• Monday, 18 June 2018
  • Ngasiran
  • 0

Seni pertunjukan wayang kulit selalu akrab di telinga masyarakat Indonesia, terutama Jawa. Pertunjukan dalam bentuk cerita narasi dan dialog para tokoh pewayangan ini tak hanya dijadikan hiburan saja, tetapi lebih dari itu, pergelaran wayang kulit juga selalu digunakan untuk menyampaikan ajaran moral kebaikan.

Untuk menyampaikan pesan moral dan merawat toleransi kehidupan beragama, masyarakat Desa Boro, Kabupaten Blitar menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Pertunjukan ini digelar sebagai puncak perayaan Maha Puja Trisuci Waisak yang diselenggarakan umat Buddha Blitar Raya bersama masyarakat lintas agama, Sabtu (9/6).

Pergelaran yang diselenggarakan di lapangan Sekolah Dasar Negeri 03 Boro, ini mendatangkan Ki Eko Prasetyo Sabda Gotama, alumni magister Institut Seni Surakarta (ISI) Solo ilmu pedalangan. Hiromi Kano, seorang sinden asal Jepang berada di deretan sinden menjadi bintang tamu dalam pementasan yang mengangkat lakon Wahyu Dharma ini.

Wahyu Dharma; Welas Asih Mengikis Kemelekatan Lakon Wahyu Dharma diambil dari kisah Mahabarata. Kisah ini berawal ketika Pandawa kalah bermain dadu dengan Kurawa dan harus mengasingkan diri di hutan selama 12 tahun ditambah satu tahun menyamar.

Baca juga: Wayang dalam Sudut Pandang Buddhis

Pada masa pengasingan Pandawa, Duryudana mendengar kabar bahwa Arjuna telah pergi dari ke empat saudaranya. Kabar tersebut dijadikan alasan Kurawa untuk mendesak Pandawa mengulang hukumannya dari awal. Karena dalam perjanjian awal, pada masa menjalani hukuman ke lima saudara ini tidak boleh terpisah. Selain itu, Duryudana mempermalukan Pandawa yang hidupnya sengsara, bahkan berharap Pandawa mati dengan sendirinya di hutan. Meskipun sudah diingatkan oleh Bisma dan Durna, Duryudana tetap bersikukuh untuk mempermalukan dan kalau bisa membunuh Pandawa.

Sementara dalam tubuh Pandawa sendiri sedang terjadi perdebatan karena mau bermain dadu yang mengakibatkannya harus menjalani masa hukuman. Kemudian Duryudana datang dan menuntut Puntadewa agar Pandawa mengulang kembali hukuman dari awal.

Kemudian datanglah Krisna yang menyelamatkan Pandawa dari Duryudana. Duryudana akhirnya ketakutan dan kembali ke Hastinapura. Setelah itu Janoko memang pergi untuk mencari pusaka sebagai senjata untuk mengalahkan Kurawa dalam perang Baratayuda. Dia pergi dan bermeditasi di Gunung Himalaya dan bertemu Dewa Siwa dan dikasih senjata bernama pasopati. Senjata ini khusus untuk perang Baratayuda, untuk menghancurkan angkara murka karena melalui proses diplomasi masih belum bisa selesai.

Sedangkan Werkudoro mencari bunga tunjung sugandiko untuk kekuatan Pandawa. Di sebuah telaga ada Dewa Ubera (Batara Uwero) dan ada bunga tunjung sugandiko kemudian diminta oleh Werkudoro dan dibawa pulang untuk dikasihkan kepada Drupadi sebagai simbul kebajikan.

Puntodewa sendiri melakukan meditasi. Di tengah meditasinya ada kijang yang sedang dikejar oleh harimau. Kijang ini lari ke arah Puntadewa, ketika akan diterkam oleh harimau, Puntadewa mengatakan kasihan itu kijang harus menjadi pemuas nafsu laparmu. “Kalau saya tidak memakan kijang ini, saya dan anak-anak saya yang akan mati, karena kijang ini makanan saya,” jawab harimau.

Baca juga: Bagaimana Cara Melatih Belas Kasih?

“Kalau begitu supaya kijang selamat, anak-anakmu juga selamat kamu makan dagingku saja,” kata Puntadewa. Daging Puntadewa diambil dan dikasih kepada harimau, setelah itu Puntadewa tak sadarkan diri dan ambruk. Ternyata harimau adalah jelmaan dari Dewa Dharma, kijang adalah Dewa Sakha. Puntadewa dihidupkan kembali menggunakan tirto amerto sanjiwani (air kehidupan). “Itu ‘kan welas asihnya Puntadewa kepada semua mahkluk, supaya semua mahkluk saling mengasihi tidak saling membunuh. Akhirnya Puntadewa diberi wahyu atau kekuatan semoga bisa memimpin para Pandawa untuk merebut kembali negaranya,” jelas Ki Eko Prasetya Sabda Gotama.

Menurutnya, setidaknya ada dua nilai kebajikan yang ingin disampaikan dari cerita tersebut. “Pertama hukum karma, salah satu ajaran dari Buddha Gotama. Duryudana yang selalu dibakar oleh kemarahan, keserakahan dan kebodohan batin akhirnya di situ dia dipermalukan oleh keadaan dan harus kembali ke Hastinapura dengan malu.”

“Kedua, welas asih sebagai inti dari ajaran Buddha dalam Dharma, ahimsa sampai Puntadewa mengorbankan hidupnya untuk kijang dan anak-anak harimau. Sudah tidak ada kemelekatan, bahwa ajaran Buddha mengajarkan kita untuk menghargai segala bentuk kehidupan,” pungkasnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara