• Sunday, 23 October 2016
  • Sutar Soemitro
  • 0

Hari ini, Minggu, 23 Oktober 2016, Saṅgha Theravāda Indonesia (STI) genap berusia 40 tahun. Untuk memperingati ulang tahun yang istimewa ini, sejumlah acara peringatan hari ulang tahun digelar di sejumlah kota, yaitu Jakarta 20 November, Semarang 27 November, Balikpapan 3 Desember, Makassar 11 Desember, Medan 17 Desember, dan Denpasar 25 Desember. Tema peringatan 40 tahun STI adalah “Karuna Santi Hening Karta” (Menebar Kasih Membangun Kedamaian).

Saṅgha Theravāda Indonesia berdiri di Vihara Maha Dhammaloka (sekarang Vihara Tanah Putih), Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 23 Oktober 1976.

Dikutip dari buku 30 Tahun Pengabdian Sangha Theravada Indonesia melalui web Samaggi Phala, ketika itu, pada pertangah tahun1970-an umat Buddha di Indonesia terdiri dari banyak organisasi, namun tidak semua mendapat pembinaan dari Sangha (yang ada waktu itu). Beberapa organisasi tersebut antara lain: Tridharma, Buddhis Indonesia, Persaudaraan Buddhis Indonesia, dan Federasi Buddhis Indonesia. Para pimpinan organisasi umat Buddha tersebut sangat mendambakan agar umat Buddha anggota mereka mendapat pembinaan dari sangha, antara lain untuk kotbah, ceramah, penahbisan pandita, upasaka, pemberkahan perkawinan, rumah, kantor, dan lain-lain.

Pada saat itu ada beberapa bhikkhu muda yang yang baru beberapa tahun di-upasampada di luar negeri dan telah berada di tanah air, juga ada beberapa bhikkhu yang di-upasampada di Indonesia, yang umumnya bukan anggota sangha yang telah ada di Indonesia.

Maka, pada sore hari tanggal 23 Oktober 1976, bertempat di Vihara Maha Dhammaloka (sekarang Vihara Tanah Putih), beberapa orang bhikkhu dan tokoh umat, yaitu Bhikkhu Aggabalo, Bhikkhu Khemasarano, Bhikkhu Sudhammo, Bhikkhu Khemiyo dan Bhikkhu Nanavutto, serta tokoh Suratin MS, Mochtar Rasyid, dan Ibu Supangat, ketika sedang membicarakan hal yang penting ini, muncul pertanyaan apakah para bhikkhu tega membiarkan umat tak dibina? Demi memenuhi kehendak umat dan panggilan kewajiban, maka tercetuslah ide untuk membentuk sangha, yang kemudian dinamakan Saṅgha Theravāda Indonesia.

Setelah STI terbentuk langsung disambung dengan rapat sangha yang menggariskan bahwa STI akan dipimpin oleh seorang Sekretaris Sangha (Maha Lekkhanadikari) dan bukan oleh Ketua (nayaka), karena pertimbangannya adalah semua anggota STI merupakan para bhikkhu muda dan baru terdiri dari lima orang bhikkhu yang kepengurusannya masih muda. Bhikkhu Aggabalo (Cornelis Wowor) diangkat menjadi Sekretaris Jenderal yang pertama dalam Saṅgha Theravāda Indonesia. Tugas STI adalah melaksanakan pembinaan umat Buddha di mana saja anggota berada dan atas permintaan umat.

Pembentukan STI langsung diinformasikan ke berbagai organisasi dan tokoh-tokoh umat Buddha di seluruh Indonesia, dan tak lama kemudian diinformasikan juga kepada pemerintah melalui Dirjen Bimas Hindu Buddha Departemen Agama RI.

Saat ini STI dipimpin oleh Kepala Sangha (Sanghapamokha) Bhikkhu Sri Pannyavaro, Ketua Dewan Sesepuh (Theranayaka) Bhikkhu Jotidhammo, dan Ketua Umum (Sanghanayaka) Bhikkhu Subhapanno. Kepengurusan STI periode 2016-2021 terpilih dalam Persamuhan Agung STI di Vihara Bodhigiri, Balerejo, Blitar, Jawa Timur pada 14-15 Juni 2016. STI saat ini beranggotakan 85 bhikkhu dan membina 126 vihara di seluruh Indonesia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara