• Thursday, 14 December 2017
  • Ngasiran
  • 0

Situs Gumuk Candi merupakan salah satu tujuan dalam Ekspedisi Jalur Kuno 2, (18-19/11). Pada situs ini, semua peserta merasa kagum dengan bekas bangunan candi yang masih tersisa di sana.

Sebuah cakra empat palang dengan ukiran yang sangat khas, yoni tanpa lingga dan sisa-sisa kemuncak candi masih tersisa di situs ini. Cakra inilah yang istimewa, semua mata tertuju pada karya seni sarat nilai ini, karena di Temanggung, baru di situs ini ada cakra “empat palang” dengan ukiran sempurna.

“Kok ada ya peninggalan seperti ini, saya sering naik gunung dan travelling ke beberapa daerah, tetapi belum pernah menemukan yang seperti ini. Saya jadi berpikir message-nya apa ya? Pasti ada sesuatu di dalamnya,” ucap Andina salah satu peserta ekepsdisi kagum.

Cakra dengan “empat palang” itu, ternyata juga terukir dalam beberapa panel relief Mandala Agung Borobudur. Pada panel relief 35, yang menggambarkan sebuah kuil dengan simbol “cakra empat palang” di atasnya. Tidak hanya sama pada cakranya, beberapa ornamen dan bagian bawah cakra relief, hampir sama dengan bagian bawah cakra yang di Gumuk Candi.

Baca juga: Ekspedisi Jalur Kuno Temukan Banyak Situs Candi di Sepanjang Semarang – Temanggung

Pertanyaan pun muncul, apa makna simbol cakra dengan empat palang, dan bagaimana bisa berada dalam relief Mandala Agung Borobudur yang merupakan candi Buddha, sementara pada situs Gumuk Candi juga ditemukan yoni, yang merupakan simbol penghormatan kepada Dewa Siwa.

Menurut Om Salim, seorang ahli Sutra Mahayana yang juga tekun mempelajari relief dan Mandala Agung Borobudur, “cakra dengan empat palang” merupakan simbol yang digunakan Para Dewa dan sangat wajar ada di relief Mandala Agung Borobudur.

Pada panel 35 disebutkan, di Sutra Lalitavistara, setibanya beliau di kuil itu, tampak patung-patung Dewa Siva, Skanda, Narayana, Kubera, Candra, Surya, Vaisravana, Sakra, Brahma, berikut Empat Maharaja: Dhrtarastra, Virudhaka, Virupaksa, Kubera berdiri dan turun dari singgasana mereka, menghaturkan sungkem ke Bodhisattva. Ini diartikan, semua Dewa mendukung niat Bodhisattva untuk memutar roda Dharma demi menghilangkan penderitaan semua makhluk.  Di sini nampak dengan jelas simbol “cakra dengan empat palang” tadi.

“Di masa Buddha, kebanyakan tradisi keagamaan masih saling bersentuhan melalui kosmologi dan tradisi lokal. Biasanya perbedaan yang mendasar adalah ilmu agama atau teologi mereka. Secara filosofis, boleh dikatakan hal ini bisa dibagi menjadi dua kelompok besar: yang mengikuti Veda dan yang tidak,” tulisnya kepada BuddhaZine.

Karena itulah menurut Om Salim, dalam Sutra-sutra Buddhis juga tampil Dewa-dewa dari kosmologi India saat itu, seperti: Brahma, Sakra, Indra, Isvara, Mahesvara, Nanda, Sunanda, Candana, Mahita, Prasanta, Prasantavinitesvara, dan Empat Maharaja: Dhrtarastra, Virudhaka, Virupaksa, Kubera, beserta para yaksas, kumbhandas, gandharvas, nagas, dan banyak lagi. Dewa-dewa ini juga tampil dan dipuja di tradisi Veda.

Baca juga: Arkeolog Menjawab Klaim Borobudur Sebagai Peninggalan Nabi Sulaiman

“Bahkan diceritakan pada saat Buddha masih sebagai Bodhisattva Svetaketu, beliau pun dipandang sebagai Dewa dan tinggal di kayangan Para Dewa, Tusita. Di dalam Sutra Lalitavistara, Dewa-dewa ini menjadi pendorong, pendukung, pembantu Buddha sejak awal. Bahkan Para Dewa inilah yang “mengingatkan” Buddha untuk turun ke Jambudvipa dan “meminta” beliau untuk memutar roda Dharma setelah penggugahan beliau.”

“Sesuai dengan arahan dari Veda, para dewa ini dipuja di berbagai kuil. Dan memang benar, di kuil-kuil ini sering menggunakan simbol “cakra dengan empat palang” tadi. Dan jelas sekali ini digunakan di kuil-kuil  pada masa Buddha, seperti yang dipahat di Borobudur. Saya kira ini bukan “pelecehan”, tetapi menunjukkan bahwa usaha Bodhisattva (kemudian Buddha) selalu didukung oleh Para Dewa.”

Selain di panel 35, simbol cakra dengan empat palang juga ada di panel 91 di Mandala Agung Borobudur.

Panel 91, di Sutra Lalitavistara diceritakan, di saat Bodhisattva sudah menerima rumput yang akan dijadikan alas duduk beliau untuk mencapai penggugahan, banyak sekali Dewa dan nagas yang ber-anjali, ber-mudita, dan tahu bahwa sudah saatnya Bodhisattva akan duduk dan mencapai penggugahan.

Dikatakan Para Dewa dari enam tingkat di kamadhatu mengambil posisi di timur untuk melindungi Bodhisattva dan arah-arah lainnya dijaga oleh Dewa-dewa lain. Di sini  juga tampak jelas simbol “cakra dengan empat palang” tadi.

Baca juga : Menelusur Situs Kayumwungan, Konon Terkait dengan Borobudur

Sementara itu, menurut Hendrick Tanuwidjaja seorang penekun Buddhis menuturkan, “Cakra palang empat juga ada di rupang Buddha Sakyamuni/Wairocana di Jawa Tengah bermudra dharmacakra. Cakranya diapit dua rusa. Biasanya kalau cakra diapit dua rusa ya roda Dharma. Kenapa empat? Ya barangkali memang 4 Kebenaran Mulia.

“Sepertinya itu motif umum budaya saat itu. Cakra memang beda-beda jumlah jerujinya. Biasa si seniman mau menggambarkan sesuatu yang berjumlah sesuai. Dan palang 4 ini lumrah saja sih di dalam  seni Hindu-Buddha di mana-mana. Alih-alih simbol Dewa barangkali lebih cocok merujuk langsung ke roda Dharma.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara