• Wednesday, 28 February 2018
  • Ngasiran
  • 0

Kabupaten Jepara tidak akan lepas dari sosok Kartini. Kartini adalah salah satu pahlawan nasional yang tersohor sebagai pejuang emansipasi perempuan.

Kartini bukan satu-satunya pejuang perempuan Jepara. Jauh sebelum Kartini lahir, di Jepara telah ada sosok-sosok perempuan tangguh; Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat.

Oleh pemerintah Kabupaten Jepara, tiga sosok perempuan ini pun dibuatkan tugu “Tiga Putri Jepara”. Tak tanggung-tanggung monumen yang dibangun di Bundaran Ngabul ini menelan biaya sebesar 2,5 miliyar rupiah.

Patung ini menghadap ke tiga penjuru. Untuk patung Ratu Shima menghadap ke arah Kecamatan Keling yang konon menjadi pusat Kerajaan Kalingga yang ia pimpin.

Kemudian Ratu Kalinyamat menghadap ke arah Mantingan yang konon menjadi pusat Kerajaan Kalinyamat setelah Reto Kencono menikah dengan Raden Toyib, sebelumnya pusat Kerajaan Kalinyamat di Kalinyamatan (Kriyan). Serta patung R.A. Kartini menghadap ke arah Kecamatan Mayong, tempat kelahiran pahlawan emansipasi wanita Indonesia itu.


Miniatur Candi Angin di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Jepara. Miniatur ini terpajang di Museum Kartini, Ngasiran

Dua dari 3 tokoh pejuang Jepara “dekat” dengan agama Buddha

Pada tulisan sebelumnya Ratu Shima dan Kerajaan Simakalingga telah diulang oleh Ana Surahman. Baca: Ratu Sima dan Jejak Agama Buddha Masa Lalu di Jepara. Kerajaan Kalingga berlangsung antara abad 7-9 Masehi, sedangkan Ratu Shima berkuasa kurun waktu 618-906 Masehi, kurang lebih 22 tahun yang kemudian diganti oleh kedua anaknya.

Meskipun dalam catatan sejarah banyak yang menyebutkan Ratu Shima penganut Hindu Siwa, tetapi pada masanya agama Buddha juga ikut berkembang saat itu. “Masa-masa itu adalah masa keemasan bagi perkembangan kebudayaan apa pun.

Baca juga: Perempuan, Pendidikan, dan Agama Buddha

Agama Buddha juga berkembang secara harmonis, sehingga wilayah di sekitar kerajaan Ratu Shima juga sering disebut Di Hyang (tempat bersatunya dua kepercayaan Hindu Buddha)”. (Wikipedia).

Sementara Ratu Kalinyamat memimpin Jepara antara tahun 1549-1579, menggantikan peran sang suami yang dibunuh suruhan Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574.

Adalah tidak berlebihan jika orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai Rainha de Jepara Senora de Rica, yang artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat.

Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan dimakamkan di Desa Mantingan Jepara. Atas segala jasanya membangun Jepara, Hari Jadi Jepara yang mengambil waktu dia dinobatkan sebagai penguasa Jepara atau yang bertepatan dengan 10 April 1549 ini telah ditandai dengan Candra Sengkala Trus Karya Tataning Bumi atau terus bekerja keras membangun daerah.


Papan pengumuman di Kelenteng Welahan, Jepara. Ngasiran

Sedangkan pengakuan Kartini sebagai “anak Buddha” sudah beredar di jagat berita. Ini juga yang mendorong Tim BuddhaZine untuk berkunjung ke Museum Kartini dan Klenteng Hian Thian Siang Tee Welahan, Jepara dalam liputan khusus umat Buddha Jepara, Jumat, (2/2).

Baca juga: Gayatri Rajapatni: Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit

Di Klenteng Hian Thian Siang Tee, kami bertemu petugas dan disodorkan selembar kertas foto kopi majalah Sinergi (Majalah Umum Bulanan Tionghoa) edisi 6 April – Mei 1999. Selembar kertas tersebut berisi ulasan surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon Mandri  pada tanggal 27 Oktober 1902.

Surat tersebut berisi pengakuan Kartini sebagai “Bocah Buddha”. “Saya adalah satu bocah Buddha, maka itu ada menjadi satu alasan kini tidak memakan barang berjiwa”. Begitu kira-kira isi kutipan surat Kartini dalam majalah tersebut.

Bagi Klenteng Welahan dan Warga Tionghoa, nampaknya pengakuan Kartini ini menjadi sesuatu yang spesial. Terbukti surat ini ditulis dalam beberapa surat kabar Tionghoa dalam beberapa edisi. Setelah kemerdekaan RI pada tahun 1945 dimuat dalam Sorot Bok Tok Pers Melayu-Tionghoa dan disunting kembali pada tahun 1956 oleh Basuki Soejatmiko.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara