• Wednesday, 31 March 2021
  • Deny Hermawan
  • 0

Dwarapala adalah patung raksasa penjaga gerbang candi Hindu maupun Buddha di era Jawa Klasik. Arca Dwarapala dikenal dalam kesenian klasik tua (abad 8-10) di Jawa Tengah dan juga kesenian klasik muda (abad 13-15) di Jawa Timur. Namun demikian, Dwarapala juga dijumpai pada candi-candi di Sumatera.

Prof Dr Agus Aris Munandar M. Hum, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menyampaikan hal itu dalam jagongan dwi mingguan yang digelar Komunitas Sinau Cagar Budaya secara daring, Kamis (24/3/2021) malam. Topik jagongan adalah “Pembabaran Tentang Simbol-Simbol dan Fungsi Dwarapala Singhasari”.

Ia menerangkan, fungsi arca Dwarapala secara religius adalah untuk menjaga bangunan suci dari kemungkinan adanya “gangguan magis” dari makhluk-makhluk jahat. Selain itu, keberadaan Dwarapala juga mengindikasikan bahwa bangunan yang ada di belakangnya adalah suatu bangunan candi atau tempat yang disucikan.

“Jadi Dwarapala itu bersifat sakral, bersifat suci,” katanya.

Agus juga menceritakan mitos Dwarapala menurut agama Buddha Mahayana. Awalnya Dwarapala adalah para yaksa yang suka daging manusia, yang mencegat perjalanan Buddha di dalam hutan rimba. Mereka berhasil membunuh Buddha dengan gadha. Namun setelah memakan daging Buddha, timbul penyesalan yang sangat mendalam, dan rasa keharuan yang mencekam.

Tubuh Buddha yang telah dimamah dimuntahkan kembali, dan menjadi utuh dan hidup seperti sedia kala. Para yaksa ini lalu menerima ajaran Buddhadharma dan bertugas menjaga bangunan suci Agama Buddha.

Sementara dalam mitologi versi agama Hindu Shiwa, Dwarapala awalnya adalah para raksasa yang menghadang pengembaraan Shiwa di hutan. Shiwa hendak dibunuh oleh mereka, namun berkat kesaktian Sang Mahadewa, para raksasa tersebut berhasil dikalahkan. Mereka lalu menjadi murid-murid Shiwa dan ditugaskan untuk menjaga candi-candi Shiwa.

“Berbeda sedikit, di sini [mitologi versi Hindu] ada pertarungan,” jelas dia.

Prof Agus menerangkan, ada dua jenis Dwarapala, yakni yang bersifat bengis (ugra) dan bersifat damai (santa). Yang bersifat bengis misalnya adalah Dwarapala Candi Sewu, Candi Plaosan Lor, Tothokerot Kediri, dan Singhasari. Sementara Dwarapala bermuka damai namun tetap bersifat menjaga dijumpai di Candi Borobudur, Candi Muaro Jambi, Candi Kalasan, dan Candi Cetho.

“Sayang sekali Dwarapala Borobudur tak ada lagi di Indonesia, dibawa ke Thailand, ada di museum negeri mereka di Bangkok,” katanya.

Ia menjelaskan, salah satu sosok Dwarapala yang dibuat dengan sangat baik dan hingga kini relatif utuh adalah arca Dwarapala Candi Sewu, Jawa Tengah. Dwarapala ini memiliki tinggi 2,5 meter, dengan tubuh besar, perut buncit, mata melotot, dan wajah bengis. Sosok Dwarapala berukuran besar lain yang bisa disimak keagungannya adalah dua Dwarapala Singhasari, yang memiliki ketinggian 3,7 meter.

“Dwarapala ini monolith, jadi satu batu besar yang dipahat menjadi Dwarapala,” ungkapnya.

Sayang, menurut Agus kebanyakan Dwarapala di Nusantara kini dalam kondisi rusak, cacat, atau tidak utuh. Ada yang rusak sedikit, namun ada yang rusak cukup parah, hingga kehalusan pahatannya tidak terlihat lagi.

“Mungkin sengaja dirusak pada masa silam, saya juga tidak tahu,” tukasnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *