• Thursday, 17 May 2018
  • Surahman Ana
  • 0

BuddhaZine Talk, sebuah acara bincang Dharma sukses digelar di Surabaya. Acara yang terselenggara berkat kerjasama BuddhaZine dengan Buddhayana Dharmawira Center (BDC), Surabaya ini dilaksanakan Sabtu (12/5) di aula gedung BDC, Surabaya.

Bincang Dharma berbalut pertunjukan musik Astakosala Volk, subuah grup musik yang mengangkat kakawin Jawa Kuno ini diikuti oleh sekitar 20 pemuda Buddhis Surabaya dan sekitarnya.

Tema “Kita, Budaya, dan Dharma” dengan suasana santai dikupas selama tiga setengah jam oleh tiga pembicara dari BuddhaZine. Andre Sam, redaktur BuddhaZine, Ngasiran, jurnalis BuddhaZine, dan Hendrick Tanuwijaya, penulis BuddhaZine. Mereka berkolaborasi mengupas pokok bahasan dari sudut pandang masing-masing.

Mengawali perbincangan, Andre Sam menyampaikan, “Ketika kita memulai bahasan tentang manusia dan budaya, kita membuka sebuah perbincangan tentang rumah tua bersama. Sebuah rumah yang usianya jauh lebih tua daripada agama.

“Rumah tua yang perlu kita rawat bersama-sama, sebuah rumah yang hingga kini, secara atmosfer lebih banyak hawa panasnya, banyak tempat suci didirikan dengan atas nama agama apa pun, tak kunjung membawa kesejukan dalam kehidupan keseharian kita.”

Andre Sam melanjutkan, “Jika kita sederhanakan, sebagai contoh, wihara, tentu kita sering mendengar, wihara malah sebagai tempat perkelahian, kebanyakan perkelahian psikis. Ini wihara apa arena tinju? Wihara kok hanya untuk urusan menang dan kalah. Untuk itulah, mari kita membicarakan tentang nasib kita, terkait dengan diri kita, budaya kita, dan Dharma.”

Umat Buddha daerah

Ngasiran yang telah melakukan peliputan umat Buddha di berbagai daerah di Indonesia, menyampaikan bahwa perkembangan umat Buddha di daerah-daerah, terutama Jawa tidak bisa dipisahkan dari tradisi budaya yang telah ada.

“Terkait tema ini, saya teringat cerita Pak Eko Legowo, beliau bercerita bagaimana dulu Rama Syailendra Among Prajarto membina umat Buddha Temanggung. Menurutnya, pendekatan yang dilakukan Rama Among pada masa itu adalah pendekatan budaya. ‘Vihara di Jawa harus bernuansa Jawa, dalam berkomunikasi dan menyampaikan ajaran Buddha juga harus memakai budaya Jawa, seperti tembang, karawitan, wayang kulit, dan lain-lain’. Ini berhasil, hampir semua desa-desa di Kecamatan Kaloran tumbuh dan berkembang umat Buddha waktu itu,” tutur laki-laki kelahiran Jepara ini.

Baca juga: BuddhaZine Merawat Bibit-bibit Penulis Baru

“Ada cerita menarik waktu saya wawancara salah satu tokoh agama Buddha Temanggung saat ini. Namanya Parnu, saat ini beliau adalah ketua Lembaga Bina Manggala Sejahtera yang menaungi 18 vihara di beberapa desa Temanggung dan Semarang.

“Beliau awalnya tidak tau agama Buddha, pada saat ada pertunjukan wayang kulit di rumah Mbah Noro (salah satu tokoh agama Buddha masa kebangkitan Temanggung), beliau datang dengan jalan kaki dengan niat untuk menonton pertunjukan itu. Di sela pementasan, Rama Among menyampaikan Dharma, dari situ Pak Parnu tertarik dan mendalami agama Buddha, hingga kini menjadi salah satu tokoh penggerak umat Buddha di Temanggung,” jelas Ngasiran.

Menurutnya, kondisi ini juga yang terjadi di Jepara, tempat kelahirannya. Perkembangan agama Buddha di Jepara juga tak dapat dipisahkan dari tradisi dan budaya.

Mbah Kalam, tokoh kunci munculnya agama di Jepara adalah sosok spiritual Jawa yang mendalami ilmu dalang. Ini juga digunakan untuk menyampaikan Dharma.

“Nah kalau di Jepara ada yang menarik, bagaimana Dharma memengaruhi tradisi di sana. Artinya, tradisi masih dijalankan tetapi disesuaikan dengan Dharma. Salah satu contoh, kalau dulu untuk upacara-upacara kendurian/selamatan harus menggunakan mahkluk hidup seperti ayam dan harus menyembelihnya dengan tangan sendiri, sekarang cukup membeli ayam potong dari pasar,” pungkasnya.

Umat Buddha perkotaan

Sementara itu Hendrick Tanuwijaya menjelaskan perkembangan umat Buddha perkotaan, khususnya di Surabaya mengalami stagnasi atau ya begini-begini saja.

Ia menjelaskan bahwa banyak umat Buddha menempuh pendidikan di sekolah Kristen, meski tetap ke wihara karena orangtua Buddhis. Tetapi jika rata-rata ditanya, merasa nyaman di mana? Gereja atau wihara? Hendrick menjelaskan, jawaban dari anak-anak adalah nyaman di gereja.

Baca juga: BuddhaZine Merawat Penulis Muda

Hal itu ia jelaskan karena, gereja dirancang sesuai dengan kekinian, di sana ada tempat minum kopinya, tempat nongkrong yang keren. Wihara? Kemudian, ketika kebaktian, di sana ada musiknya, dan musiknya sangat mewakili anak-anak muda. Wihara? Belum lagi soal arsitektur? Modern. Wihara?

Meski demikian, Hendrick mengapresiasi BZTalk, meskipun peserta yang hadir tidak terlalu banyak, dimulai dari kegiatan kecil inilah, semangat untuk mencari pola yang cocok untuk anak-anak perkotaan menjadi lebih segar, ada musiknya ketika pujabhakti.

Musik di sini, tentu tak hanya sekadar musik tempelan, ia benar-benar ada rasanya, ia bisa membantu kita dalam meditasi, membawa keheningan, keceriaan, dan tentu saja semangat.

Peserta

Seorang perempuan yang masih muda menanggapi, “Acara semacam ini menyegarkan bagi saya! Biasanya kalau ada acara di wihara itu ya mendengarkan Dharma, tanpa ada musiknya. Saya sangat excited!

Ada pula seorang periset yang turut hadir, ia berkomentar, “Saya sangat terima kasih kepada Mas Ngasiran yang telah banyak berbagi pengalamannya terkait dengan umat Buddha di daerah, saya jadi tahu.”

“Kebaktian, itu membosankan.” Seorang peserta membuka kesannya dalam mengikuti BZTalk, “Kita hanya diceramahi dan diceramahi. Soal agama Buddha, saya sudah tidak ada feel lagi. Karena semua hanya doktrin yang masuk di kepala saya. Acara kali ini, sedikit membuat saya merasa segar.”

Acara BZTalk ditutup dengan lagu Bhanawa Sekar yang dibawakan oleh Astakosala Volk, sebuah lagu tentang rangkaian persembahan bunga kepada leluhur.

[youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=kxde6VDS9jA” width=”560″ height=”315″]

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara