“Gamelan meniko menawi dipun rawat kanti resik-resik tok, dangu-dangu wonten surutipun, Menawi dipun tabuh, saget temurun wonten anak putu kito,” Sukoyo.
(Gamelan itu kalau hanya dirawat dengan dibersihkan saja maka lama-lama akan musnah, namun ketika ditabuh bisa turun kepada anak cucu.)
Pesan filosofis ini keluar dari hati Mbah Sukoyo. Sesepuh Dusun Krecek yang tidak pernah lelah merawat budaya lokal di Temanggung, termasuk gamelan.
Mbah Sukoyo merasa saat ini warga Dusun Krecek lagi gandrung-gandrungnya menekuni gamelan. Mulai dari orang tua, pemuda dan anak-anak. Termasuk perempuan.
Mereka tak kenal lelah berlatih hari hingga larut malam. Mbah Sukoyo terus menyemangati. Dia berharap gamelan bisa diwariskan turun temurun kepada anak cucunya.
Dusun Krecek memang tidak pernah sepi dari suara klonengan gamelan. Tiap hari suara gamelan menemani aktivitas warga. Bahkan sampai terdengar dari dusun tetangga dan menarik perhatian orang untuk datang ke Dusun Krecek.
Ngasiran, Co-Founder BuddhaZine, menyatakan Dusun Krecek hanya dihuni 70 KK (Kepala Keluarga), namun terdapat tiga kelompok penabuh gamelan. Yaitu kelompok orang tua, pemuda, dan anak-anak. Ketiganya dibimbing oleh dua pelatih dari Kabupaten Boyolali dan Kauman, Temanggung. Eko Prastyo, dalang dari Boyolali melatih orang tua. Sedangkan Fiqi Farchan Dhimas dari Kauman Temanggung melatih pemuda dan anak-anak.
Kedua pelatih tersanjung melihat warga Dusun Krecek yang sangat menjiwai dalam mendalami seni gamelan. Mereka berlatih penuh semangat. Para pelatih pun semakin kesengsem untuk mengajarkan teknik gamelan ke warga Krecek.
Pada dasarnya warga Krecek sudah mempunyai modal dalam berkesenian. Sejak kecil mereka tumbuh di lingkungan para pecinta seni. Kesenian sudah menjadi bagian kehidupan bukan hiburan semata. Tidak butuh waktu lama mengajari mereka memainkan harmoni gamelan.
Joko, anak berusia 13 tahun yang tinggal di Dusun Krecek kini telah terampil menabuh kendang. Awalnya dia hanya melihat-lihat saja saat orang dewasa sedang latihan. Lama-kelamaan dia menikmati dan memberanikan diri untuk sekadar membunyikan.
Alat pertama yang dimainkan adalah bonang kemudian mencoba lagi alat kendang hingga merasa ketagihan. Dari situlah dia mulai tertarik dengan gamelan hingga akhirnya dia dan teman-teman sebayanya tergabung dalam satu grup gamelan anak-anak.
Bagi Joko, memainkan kendang adalah sebuah kebahagiaan. Saat ini dia sudah bisa menguasai lima gending namun yang fasih dia mainkan adalah gending gugur gunung dan suwe ora jamu. Keduanya, menurut Joko sudah pernah dimainkan dalam pentas di Krecek.
Hal senada juga diungkapkan oleh tiga pelajar perempuan, Heni Ekawati, Fita Angraini, dan Dina. Ketiganya juga pelajar SMP. Sejak kecil mereka sudah terbiasa dengan suara-suara gending Jawa. Waktu kecil bapaknya sering mengajak mereka untuk melihat pentas seni di beberapa wilayah di Temanggung. Kini mereka lebih memahami filosofi gamelan, fungsi, dan makna gending-gending.
“Jadi, sebelum latihan anak-anak dijelaskan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam gamelan maupun gending,” ucap Heni.
Yani, juga menyatakan hal serupa. Perempuan yang menjadi sinden ini menyatakan tidak ada faktor genetis dari orang tuanya tentang seni. Namun ketika mendengarkan gamelan dan gending-gending jawa seakan memberikan energi positif dan rasa kebahagiaan dalam dirinya.
Ngasiran, menyatakan pemain tidak hanya menabuh dan mengenali sebuah gending tapi meresapi makna dan nilai yang terkandung di dalamnya. Pelatih memberikan penjelasan tentang filosofi gamelan, etika dan estetika. Juga makna yang terkandung dalam sebuah gending.
Menurut pria yang menjadi direktur Akademi BuddhaZine ini memainkan gamelan tidak sebatas menabuh. Tapi juga melatih kerjasama, menerapkan etika dan juga mempertimbangkan estetika. Pemain mempunyai keseimbangan antara rasa, karsa dan karya dalam memainkan gamelan.
Mengembangkan seni sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Bapak Pendidikan Nasional ini menyatakan seni menjadi media untuk membiasakan keindahan, estetika, dan mengasah kehalusan jiwa. Ki Hadjar mengembangkan metode Sariswara. Hingga saat ini beberapa sekolah masih melestarikan metode itu.
Ngasiran berharap pengembangan kesenian gamelan ini menjadi media untuk mengajarkan kesenian lokal, menanamkan nilai-nilai kerukunan, kedisiplinan, kerja sama dan mengasah keterampilan. Di bawah manajemen BuddhaZine, ketiga kelompok ini mulai berkembang. Baik dari manajemen, kemampuan, mental, maupun filosofi.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara