• Thursday, 18 July 2019
  • Deny Hermawan
  • 0

BuddhaZine menggelar acara pertunjukan musik dan diskusi budaya “Java Connections”, yang digelar di lapangan Dusun Krecek, Desa Getas Kecamatan Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (14/7/2019) malam. Acara berlangsung semarak, dengan menampilkan Astakosala Volk, band asal Solo yang mengusung musik modern yang mengandung syair sastra Jawa, dan Adit, musisi muda asal Jakarta yang membawakan beberapa lagu bernuansa spiritualitas Bali.

Selain pertunjukan musik, terdapat diskusi budaya yang menghadirkan Goenawan A. Sambodo, seorang arkeolog, dan juga Elizabeth D. Inandiak, penulis asal Perancis yang terkenal dengan karya re-interpretasinya terhadap Serat Centhini.



Goenawan dalam kesempatan ini membahas Lubdhaka, salah satu judul lagu yang dibawakan Astakosala Volk. Lagu ini liriknya berasal dari kakawin Siwaratrikalpa, yang digubah oleh Mpu Tanakung di abad ke-15.

Lubdhaka adalah salah satu tokoh utama dalam Siwaratikalpa, atau malam pemujaan Siwa. Kakawin itu menceritakan Lubdhaka seorang pemburu, yang karena karma lampaunya kesulitan mendapatkan buruannya. Ia lalu naik ke atas pohon di pinggir kolam, dan menjatuhkan satu-persatu dedaunan di pohon ke kolam hingga dini hari.

Ternyata malam itu adalah malam khusus untuk pemujaan Dewa Siwa, kemudian berkenan mengampuni segala kesalahan yang pernah dilakukan Lubdhaka. Ia lalu secara spiritual diangkat setingkat lebih tinggi dari levelnya saat itu oleh Sang Mahadewa.

“Belum tentu apa yang kita lakukan saat ini adalah sesuatu yang jelek, atau sesuatu yang baik,” ucap pria yang akrab disapa Mbah Goen ini, membahas pesan moral dari kisah Lubdhaka.

Goenawan lantas membahas tradisi dongeng sebelum tidur dari para leluhur Jawa, yang kini sudah jarang dilakukan. Padahal cerita berisi kebaikan moral menurutnya penting ditanamkan pada anak-anak di era modern ini.

“Hal itu sudah tertulis bahkan tergambarkan dalam relief candi-candi,” kata Goen membahas beberapa kisah dongeng leluhur Jawa.

Ia mencontohkan salah satu panel relief Candi Mendut tentang kisah kura-kura yang dibawa terbang oleh dua ekor angsa. Di tengah perjalanan, kura-kura yang menggigit bilah kayu yang dibawa terbang melanggar aturan untuk tutup mulut. Ia berbicara dan akhirnya terjatuh dan celaka, dimakan oleh orang-orang. Dari situ ia mengajak para hadirin untuk menjalankan apa yang sudah baik dan diakui benar oleh para bijak dan leluhur.

“Ya sudah itu dijalani dengan baik,” pesannya.

Kisah-kisah jataka yang ada di berbagai relief candi di Jawa menurutnya sangat baik untuk didongengkan pada anak-anak masa kini sebelum tidur, lebih baik daripada memberikan mereka smartphone.

“Semoga hal itu masih tetap dilakukan,” harapnya.

Sementara itu, Elizabeth D. Inandiak yang kelahiran Perancis menuturkan bahwa ia melahirkan anak dan menjadi ibu di Jawa. Sehingga ia merasa menjadi bagian dari tanah Jawa.

Dirinya mengisahkan perjalanan kerohaniannya yang khas Jawa. Tahun 1989 ia datang pertama kali ke Indonesia sebagai wartawan untuk menulis tentang kejawen dan Islam. Ia mewawancarai Mohammad Rasjidi, menteri agama pertama era Soekarno.

Dari Rasjidi ia lalu mendapatkan literatur Serat Gatholoco, yang dikenal kontroversial bagi orang Islam. Gatholoco dikisahkan urakan, dan sering berdebat dengan para ulama Islam, untuk mengajak mereka mengikuti agama yang “tidak jelas”.

“Jawa itu negara aneh,” ungkapnya saat mengetahui adanya spiritualitas Jawa yang seperti yang diajarkan Gatholoco.

Elizabeth lalu bisa menemui KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dari tokoh NU itulah Elizabeth paham bahwa ada beberapa istilah yang identik dengan Islam Jawa namun asalnya dari bahasa Sanskerta atau tradisi Buddhis, misalnya adalah kata seperti santri atau puasa.

Elizabeth pun lalu berkesimpulan bahwa beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang berawalan “bud” seperti budaya atau budiman berasal dari kata bodhi yang artinya pencerahan. Kata budiman misalnya, menurutnya makna aslinya adalah bodhisattwa.

“Agama Buddha sangat berakar, sehingga orang Islam pun mengambil, terutama Nahdatul Ulama,” katanya.

Pulang ke Perancis, lantas ia merasa dicintai oleh “sesuatu tak kelihatan”, yang disebutnya kekasih yang tersembunyi. Dalam tradisi Buddhis Nusantara, ia memaknai atau menyebutnya sebagai Bodhicitta.

Sampai akhirnya tahun 90-an ia bertemu juru kunci Gunung Merapi, Raden Ngabehi Surakso Hargo, atau yang terkenal dengan sebutan Mbah Maridjan.

Oleh Mbah Maridjan, ia dibawa ke beberapa tempat keramat, seperti sebuah pohon beringin yang hidup di lereng Merapi. Dari Mbah Maridjan yang lalu mengangkatnya menjadi anak angkat inilah, Elizabeth mengaku belajar banyak tentang kebijaksanaan Jawa.

“Kebijaksanaan Mbah Maridjan sangat dalam,” ujarnya.


Hidup di Jawa selama 30 tahun dan bertemu banyak orang bijak, Elizabeth mengaku kini menjadi manusia yang universal. Hingga kini ia terkesan, karena kebudayaan Jawa menurutnya sangat dalam. Salah satu kedalaman itu ia temukan lewat Serat Centini, yang ia tulis ulang dari aslinya lebih dari 4000 halaman menjadi sekitar 400 halaman. Ia terkesan dengan sosok Tambangraras yang menurutnya berhasil meraih capaian spiritual yang tinggi.

“Dia berhasil karena tidak mengejar Tuhan tapi karena mengabdi,” tuturnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara