• Wednesday, 5 March 2025
  • Klisin
  • 0

Oleh: Ana Surahman
Foto: Ana Surahman dan Budi Ariyanto

Tanggal 14 Februari, Pemimpin Redaksi (Pemred) memberi tugas: “Nanti tanggal 2 sampai 12 Maret ikut ke Yamatitam ya, sama Budi. Bergabung dengan rombongan Bhante Siriratano dan tim Dana Everyday.” Kabar itu membuat hati senang sekaligus gelisah. Di satu sisi, ini adalah petualangan baru, tapi cerita medan berat menuju lokasi—jarak puluhan kilometer dari akses terakhir, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki melintasi hutan belantara—membuat saya harus berpikir panjang. Belum lagi ancaman hujan, kemalaman di hutan, nyamuk malaria, dan syarat fisik prima. Setelah diskusi, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat.

Persiapan dan Perjalanan ke Ambon
Pada Sabtu, 1 Maret, kami terbang ke Ambon. Esok harinya, 2 Maret pukul 07.00 WIT, kami tiba di Bandara Pattimura. Romo Rudy menjemput kami menuju Vihara Swarna Giri Tirta, Ambon, yang berjarak satu jam perjalanan. Di sana, kami bertemu Mas Triyo, Ko Budi Lee, Bhante Siriratano, serta anggota rombongan lain: Ketua Permabudhi Maluku Tjoa Tinnie Pinontoan (Ci Aline Tjoa), Budi Ariyanto, Dadung, dan Laras—dua anak asuh Bhante dari Yamatitam.

Rencananya, kami akan mengunjungi empat dusun: Von, Bangboi, Rumah Tiga, dan Yamatitam. Setelah beristirahat semalam, pagi hari pukul 07.00 WIT, rombongan bergerak menuju Pelabuhan Tulehu (3 jam perjalanan). Dari sana, kami naik kapal cepat ke Pelabuhan Amahai (3 jam) dan tiba sekitar pukul 12.00 WIT. Perjalanan dilanjutkan dengan mobil ke Desa Atiahu, Masohi, selama 3 jam. Di toko sembako desa itu, umat Dusun Von sudah menunggu untuk membantu membawa barang bantuan.

Menuju Rumah Singgah Pohon Kelapa
Pukul 16.15 WIT, kami tiba di Rumah Singgah Pohon Kelapa—lokasi terakhir yang bisa dijangkau mobil. Rumah panggung sederhana ini menjadi tempat persinggahan warga Dusun Von saat bekerja di kebun. Kami disambut ketela, pisang goreng, dan kopi panas. Sembari mengobrol, kami membuat ketupat untuk bekal esok hari. Bhante menjelaskan: “Malam ini kita menginap di sini. Sebagian barang akan dibagikan di sini, sisanya dibawa ke dusun besok.”

Tantangan Menyusuri Hutan Belantara
Keesokan pagi, pukul 08.20 WIT, perjalanan dimulai. Awalnya, saya mengira dusun tak terlalu jauh karena anak-anak SD ikut serta. Ternyata, medan jauh lebih berat dari perkiraan.

Satu jam berjalan, kami tiba di sungai pertama—gerbang masuk hutan belantara. Sepatu dan celana basah karena berulang kali menyeberang. Jalan setapak berbatu, penuh duri, dan semak lebat menghadang. Batang pohon tumbang memaksa kami melompat atau merangkak di kolongnya. Keringat mengucur deras meski cuaca cerah.

Pukul 10.30 WIT, kami beristirahat di sungai untuk makan siang. Airnya jernih, diminum langsung oleh warga. Dadung, anak asuh Bhante, meyakinkan: “Ini air bersih, kami biasa meminumnya.” Tak lama, hujan deras tiba-tiba mengguyur. Jas hujan segera dikenakan, lalu kami bergegas melanjutkan perjalanan, khawatir banjir bandang.

Tiba di Dusun Von
Medan menanjak dan berbatu menguji ketahanan kaki. Yanto Lesa, warga Dusun Von, memberi semangat: “Sudah hampir dekat!” Benar saja, pukul 12.00 WIT, atap seng rumah warga terlihat di kejauhan. Saking leganya, kaki saya tersandung akar hingga terjatuh—disambut tawa rekan di belakang. “Ini rekor! Biasanya empat jam lebih,” kata Mas Triyo.

Di Dusun Von, kami langsung menuju cetiya (ruang ibadah) yang telah berdiri lengkap dengan altar. Bhante mengajak kami mengunjungi Tete, sesepuh dusun. Sebagai tradisi, kami disuguhi pinang dan sirih. Rasanya sepat, tapi harus dihabiskan!

Setelah mandi di sungai, malam harinya umat berkumpul di cetiya untuk puja bakti dipimpin Laras, anak asuh Bhante yang kini bersekolah di Makassar. “Setelah puja bakti, kita akan menghafal paritta. Jika sudah lancar, kalian bisa diundang ke acara di Ambon,” ujar Bhante.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *