
Setiap tahun umat Buddha merayakan Waisak. Sebuah hari besar yang memperingati tiga peristiwa penting Buddha Gotama, yakni kelahiran pangeran Siddharta, penerangan sempurna Buddha, dan parinibbana beliau.
Waisak selalu diperingati dengan meriah. Terutama di tahun 2022 ini di mana pemerintah telah memperbolehkan perayaan hari besar setiap agama secara tatap muka. Di Candi Borobudur, sebuah altar besar berserta persembahan lengkap telah siap untuk proses puja. Di wihara setiap daerah pun altar Buddha dipasang pelbagai persembahan serta pernak-pernik sehingga altar terlihat lebih indah.
Apakah kita sebagai umat Buddha hanya merayakan Waisak dengan segala jenis persembahan seperti bunga, buah, wewangian, air, dan lilin saja?
Apakah cukup dengan amisa puja (persembahan) yang meriah sudah melambangkan hormat yang luhur pada Buddha?
Apakah kita sudah menghormati Buddha dengan cukup juga datang ke wihara atau Candi Borobudur untuk pujabhakti serta duduk diam dan mendengarkan Dhamma?
Inilah “kelupaan kita sebagai umat Buddha”. Kita lupa bahwa ada suatu penghormatan yang sangat luhur untuk Buddha, apa itu?
Bhikkhu Sri Subalaratano menuturkan bahwa penghormatan tertinggi kepada Buddha adalah dengan menjalankan ajaran-Nya
“Dalam Mahaparinibbana Sutta, ketika kejadian Beliau (Guru Agung Buddha) akan parinibbana, dewa-dewa menabur bunga-bunga yang harum. Kemudian Guru Agung Buddha bersabda kepada Ananda,
‘Bukan dengan cara ini sebenarnya memberikan penghormatan tertinggi pada Sammasambuddha. Tetapi kalau nanti ada para upassaka/upassika, termasuk para silacarini, samanera, para bhikkhu bisa hidup selaras dengan apa yang telah diajarkan maka itulah penghormatan tertinggi yang disampaikan kepada Guru Agung Buddha,” tuturnya dalam pesan Waisak di Vihara Vipassana Giriratana, Bogor pada Senin (16/5) lalu.
“Pesan ini yang kadang-kadang kita lupa, hingga kita hanya terpukau dengan upacara-upacara, persembahan amisa puja, memang tidak salah dan itu memberi nuansa baik,” ujarnya.
Menurut Bhikkhu Sri Subalaratano, tidak ada salahnya kita menghormat dengan memberi persembahan kepada Buddha. Namun, kita juga harus ingat untuk selalu mempraktikkan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut Bhikkhu Sri Subalaratano menjelaskan, “Para Tathagata hanyalah penunjuk jalan. Kita sendiri yang harus berusaha untuk mempraktikkan dalam kehidupan kita sebagai manusia.”
Buddha mewariskan Dharma yang bertahan hingga 5000 tahun (dihitung sejak Buddha parinibbana tahun 543 SM). Buddha pun bertugas layaknya seorang guru yang mengajarkan Dharma kepada para siswa.
Berfungsinya Dharma dalam keseharian tergantung pada siswa-Nya. Karena itu, pahami dan renungkan dengan benar ajaran Guru Agung Buddha kemudian praktikkan Dharma demi kebahagiaan diri sendiri dan banyak makhluk.
Sungguh beruntung kita masih bertemu Dharma di kehidupan ini dan masih ada kurang lebih 2500 tahun kita dapat mempelajari ajaran Buddha. Perbanyak perbuatan bajik agar nantinya terlahir kembali sebagai manusia untuk mempelajari Dharma hingga bisa mengikuti jejak Buddha mencapai penerangan sempurna.
Di akhir khotbah Dharma, Bhikkhu Sri Subalaratano berpesan, “Siapa yang bisa mempraktikkan Dhamma dengan benar, ia seolah-olah melihat Buddha.”
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara