• Monday, 27 July 2015
  • Ngasiran
  • 0

Umat Buddha di Indonesia mencatatkan sejarah penting pada hari Minggu (26/7/2015) yang untuk pertama kalinya mengadakan Asadha Puja di Candi Borobudur. Sekitar 5000 umat Buddha dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan daerah-daerah lain hadir dalam perayaan tersebut.

Perayaan Asadha kali ini menjadi puncak penutup setelah digelar Indonesia Tipitaka Chanting selama dua hari. Pembacaan Tipitaka digelar di area Taman Lumbini, sedangkan Asadha Puja digelar di pelataran barat Candi Borobudur. Indonesia Tipitaka Chanting dan Asalha Mahapuja 2559/2015 ini diselenggarakan oleh Sangha Theravada Indonesia didukung oleh Magabudhi, Wandani, dan Patria.

Usai Pembacaan Tipitaka selesai, langsung dilanjutkan dengan prosesi Asadha Puja dari Taman Lumbini menuju pelataran barat Candi Borobudur. Barisan prosesi diawali dengan bendera merah putih, bendera Buddhis, sarana puja, dan relik Buddha. Kemudian barisan anggota Sangha diikuti oleh umat yang membentuk barisan sekitar 1 km.

Anggota Sangha yang hadir berjumlah 75 orang yang berasal dari Sangha Theravada Indonesia, Sangha Agung Indonesia, Dharmaduta Thailand untuk Indonesia, sejumlah bhikkhu mancanegara, dan peserta Pabajja Samanera dan Athasilani Sementara. Hadir pula Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kemenag RI Dasikin beserta pejabat Kementerian Agama dan Pemerintah Provinsi Jawa tengah.

“Ini adalah tonggak sejarah bagi umat Buddha di Indonesia, karena ini adalah perayaan Asadha yang pertama yang dilakukan di pelataran Candi Borobudur,” ujar Bhikkhu Dhammakaro, ketua panitia.

Asalha (Asadha) merupakan salah satu dari empat hari besar agama Buddha yang biasanya jatuh pada bulan Juli. Hari Asadha memperingati pertama kalinya Buddha Gotama mengajarkan Dhamma kepada lima pertapa, yaitu Dhammacakka Pavatana Sutta (Kotbah Pemutaran Roda Dhamma).

Asadha Agung kali ini juga semakin terasa istimewa selain karena untuk pertama kalinya digelar di Candi Borobudur, juga karena pada saat bersamaan diadakan juga Pembacaan Tipitaka.

“Mengulang pembacaan Tipitaka menjadi sangat relevan dilakukan pada perayaan Asadha,” jelas Bhante Dhammakaro.

Sementara itu Sekretaris Jenderal Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) Bhiksu Badraruci juga menyebut Pembacaan Tipitaka sangat tepat dijalankan pada saat Asadha, apalagi dilakukan di tempat yang sakral di Candi Borobudur yang agung.

“Asadha adalah peristiwa yang sakral dan Borobudur merupakan mandala Buddha. Begitu pula dengan pelafalan Tipitaka yang mengandung instruksi-instruksi Buddha,” ujarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa Tripitaka bagi umat Buddha bukan hanya sebagai kitab suci, namun juga mengandung ajaran Buddha yang dibabarkan lebih dari 46 tahun sejak Beliau mencapai penerangan sempurna.

“Kita wajib membangkitkan kembali aktivitas bajik ini yang sempat terhenti di beberapa masa. Di India sendiri, Yang Mulia Dalai Lama XIV setiap tahun selalu mengulang pembacaan Tripitaka dalam bahasa Tibetan, dan setelahnya juga sudah dimulai pembacaan Tipitaka dalam bahasa Pali, baik di India, Myanmar, Srilanka yang diprakarsai oleh Internasional Tipitaka Chanting Ceremony.

“Saat ini kita mulai bangga karena kegiatan bajik ini sudah dimulai di Indonesia. Lagipula di zaman modernisasi yang cenderung bablas sekarang ini, upaya untuk menghidupkan kembali tradisi bajik menjadi nilai tambah dan sangat relevan,” jelas Bhiksu Bhadraruci.

Ia melanjutkan, agama Buddha bukanlah agama misionaris yang menarik banyak umat. Bagi agama Buddha, menyebarkan kasih sayang lebih penting dari sekadar memiliki umat Buddha yang banyak.

20150727 Perayaan Asadha Untuk Pertama Kalinya Digelar di Candi Borobudur_2  20150727 Perayaan Asadha Untuk Pertama Kalinya Digelar di Candi Borobudur_3

“Ini adalah momen yang bersejarah, karena untuk pertama kalinya pembacaan Tipitaka diadakan di Borobudur. Dari momen ini muncul tugas yang mendesak bagi Sangha untuk umat, sebab di dunia yang dilanda dengan perpecahan dan intoleransi sektarian, agama saat ini dibutuhkan lebih dari sebelumnya untuk memancarkan kasih sayang dari seluruh tanah air di Indonesia yang akan bergema ke seluruh makhluk di alam ini,” ujar Wangmo Dixey dari Internasional Tipitaka Chanting Ceremony.

Sementara itu, dalam pesan Dhamma-nya Bhikkhu Sri Pannyavaro menyampaikan bahwa kitab suci Tipitaka terdiri lebih dari 40 jilid, untuk membacanya sampai habis mungkin butuh waktu lebih dari 30 tahun.

“Namun dari semua ajaran Buddha yang begitu banyak, ada kata kuncinya, yaitu ajaran Buddha adalah tentang penderitaan dan lenyapnya penderitaan. Dan hal yang paling penting adalah bagaimana cara melenyapkan penderitaan. Penderitaan akan lenyap ketika akar dari penderitaan, yaitu keinginan beserta turunannya dapat diatasi,” jelas Bhante Pannyavaro.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara