• Tuesday, 29 November 2016
  • Sutar Soemitro
  • 0

Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI) bersama sejumlah organisasi mahasiswa dari berbagai agama mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan kekerasan yang terjadi pada etnis Rohingya sesegera mungkin. Mereka menyerukan aspirasinya di kantor Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta pada Minggu malam (27/11).

Desakan tersebut disampaikan oleh Hikmahbudhi bersama dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Mereka tergabung dalam kelompok Cipayung Plus.

“Tindakan kekerasan yang terjadi di Myanmar, terhadap etnis Rohingnya kembali terjadi akhir-akhir ini, hal ini merupakan tindak pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Apapun bentuk dan alasannya, kekerasan dan penindasan merupakan tindakan yang tidak dapat ditolerir serta menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Selain itu, situasi yang terjadi telah membuat kehidupan masyarakat Indonesia terganggu akibat tindakan keji tersebut,” bunyi pernyataan bersama yang mereka buat.

Masing-masing organisasi mahasiswa diwakili oleh ketua umum masing-masing membacakan enam pernyataan sikap, yaitu:

  1. Kami menentang keras aksi kekerasan yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar, hal ini sudah menjadi tragedi kemanusiaan dan harus dihentikan sesegera mungkin.
  2. Mengingatkan pemerintah Myanmar bahwa Pasal 15 dari Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia 1948 menyatakan: “Setiap orang berhak mempunyai kewarganegaraan. Tak seorang pun boleh dibatalkan kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau ditolak haknya untuk merubah kewarganegaraannya.”
  3. Kami mendorong ASEAN dan PBB segera menyelesaikan permasalah tindak kekerasan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya, serta mendorong seluruh anggota ASEAN agar meratifikasi konvensi 1954 tentang Status Orang Tak Berkewarganegaraan dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan Tak Berkewarganegaraan, sehingga mengurangi dampak dari ketiadaan warga negara atau stateless di masa yang akan datang.
  4. Mendesak pemerintah Myanmar untuk melakukan peninjauan terhadap Undang-Undang Kewarganegaraan yang berlaku, sebab salah satu sumber persoalan adalah tidak terakomodirnya etnis Rohingya dalam UU Kewarganegaraan Myanmar maupun negara tetangganya yaitu Bangladesh. Hal ini menyebabkan etnis Rohingya menjadi stateless atau tak berkewarganegaraan, yang berarti tanpa pengakuan dan perlindungan dari negara mana pun di dunia.
  5. Kami menghimbau kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri untuk mendesak pemerintah Myanmar segera menyelesaikan permasalahan kemanusiaan ini. Bila tidak terselesaikan, kami meminta Pemerintah Republik Indonesia agar meninjau kembali hubungan diplomatik dengan pemerintah Myanmar.
  6. Kami meyakini pada dasarnya semua agama dan keyakinan selalu mengajarkan welas asih dan kebaikan terhadap sesama tanpa membeda-bedakan. Menghimbau kepada masyarakat Indonesia untuk tidak terpancing pada berita-berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan mengarahkan pada konflik agama, karena sesungguhnya tragedi yang terjadi adalah disebabkan karena persoalan kewarganegaraan, bukan persoalan antar agama.

Salah satu hal penting yang disampaikan oleh kelompok-kelompok mahasiswa tersebut adalah penegasan bahwa kasus Rohingya bukanlah konflik agama. Hal ini ditegaskan oleh Ketua umum PMII, Aminuddin Ma’ruf, “Dalam kasus Rohingya, kita ingin menggarisbawahi bahwa ini bukan konflik agama, konflik etnis, dan lain-lain. Ini adalah murni konflik kewarganegaraan yang direspon oleh pemerintah Myanmar dengan sangat salah.”

Dengan mengetahui akar persoalan Rohingya yang sebenarnya, ketua umum HMI, Mulyadi P. Tamsir berharap tidak ada kesalahpahaman di masyarakat Indonesia bahwa ini bukan konflik agama supaya tidak melebar ke Indonesia.

“Ini bukan konflik agama, tapi persoalan kewarganegaraan. Makanya kita minta kepada pemerintah Myanmar untuk melonggarkan sistem kewarganegaraan, agar mengakomodir warga Rohingya sebagai warga negara karena mereka sudah bertahun-tahun tinggal di Myanmar, sehingga bisa memperlakukan mereka dengan baik,” jelas Mulyadi.

Mulyadi juga menuturkan, ia bersama aktivis HMI lain aktif memberikan informasi yang benar tentang akar permasalahan Rohingya kepada masyarakat luas agar tidak ada informasi yang salah. “Indonesia dengan keanekaragaman pluralismenya mudah sekali dibentur-benturkan, sangat mudah terjadi konflik antar suku, antar agama. Inilah yang kita jaga pluralisme yang ada di Indonesia,” tegas Mulyadi.

“Yang kita khawatirkan di bawah yang tidak memiliki akses data yang lengkap, apalagi dengan situasi bangsa terkini, bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang punya kepentingan,” tambah ketua umum Hikmahbudhi, Suparjo.

“Kami menghimbau kita harus objektif dan realistik, harus melihat apa masalah yang sebetulnya,” imbuh Suparjo.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara