenal baik oleh komunitas masyarakatnya, memahami permasalahan yang dihadapi komunitas masyarakat dan kondisi lapangan. Dalam struktur gerakan bantuan hukum, paralegal ini dapar berperan dalam tiga bidang, yaitu lawyering, organizing, dan campaigner.

Miftahul Huda, dari LBH Yogya, kembali menekankan peran paralegal dengan melihat masih maraknya kasus diskriminasi kebebasan beragama dan berkeyakinan yang justru “mengorbankan” korban, “Negara menjadi pelaku diskriminasi, yang seharusnya melindungi dan memajukan HAM setiap warga negara.” 

Secara khusus, Miftahul menambahkan, “Perempuan memiliki situasi khusus  berdasarkan gender dan tubuh biologisnya ketika menghadapi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.” Bentuk-bentuk kekerasan terhadap minoritas beragama yang dialami perempuan mencakup psikis, fisik, dan ekonomi. Selain kasus-kasus yang dipaparkan pemateri, para peserta pelatihan yang semuanya perempuan yang berasal dari berbagai latar belakang organisasi, kepercayaan, dan agama itu pun kemudian secara bergantian berbagi pengalaman kasus-kasus diskriminasi beragama dan berkeyakinan yang pernah mereka alami. Kebersamaan dalam keadaan ini diharapkan membuka jejaring kerjasama dalam gerakan sosial mengatasi pelanggaran HAM dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. [MM]

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *