Penasehat BWCF, Prof Dr Toety Heraty, menyambut dengan senang sekali acara Borobudur Writers and Cultural Festival 2018. Supaya BWCF dapat mengimbangi Ubud Writers Festival. Hal itu dia sampaikan saat rilis BWCF 2018 di Galeri Cemara Jakarta, Selasa (13/11) petang.
Dia menambahkan, meski BWCF lebih bersifat kebudayaan atau culture, sedangkan Ubud Writers Festival lebih ke dunia susastra, “Tapi hanya masalah waktu BWCF akan semakin berkibar,” kata Toety Herawaty.
Seno Joko Suyono, founder BWCF mengatakan, banyak catatan harian dari para musafir besar dunia yang mendatangi nusantara pada sebuah masa. “Untuk itu kita mengundang 25 narasumber yang akan membahas perjalanan para pelawat dunia yang pernah mampir ke Nusantara. Kita berharap, forum ini menjadi unik. Karena membahas kisah para pelawat besar itu ke Nusantara,” katanya.
Seno, yang juga berposisi sebagai panitia 7th BWCF 2018 menambahkan, pihaknya juga akan mengundang sembilan koreografer papan atas Indonesia, untuk merespon kisah perjalanan para pelawat dari berbagai penjuru dunia itu ke Indonesia. “Setelah dari pagi sampai sore serius, malam harinya kita nonton pertunjukan,” katanya, sembari menyebut nama Eri Mefri, Bimo Wiwohatmo, Melati Suryodarmo & Katsura Kan, Cok Sawitri, Toni Broer & Katia Engel, Yusril Katil, Djarot B Darsono, Miroto dan Anwari.
Program lain BWCF adalah Restropreksi film-film Nurman Hakim bertema Islam dan toleransi. Selain program kerja sama dengan Kemendikbud, yang dalam empat tahun terakhir mengirim sejumlah sastrawan melakukan residensi ke berbagai negara. Untuk kemudian akan melakukan sharing kepada publik.
Romo Mudji Sutrisno mengatakan, setiap individu adalah pelawat atau peziarah dalam frekuensinya masing-masing. “Puisi (Rabindranath) Tagore tentang kematian, berjudul Pantai Kematian, mengatakan bahwa kematian seperti gugurnya bunga-bunga di musim gugur. Ini puisi indah sekali. Dan puisi ini lahir dari seorang pelawat ulung. Karena Tagore ternyata pernah mampir atau berziarah ke Jawa dan Bali,” katanya, merujuk pada penyair besar India itu, yang berkarib dengan Mangkunegoro ke VII.
Hal senada dikatakan Nurman Hakim. Dia mengatakan, kalau pun setiap invidu bukan pelawat atau peziarah, dia tetaplah bagian dari jejak peziarahan. “Islam di Indonesia adalah hasil dari peziarahan itu, yang kemudian terjadi akulturasi dengan kebudayaan setempat,” katanya.
Salim Lee, Ahli Buddhis, Peneliti relief Borobudur mengatakan, meski ada ribuan makalah tentang Borobudur. Baru sekarang terungkap ada cerita yang lengkap tentang Borobudur, “Yang akan saya kisahkan dalam BWCF, nanti,” katanya.
Baca juga: Borobudur Writers and Cultural Festival 2016 Usung Tema tentang Serat Centhini
Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2018 akan digelar mulai tanggal 22-25 November di Hotel Grand Inna (Garuda) Malioboro Yogyakarta dan kawasan Hotel Manohara Borobudur, Magelang.
Tema BWCF tahun ini adalah “Traveling & Diary, Membaca Ulang Catatan Harian Pelawat Asing ke Nusantara”. Dari Yi Jing, Ibnu Batuta sampai Wallace.
Selama empat hari akan banyak datang para sejarawan dan penulis berkelas. Mulai dari Prof Taufik Abdulah, Dr Henri Chambert Loir sampai Ulil Absar Abdala membahas catatan harian para peziarah dan pengembara seperti I Tsing, Ibnu Batuta, Rabindranath Tagore VS Naipaul dan bebrapa nama penting lainnya.
Juga selama dua malam akan diselenggarakan pentas tari & teater di area terbuka (outdoor) dengan kuratorial bertema: Migrasi.
Imam Muhtahrom, pendiri dan kurator BWCF, menjelaskan, BWCF 2018 juga akan mengundang empat penyair. Dua dari Indonesia, yaitu Arif Bagus Prasetyo, dan Taufik Ikram Jamil, serta penyair Singapura yaitu Shivram Gopinath dan penyair Malaysia, Zahid M. Naser .
Acara Pembukaan akan diawali Pidato Kebudayaan seorang ahli Budhis Dr Hudaja Kandahjaya dari Numata Centre for Buddhist Research America. Mengenai Bagan Perjalanan Spiritual Tiga Dimensi Borobudur pada tanggal 22 November sore di Hotel Grand Inna (Garuda) Malioboro, Yogyakarta.
Seno Joko Suyono menambahkan, BWCF 2018 tidak akan memberikan rekomendasi kepada pihak terkait atau pemerintah, atas catatan-catatan penting yang akan ditemukan dalam gelaran BWCF 2018.
Atau dalam bahasa Romo Mudji Sutrisno, BWCF hanya akan membaca ulang kejadian pada masa lalu, dengan kebijaksaan baru. “Atau memaknai kembali teks-teks itu dengan kebijaksaan baru. Karena tanpa mengenal jati diri masa lalu, kita tidak akan mampu menapaki masa kini,” katanya.
Oleh karena itu, BWCF 2018 menurut dia akan menjadi acara yang fun, asyik, dan sekaligus berisi. Karena nilai-nilai Keindonesiaan akan sangat terasa di acara tahunan ini. Menepikan persoalan politik masa kini, yang memisahkan dangan buram, mana kawan, siapa lawan. (Suaramerdeka.com)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara