• Tuesday, 22 September 2015
  • Ngasiran
  • 0

Minggu (20/9), umat Buddha Kabupaten Jepara, Jawa Tengah berduyun-duyun ke Vihara Metta Karuna di Desa Blingoh Lembah, Kec. Donorojo, Kab. Jepara. Serasa merayakan hajatan besar dan meriah, lebih dari 2500 umat datang untuk mengikuti acara peresmian Vihara Metta Karuna yang baru selesai dibangun. Acara peresmian ini juga dihadiri oleh lima bhikkhu Sangha, diantaranya Bhikkhu Jotidhammo (Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia), Bhikkhu Cattamano (Padesanayaka Sangha Theravada Indonesia Jawa Tengah), Bhikkhu Sujano, Bhikkhu Dhammamito, dan Bhikkhu Khemadiro. Hadir juga Pembimas Buddha Jawa Tengah Sutarso, Camat Donorojo Nuryanto, Lurah Blingoh, dan tokoh lintas agama.

Diawali dengan penampilan seni dari anak-anak Sekolah Minggu, pembacaan kitab suci Dhammapada dan paduan suara ibu-ibu Wanita Theravada Indonesia (WANDANI) dari berbagai vihara di Kabupaten Jepara, membuat acara ini sarat makna. “Acara ini sangat bagus dan sarat dengan makna Dhamma,” puji Bhikkhu Jotidhammo.

Sebelum dibangun vihara yang baru, umat Vihara Metta Karuna melakukan segala aktivitas keagamaan di Cetiya Metta Karuna yang sangat sempit berukuran 5 x 7 meter. Proses pembangunan vihara baru ini cukup lama, umat Buddha se-Kabupaten Jepara harus mengumpulkan dana selama 15 tahun untuk membeli sebidang tanah berukuran 23 x 40 meter yang sekarang digunakan untuk membangun vihara yang baru.

Menariknya, pembangunan vihara ini dilakukan secara gotong royong, bahkan tidak hanya dilakukan oleh umat Buddha, umat Muslim juga ikut andil besar dalam pembangunan vihara ini.

“Tokoh agama Islam beserta umat Islam juga ikut membantu dalam pembangunan vihara ini. Contohnya, pada saat material datang, mereka bekerjasama ikut menurunkan material, saat datangnya rupang Buddha dan altar, bahkan ketika mau menaikkan genteng yang harusnya dinaikkan hari Senin pagi, namun pada hari Senin pagi genteng sudah naik semua. Ternyata itu dikerjakan semua umat termasuk umat Muslim pada hari Minggu sore sampai jam 11 malam,” ujar Kasipan, ketua umum pembangunan vihara.

Sementara itu Camat Nuryanto memberikan pujian kepada umat Buddha Jepara yang berhasil membangun umat dan mendirikan vihara yang terbilang cukup megah. “Dalam agama Buddha pasti juga ada kelompok-kelompok atau sekte, sama halnya dengan agama saya, Muslim, yang ada Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Saya berharap apa pun sekte yang ada di agama Buddha di Jepara ini dapat hidup rukun, agar umat Buddha tetap kuat,” pintanya.

Bhikkhu Jotidhammo dalam pesannya mengatakan bahwa di Jepara pernah ada kerajaan Buddhis yang pernah berjaya, “Jauh sebelum Sriwijaya dan Majapahit, di Jepara ini pernah berjaya kerajaan besar, yaitu Kerajaan Kalingga yang pernah dipimpin oleh Ratu Sima yang sangat terkenal menjalankan hukum Buddha. Dan di Kerajaan Kalingga juga banyak cendekiawan Buddhis yang terkenal yaitu Janabhadra.”

“Jadi saya pesan kepada ibu-ibu yang tadi menyanyikan lagu Gending Sriwijaya untuk mengenang Kerajaan Sriwijaya, juga menggubah lagu untuk mengenang Kerajaan Kalingga dan Ratu Sima. Saya melihat ibu-ibu di Jepara ini emansipasinya sangat terasa, mungkin ini dikarenakan ada tokoh perempuan besar di Jepara, yaitu Kartini dan Ratu Sima,” lanjut Bhante.

Bhante Joti juga menyinggung soal pentingnya hidup rukun dalam masyarakat. “Dalam agama Buddha ada empat hal yang harus dipenuhi agar kita bisa hidup rukun, yaitu gotong royong, jangan sombong, berbicara yang tidak menyinggung, dan saling memberi. Apabila dalam bermasyarakat kita menjalankan keempat hal ini, niscaya kita akan rukun dan damai,” jelasnya.

20150922 Melihat Falsafah Jawa dalam Bangunan Vihara Metta Karuna Jepara_2

Vihara Metta Karuna yang baru mempunyai konsep bangunan dengan dinding terbuka, seperti sebuah pendopo. Di Jawa Tengah sendiri sudah ada tiga bangunan vihara dengan bentuk serupa dengan arsitek yang sama, yaitu Yarno, seorang arsitek Buddhis dari Desa Jugo, Jepara. “Sebenarnya vihara ini ide Bhikkhu Cattamano, saya hanya menterjemahkan ide Bhante dengan bentuk bangunan vihara,” jelas Yarno.

Sementara Bhikkhu Cattamano menjelaskan bahwa vihara dibuat dengan dinding terbuka agar lebih menyatu dengan alam yang sesuai dengan falsafah orang Jawa, “Kita ini kan orang Jawa, ya coba kita konsep vihara yang bisa membuat masyarakat Buddhis Jawa merasa lebih dekat.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara