• Friday, 4 July 2014
  • Sutar Soemitro
  • 0

Untuk mengetahui aspirasi umat Buddha, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha (Ditjen Bimas Buddha) Kementerian Agama RI menggelar Dialog Nasional Umat Buddha Indonesia pada tanggal 30 Juni – 2 Juli 2014. Dialog yang diadakan di The Media Hotel, Jakarta tersebut dihadiri sekitar 100 orang yang terdiri dari para anggota Sangha, pengurus majelis, dan tokoh agama Buddha dari seluruh Indonesia.

“Rasanya kegiatan seperti ini yang pertama kali dihadiri semua Sangha, semua majelis, semua tokoh umat Buddha dari Aceh sampai Papua hadir bersilaturahmi,” ucap Dasikin yang belum lama menduduki posisi Dirjen Bimas Buddha sejak tanggal 11 April 2014 lalu.

Dasikin menyatakan ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi dalam pembinaan umat Buddha di Indonesia. Salah satu yang paling krusial adalah kerukunan umat Buddha. “Ini selalu dikumandangkan, selalu diucapkan, atau bisa dibilang klise, tetapi dalam pelaksanaan ini yang sering terjadi friksi, apakah itu mengatasnamakan aliran, apakah itu mengatasnamakan sekte, atau apakah itu mengatasnamakan umat yang satu dengan yang lainnya,” jelas Dasikin.

Memang benar apa yang disampaikan Dasikin, hingga saat ini saja umat Buddha memiliki dua organisasi induk yaitu KASI dan Walubi. Dan belum terlihat ada tanda-tanda perseteruan ini akan berakhir. Belum lagi begitu banyaknya aliran dan organisasi.

Persoalan ini menjadi topik paling seru dalam dialog tersebut karena masalah telah menjadi begitu ruwet. Dualisme yang telah berlangsung sejak bergulirnya era reformasi ini membuat banyak pihak yang memiliki kepentingan sehingga tidak mudah untuk dicari solusi yang menguntungkan semua pihak.

Sejumlah peserta dialog memunculkan ide rujuk nasional umat Buddha Indonesia hingga pembentukan wadah baru yang menyatukan KASI dan Walubi. Budayawan Buddhis Jo Priastana mengingatkan apa tujuan utama rujuk nasional tersebut, karena tidak akan semudah itu terjadi rujuk. Ia kemudian mengajak kita untuk melihat perkembangan agama Buddha di Indonesia dari sisi historis-politis.

Menurutnya, ketika lahir Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) tahun 1978, ketika itu pemerintahan Suharto memang tengah gencar-gencarnya menggenjot isu persatuan setelah runtuhnya Orde Lama. Sedangkan Walubi versi baru (Perwakilan) terbentuk pada masa awal reformasi tahun 1998. Walubi versi Perwalian menekankan adanya otoritas Sangha, sedangkan Walubi versi Pewakilan menekankan adanya otoritas federasi, bukan pada otoritas Sangha. Ini yang menyebabkan tiga Sangha keluar dari Walubi dan kemudian mendirikan Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) sebagai bentuk penolakan.

Jo Priastana mengingatkan, jika saat ini kemudian muncul wacana pembentukan sebuah wadah baru, harus melalui kajian secara historis terlebih dahulu apa motifnya di tengah-tengah konfigurasi perpolitikan nasional. Tidak bisa secara mendadak. Ia juga mengingatkan jika benar wacana ini akan diwujudkan, perlu dipertimbangkan apakah organisasi yang membawahi Sangha dipisah dengan organisasi yang membawahi umat atau digabung.

Topik lain yang cukup hangat dibicarakan adalah tentang banyaknya umat Buddha yang pindah agama. Secara garis besar penyebabnya ada tiga, yaitu perkawinan dengan umat agama lain, lemahnya pendidikan Buddhis, dan lemahnya keyakinan dan ekonomi umat Buddha.

Yonggris, salah seorang tokoh umat Buddha dari Makassar menuturkan saat ini para orangtua yang beragama Buddha banyak yang lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Kristen atau Katolik. Menurutnya, saat ini memang sudah berlaku Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengharuskan pihak sekolah memberikan pendidikan agama kepada muridnya sesuai agama yang dianut murid.

Tetapi pada prakteknya, peraturan tersebut diakali. Ketika anak-anak mendaftar ke sekolah-sekolah tersebut, para orangtua disodori surat pernyataan bermeterai yang menyatakan orangtua setuju anaknya mengikuti pelajaran agama sesuai keinginan pihak sekolah. Celakanya, banyak orangtua menyetujuinya sehingga pelajaran agama yang dipelajari sang anak bukanlah pelajaran agama Buddha. Akibatnya, banyak anak yang kemudian pindah agama.

Yonggris mendesak Ditjen Bimas Buddha sebagai pemegang otoritas tertinggi agama Buddha di pemerintahan berani untuk mendesak Kemendiknas agar UU Sisdiknas tersebut benar-benar dilaksanakan secara konsekuen, tanpa diakal-akali. Sehingga anak-anak Buddhis tetap bisa belajar agama Buddha walaupun bersekolah di sekolah Kristen atau Katolik.

Yonggris menggarisbawahi penyebab utama perpindahan agama adalah lemahnya keyakinan umat Buddha. “Keyakinan bisa kurang tentu saja karena pembinaan yang kurang. Pembinaan kurang karena sistem pembinaan kita yang kurang, atau karena sumber daya kita yang kurang sehingga umat kurang terbina dengan baik,” jelas Yonggris.

Sedangkan Jono, peserta dari Riau menuturkan di wilayahnya kini banyak berdiri sekolah Buddhis dengan jumlah murid mencapai ribuan. Ia yakin, dengan makin banyaknya anak-anak yang terjamin mengenyam pendidikan Buddhis, maka kemungkinan terjadinya perpindahan agama bisa ditekan sekecil mungkin. Karenanya, ia mendorong kepada komunitas Buddhis di Indonesia sudah saatnya berhenti berlomba-lomba mendirikan vihara sebanyak-banyaknya, melainkan seharusnya saling berlomba-lomba mendirikan sekolah Buddhis sebanyak-banyaknya.

Terkait dengan isu pindah agama ini, muncul sebuah ide menarik tentang pemberdayaan ekonomi umat Buddha. Romo Sugiyanto mendorong agar umat Buddha yang memiliki perusahaan besar memberikan kesempatan kepada para pemuda Buddhis untuk bekerja di tempatnya. Pola kemitraan ini dimulai melalui perekrutan pemuda Buddha dengan terlebih dahulu diberi pelatihan keterampilan oleh tenaga pengajar langsung dari pihak perusahaan. Usai pelatihan, para pemuda Buddhis tersebut kemudian direkrut menjadi karyawan.

Untuk itu, Romo Sugiyanto mendorong Dhammaseka lebih memiliki peran aktif menjadi penyelenggara pelatihan kerja. Dhammaseka adalah salah satu program bantuan Ditjen Bimas Buddha berupa pembangunan gedung untuk pembinaan umat Buddha di suatu daerah. Dhammaseka berfungsi tidak hanya untuk pembinaan keagamaan, namun juga pembinaan sosial kultural hingga pemberdayaan umat Buddha.

Wacana lain yang diangkat dalam dialog tersebut adalah pembentukan lembaga dana paramita dan lembaga kitab suci Tripitaka. Pembentukan lembaga dana paramita ini mengaca pada badan zakat di agama Islam. Muncul wacana agar lembaga dana paramita ini bisa merangkul para pengusaha untuk berdana secara otomatis melalui mekanisme pemotongan pajak. Kedua ide ini mendapat persetujuan para peserta dialog. Mereka berharap agar Ditjen Bimas Buddha menginisiasi pembentukan kedua lembaga ini.

Dialog tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi bagi Ditjen Bimas Buddha untuk menjadi acuan penyusunan kebijakan dalam pembinaan umat Buddha di Indonesia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara