
Untuk memilih kepengurusan baru, Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) mengadakan Maha Sabha (Kongres) di Hotel Novotel, Mangga Dua Square, Jakarta tanggal 16-17 Desember 2014. Maha Sabha dibuka oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin dengan pemukulan gong sebanyak lima kali yang melambangkan Pancasila.
Lukman Hakim Saefuddin bercerita acara di KASI tersebut adalah acara keagamaan keenam yang ia hadiri dalam sehari, dan masih ada satu lagi acara keagamaan di Hotel Borobudur. “Karena saya Menteri Agama, menterinya seluruh umat beragama, maka umat Islam, umat Buddha, umat Kristen, semuanya mempunyai porsi yang sama untuk mendapat perhatian dari pemerintah, dari negara,” ujar Menteri Agama yang disambut tepuk tangan.
Pembukaan Maha Sabha juga ditandai dengan sarasehan tokoh lintas agama bertema “Peran Tokoh Agama dalam Membangun Karakter Bangsa yang Berkebudayaan”. Sarasehan menghadirkan tiga pembicara Prof. Machasin (Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI), budayawan Katolik Romo Franz Magnis-Suseno, dan Bhikkhu Sri Pannyavaro. Sedangkan perupa dan pemerhati budaya Firman Lie sebagai moderator.
Menurut Firman Lie, mulai dari awal negara Indonesia didirikan sudah ada dasar-dasar budaya yang sudah ditentukan, misalnya sifat gotong royong atau tolong-menolong, makin hari makin terasa tergerus.
Pembicara pertama Prof. Machasin menyatakan tokoh agama memiliki peran sangat strategis karena kewibawaannya yang keluar dari kata-katanya. “Umat sedemikian percaya kepada tokoh agamanya, untuk hal-hal tertentu,” ujar Prof. Machasin. Karenanya, dalam pembentukan karakter bangsa, tokoh agama sangat menentukan, walaupun tidak sendirian.
Menurutnya, di dalam Alquran disebutkan adanya dua peran tokoh agama, yaitu mendalami agama dan memberi nasehat kepada umat. Sedangkan dakwah bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dakwah melalui ucapan dan dakwah melalui perbuatan.
“Seringkali orang tidak percaya pada apa yang diomongkan, yang dipercaya adalah apa yang dikerjakan,” jelas Prof. Machasin. Umat lebih percaya teladan yang diberikan pemimpin agama daripada isi ceramahnya. Karenanya di daerah asalnya di Purworejo, Jawa Tengah dikenal istilah kyai jarkoni, bisa ngajar ora bisa nglakoni (bisa ngajar tak bisa melakukan).
Pimpinan agama disebutnya masih menjadi sosok elit dalam masyarakat dan bisa menggunakan kewibawaannya di luar umatnya. Dengan sedikit menyindir, ia menyebut kyai-kyai sekarang banyak yang makin ‘dihargai’. “Kalau pemilihan bupati harganya sekian, pemilihan presiden harganya sekian,” celetuknya yang disambut tawa hadirin. “Karenanya ada yang mengatakan doa kyai sekarang banyak yang tidak dikabulkan, karena harganya sudah makin jelas.”
Sementara itu Romo Magnis juga menggarisbawahi pentingnya peran tokoh agama dalam membentuk karakter bangsa. Karakter yang berbudaya adalah yang bisa menghargai nilai-nilai luhur bangsa.
Ia menyayangkan belakangan ini kita sering mendengar banyak berita orang beragama berbuat jahat, malah kadang mengatasnamakan agama. Ia meminta jangan menyalahkan agamanya, karena bukan agamanya yang salah. Ia juga menyayangkan media lebih sering memberitakan tentang suatu kejahatan daripada suatu kebaikan. Ini adalah tantangan bagi agama karena manusia dibentuk oleh media dengan hal-hal yang negatif.
Untuk membentuk orang berbudaya yang terpenting adalah peran keluarga, peran pendidikan formal juga sangat penting dan juga negara. Lalu bagaimana peran tokoh agama? “Peran tokoh agama lewat omongan dan perbuatan,” jelas Romo Magnis.
Romo Magnis menjelaskan tantangan tokoh agama saat ini adalah dalam hal pluralisme, yaitu bagaimana mengkombinasikan dua hal: tetap meyakini kebenaran agamanya sendiri sekaligus menghormati keyakinan-keyakinan lain. Pluralisme bukan berarti mengatakan bahwa semua agama sama, justru jelas agama tidak sama. Yang harus dilakukan adalah menghormati perbedaan itu.
Ia menjelaskan, orang yang tahu Tuhan seharusnya rendah hati dan menghormati kebebasan orang lain. “Agamawan yang tidak menghormati keyakinan orang lain berarti tidak tahu tentang Tuhan sama sekali,” lanjut Romo Magnis.
Ia juga menyebut sekolah Katolik seharusnya tidak boleh memaksakan muridnya yang beragama Buddha untuk beribadah secara Katolik. Ia tidak memungkiri hal itu masih terjadi. “Ini tidak benar,” ujar Romo Magnis.
Bhikkhu Sri Pannyavaro sebagai pembicara terakhir menyoroti tentang salah satu karakter bangsa Indonesia, yaitu gotong royong. Namun sekarang ada yang mengkritik gotong royong tanggung jawabnya tidak jelas, lebih baik tanggung jawab individual. Bhante Pannyavaro menyatakan lebih baik keduanya bisa dijalankan, yaitu gotong royong dan tanggung jawab sosial.
Menurutnya, karakter gotong royong dibentuk ratusan tahun, tidak hanya dibentuk oleh agama yang memperkaya filosofi bangsa, namun juga dibentuk oleh karakter alam Indonesia yang subur. Bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai bangsa yang keras. Gotong royong memunculkan perilaku positif bisa berkompromi. Sikap gotong royong juga membuat orang Indonesia mudah berpolitik.
Bhante Pannyavaro juga menyoroti banyak orang yang salah menafsirkan konsep hak asasi manusia sebagai hak asasi aku. Menurutnya, konsep hak asasi aku tidak cocok dengan Buddhis, karena dalam Buddhis dikenal konsep anatta (tanpa aku yang kekal).
“Lebih tepat jika bukan hanya hak asasi manusia, tetapi apakah kita tidak pernah berpikir tentang kewajiban asasi manusia?” jelas Bhante. Kewajiban itu adalah menghargai yang lain, menghargai semua kehidupan meskipun lemah dan rendah, menolong yang menderita, melindungi, menghargai, dan solider terhadap penderitaan yang mereka alami.
“Kewajiban asasi manusia lebih cocok dengan pandangan Buddhisme,” simpul Bhante.
Kemudian Bhante bercerita tentang prinsip Berketuhanan yang digagas oleh Bung Karno, “Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni tidak ada egoisme agama. Marilah jalankan agama dengan cara berkeadaban.” Bung Karno mengatakan, salah satu berkeadaban adalah menghormati satu dengan yang lain.
Bhante Pannyavaro juga bercerita tentang obrolan dengan almarhum Gus Dur di Solo tentang kebiasaan orang Indonesia beribadah. Ketika itu Gus Dur ditanya, orang Indonesia suka sekali berdoa tapi kenapa dalam masalah kemanusiaan tidak maju? Gus Dur menjawab, “Kesalehan doa tidak berbanding lurus dengan kesalehan perilaku.”
Bhante kemudian membandingkan dengan kebiasaan umat Buddha, “Jadi kalau umat Buddha khusyuk baca paritta, bahkan hafal, tidak bisa menjadi ukuran bahwa kekhusyukannya itu juga kesalehan perilaku.”
Sama seperti yang sering disampaikan oleh Dalai Lama, salah satunya kepada Desi Anwar dalam acara Face2Face di Metro TV, “Seseorang yang tidak mengerti identitas agamanya, bahkan tidak punya identitas agama tidak bisa dianggap sebagai orang buruk, orang jahat, orang jelek, pembohong, pengacau, dan sebagainya. Dia bisa orang yang baik, rendah hati, suka menolong, rendah hati, punya toleransi yang tinggi. Sebaliknya orang yang merasa jelas identitias agamanya tidak serta merta dia dikatakan orang baik.”
“Perilakulah yang membentuk bangsa ini menjadi bangsa yang berbudaya,” tutup Bhante Pannyavaro.