• Thursday, 28 November 2019
  • Deny Hermawan
  • 0

Borobudur Writers and Cultural Festival 2019 kembali digelar, difokuskan di kawasan Candi Borobudur Jawa Tengah, 22-23 November 2019. Pada sesi simposium di hari kedua, terdapat beberapa pakar yang menyampaikan materi bertema “Membedah Tantrayana di Nusantara”.

Ida Bagus Putu Suamba dari Politeknik Negeri Bali saat menjelaskan konsep tantrayana di Bali menjelaskan, raja-raja di Bali dan Jawa kuna umumnya mempelajari dan mempraktikkan ilmu tantra. Ini utamanya digunakan untuk kepentingan sosial politik, untuk mengendalikan negara.

“Tapi untuk tujuan spiritualnya adalah pembebasan, enlightenment,” jelas dia.

Terkait tantra di Bali, menurutnya secara teknis itu merupakan proses pengolahan aksara di tubuh manusia untuk mencapai pembebasan, bersatunya mikrokosmos dan makrokosmos. Aksara sendiri menurutnya adalah sesuatu kekuatan yang kekal, tak terlahirkan/terhancurkan, dan hanya bisa berganti wujud.

“Alam semesta ini adalah suara. Aksara akan menggetarkan tubuh, membangkitkan Kundalini,” jelasnya.

Ery Soedewo dari Balai Arkeologi Medan menjelaskan, kawasan Padang Lawas di Sumatera Utara adalah salah satu kawasan yang memiliki banyak situs candi yang memiliki karakteristik buddhis tantrik. Dari catatan era Belanda, menurutnya tercatat ada lebih dari 20 situs candi.

“Tapi sekarang yang ditemukan baru 17, beberapa di antaranya berubah fungsi jadi tempat hiburan, jadi kolam pancing,” ungkapnya.

Dari kawasan Padang Lawas menurutnya cukup banyak ditemukan peninggalan arca. Yang terkenal adalah arca Hevajra atau yang oleh kalangan lain disebut sebagai arca Heruka.

“Namun sayang saat ini sudah tidak diketahui [arca Hevajra itu] jejaknya di mana,” paparnya.

Ia melanjutkan, “Di Padang Lawas, peninggalan visual relief sosok-sosok tantrik berkepala hewan atau raksasa yang terlihat berpose seperti menari ditemukan juga di kawasan itu.” Ery berpendapat, tampaknya dari artefak tersebut hendak menggambarkan ritual yang dilakukan di Padang Lawas saat itu. Ia lalu membandingkan dengan ritual Buddhis tantrik menggunakan tarian dan topeng di Tibet, Nepal, Bhutan, atau India utara yang masih eksis hingga kini.

Sementara, terkait kenapa tradisi tantrik buddhis bisa lenyap dari Padang Lawas, Ery berpendapat bisa saja itu karena adanya invasi. “Ada yang menyebut karena kurangnya interaksi dengan India, sesudah agama Buddha menurun di sana,” urainya.

Di Padang Lawas sendiri, saat ini masih ditemui adanya lesung atau tempat menumbuk padi yang diberi (diukir) semacam mantram dan mandala. Dan hingga kini pun, masih dijumpai pula juga ritual adat yang masih menggunakan mantram dan mandala tersebut.

“Jadi itu tampaknya adalah sisa-sisa memori dari tradisi leluhur yang hidup di Padang Lawas,” ungkapnya.

Pembicara lain, Guru Besar Universitas Indonesia Noerhadi Magetsari menjelaskan, tantra buddhis Guhyasamaja pernah dipraktikkan di Nusantara. Ini diketahui dari konsep Panca Tatagatha yang ada di Candi Borobudur, yang memang menjadi objek pemujaan dalam tantra tersebut.

Namun ada perbedaan. Noerhadi berargumen, menurut teks Guhyasamaja yang asli berbahasa Sanskerta, Buddha Vairocana adalah yang ada di tengah-tengah Mandala, dikelilingi empat Buddha lain yakni Amitabha, Ratnasambhava, Aksobhya, dan Amogasiddhi.

Meski begitu, dalam tradisi Tantra Guhyasamaja yang masih hidup dan eksis hingga sekarang –lewat agama Buddha Tibet– yang ada yang di pusat Mandala adalah Buddha Aksobhya.

“Kalau di Nusantara (Borobudur) yang di tengah adalah Vairocana, namun mudranya Vitraka Mudra, bukan Dharmachakra,” jelasnya.

Terkait keberadaan rupang Buddha di Borobudur, ia memiliki pandangan yang berbeda dari pandangan umum. Ia meyakini, arca Buddha yang ada di dalam stupa (di lantai atas) bukanlah Buddha, melainkan Bodhisattwa.

Noerhadi meyakini, yang ada di dalam stupa adalah Bodhisattwa level tinggi, paling tidak sudah mencapai level ketujuh atau Acala (tak tergoyahkan) dari sepuluh tingkatan Boddhisattwa. Menurutnya, di sini, Boddhisattwa sebenarnya sudah bisa melepaskan diri dari lingkaran samsara, namun memilih untuk tinggal di samsara, demi menolong semua makhluk.

“Sesungguhnya arca-arca yang diletakkan di dalam stupa adalah arca-arca Bodhisattwa, bukan arca Tatagatha,” tegas Noerhadi.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara