• Friday, 1 December 2017
  • Ngasiran
  • 0

Candi Borobudur, merupakan warisan luhur Nusantara. Dengan segala kemegahan ukiran, relief, dan nilai ajaran yang terkandung di dalamnya, menunjukkan kecerdasan dan kepercayaan diri nenek moyang Nusantara pada masa itu.

Tetapi tak hanya Borobudur, bukti kebesaran dan kecerdasan bangsa Nusantara masa lalu juga ada di Pulau Sumatera, Situs Muaro Jambi peninggalan Sriwijaya. Dua bangunan suci peninggalan sejarah masa lalu ini sama-sama situs peninggalan agama Buddha.

Dr. Agus Widiatmoko, seorang arkeolog yang tekun dalam meneliti Situs Muaro Jambi menghubungkan Candi Borobudur dengan Muaro Jambi dan Nalanda, India. Menurutnya, Bangunan semegah dan secerdas Candi Borobudur pasti disokong oleh institusi pendidikan yang sangat besar saat itu.

“Tidak mudah untuk memvisualisasikan Sutra Gandawyuha ke dalam frame-frame relief Borobudur, dibutuhkan pengetahuan yang tinggi, ilmu pengetahuan menjadi kunci di sini, bukan hanya sekedar pengetahuan teknis tetapi pemahaman ajaran yang luar biasa dalam sutra tersebut,” terangnya dalam pidato kebudayaan yang disampaikan dalam pembukaan  Borobudur Writers and Culutural Festival (BWCF) Kamis, (23/11) di Inna Garuda, Malioboro Yogyakarta.

Menurut Agus ini nyambung dengan inti ajaran Buddha tentang pratityasamuppada hukum sebab akibat. “Tidak ada sesuatu yang kebetulan, adanya ini dikarenakan itu. Adanya itu dikarenakan ini. Jadi saya membayangkan kalau, ada Borobudur pusat pendidikannya di Sriwijaya.

“Ini juga kalau dalam Gandawyuha, Sudhana untuk menghilangkan avidya (ketidaktahuan) dan mencari prajna (kebijaksanaan/pengetahuan) gurunya tidak tanggung-tanggung dia belajar dari guru ke guru yang tidak hanya Buddhis, tetapi orang yang di masyarakat dianggap tidak penting.”

Tetapi yang lebih menarik, menurut Doktor Arkeologi ini hubungan Muaro Jambi, Nalanda, dan Vikramasila India.

“Muaro Jambi ini sangat luar biasa, sebagai arkeolog saya berpikir apa ini? Situs Muaro Jambi luasnya 3.000 hektar. Tidak tanggung-tanggung luas satu candi ada yang 3 hektar, ada 2 hektar. Saya jadi bingung apa ini?

“Dalam pencarian saya saat itu sampai pada kedatangan seorang Biksu dari Tibet. Di Muaro Jambi ada pohon Campaka, seperti pohon pete, kalau tua bijinya pecah. Beliau menceritakan ini pohon Campaka kalau di kami ini untuk inisiasi, inisiasi kalau siswa Buddhis lulus, di mana itu, di Tibet. Jadi kesimpulan saya saat itu kalau mau mengetahui Muara Jambi kuncinya ada di Tibet.”

Kemudian, Agus melanjutkan, “Seorang yang namanya Atisha Dipankara belajar selama 12 tahun di suatu tempat yang namanya Suwarnadwipa. Belajar kepada Acharya Dharmakirti, orang Tibet menyebutnya Serlingpa, serling itu Sumatera, pa itu orang, jadi ajaran orang Sumatera. Tidak lain dan tidak bukan adalah Acharya Dharmakirti. Saya mendengar itu saya jadi kagum dan bulu kudu saya berdiri.”

“Ada sebuah teks lagi saya baca, di Nalanda itu ada prasasti permintaan Raja Baladewa, penguasa Sriwijaya untuk membangun salah satu vihara di Nalanda dan vihara itu masih ada, masih berdiri dan vihara itu paling besar.”

“Saya membayangkan kalau Nalanda itu sebagai pusat pendidikan artinya dulu banyak siswa-siswa yang dikirim ke sana, kalau kembali ke Sumatera pasti mendirikan pusat pendidikan yang serupa. Ini kunci yang kedua ada cerita Atisha dan cerita prasasti yang di Nalanda.”

Yang ketiga ada kitab catatan praktik Buddhadhamma di lautan diceritakan bahwa ketika I Tsing berlayar ke India untuk mempelajari kitab dia singgah dulu di Sriwijaya dan di sana dia mempelajari kitab yang bernama kitab Mahayana Pancavidya. Sabdavidya (ilmu bahasa), Silapasthanavidya (ilmu seni rupa dan hastakarya), Chikistavidya (ilmu pengobatan), Hetuvidya (Ilmu logika), dan Adhyatmavidya (ilmu spiritualitas). Seorang I Tsing belajar Pancavidya di Jambi.

“Bukan hanya itu, I Tsing juga mendeskripsikan fisik-fisiknya, dia mendefinisikan di Nalanda Biksu-biksu banyak, ribuan, kalau mandi di kolam-kolam yang luas. Dia juga mendeskripsikan kalau di Sriwijaya juga sama, tidak jauh berbeda.”

Pulau Sumatera pada masa Sriwijaya merupakan titik yang strategis dalam pelayaran dunia. Titik temu antarnegara-negara inilah kemudian yang membuat Sriwijaya menjadi tempat singgah para pelayar dari berbagai negara termasuk I Tsing dari Tiongkok ke India.

“Ada di satu titik temu pelayaran dari India ke Sumatera, kalau dari Tiongkok pasti akan berhenti dulu di Sumatera. Dan di Sumatera minimal 6 bulan karena angin sudah berbalik arah. Begitu juga dari India ke Tiongkok akan berhenti di Sumatera dan berhenti 6 bulan juga. Ini salah satu bukti logis Sriwijaya saat itu menjadi besar.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara