Om nathaya namostu te stutinin atpada ri pada bhatara nityaça, san suksmen tlen in
samadi çiwa budda sira sakala niskalatmaka, san çri parwwatanatha nathanin anatha
sira ta patini jagatpati, san hyan nin hyan inisty acintyanin acintya hana waya tmahnren
kurang lebih terjemahannya:
Om! Kepada Pelindung, terpujilah engkau, pujian dari ia yang tunduk dengan kerendahan hati kepada kaki Bathara selalu
Sang sukma di bagian paling dalam, dalam semadi; Siwa-Buddha ia wujud dari keadaan sakala-niskala
Sang Sri Parwatanatha, Raja Gunung, hukum dari segala hukum ia raja dari raja alam semesta
Sang Hyang dari para dewa, tidak dapat digambarkan dari yang tidak dapat digambarkan, mewujud ke dunia
Itulah bait pertama Kitab Nāgarakṛtâgama (Nagarakertagama). Ini adalah kakawin (teks puitis berbahasa Kawi) yang menguraikan keadaan di Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Ia bertakhta dari tahun 1350 sampai 1389 Masehi, pada masa puncak keemasan Majapahit.
Bait-bait awal teks tersebut berisi pujian kepada sosok istadewata, atau “dewata yang dituju”. Dalam konteks Negarakertagama, istadewata itu disebut sebagai Sang Sri Parwatanatha. Siapakah beliau?
Ahli filologi, K.R.T Manu J. Widyaseputra mencoba menjelaskan hal tersebut dalam webinar “Dharma Sutra Nagara Kertagama” yang digelar Minggu (13/3/2022) malam oleh komunitas Ngobrol Santai Indonesia. Manu mengatakan bahwa Parwatanatha ini adalah Siwa sekaligus Buddha, dalam konteks kebenaran tertinggi.
“Parwatanatha itu ya Siwa itu, ya Buddha itu,” katanya.
Ia meneruskan, Mpu Prapanca, penulis kakawin ini, seperti halnya Mpu Tantular (penulis Sutasoma) dan Mpu Dusun (penulis Kunjarakarna) adalah Buddhis. Namun corak Brahmanisme terlihat di karya-karya mereka. Ini sangat wajar dalam konteks Majapahit, dimana di era itu terdapat sosok istadewata Parwatanatha, yang merupakan dewa dari segala dewa, melebihi segala dewata yang ada, dan dipuja semua aliran spiritual yang ada.
“Dia di atasnya Brahma, di atasnya Wisnu, di atasnya Indra, dan sebagainya,” jelas Manu.
Parwatanatha sendiri menurut dia tak lepas dari keberadaan banyak gunung di Jawa Timur, yang merupakan pusat pemerintahan Majapahit. Ia mencontohkan, masyarakat di Lumajang misalnya, dahulu memuja Gunung Semeru, sementara di sekitar Mojokerto memuja Gunung Penanggungan.
“Parwata artinya gunung, natha artinya pelindung. Pelindung gunung. Gunung sebagai pelindung,” terang Manu, yang menyebut ada istilah lain yang bisa dipakai untuk menyebut Parwatanatha, seperti Girinatha, Giripati, Girindra, Parwataraja dan yang lain.
“Pokoknya gunung-gunung itu yang menjadi pelindung bagi masyarakat, karena itu yang memberi kehidupan,” imbuhnya.
Ia menegaskan, ketika seseorang memiliki pola pikir antroposentris, tentunya gunung hanya dianggap sebagai benda mati. Padahal faktanya kalau gunung tidak ada, manusia akan mati karena tidak bisa mendapat air maupun makanan.
“Di dalam pusat kehidupan gunung memberi peran penting,” katanya.
Istadewata tunggal di masa Majapahit
Manu menjelaskan, di masa Majapahit, terdapat banyak aliran religi / spiritual. Cara melakukan ritual tidaklah sama. Namun hanya ada satu istadewata, satu dewata yang tertinggi, yaitu Parwatanatha, yang kadang disebut juga sebagai. Ia dipuja sebagai Siwa, juga dipuja sebagai Buddha.
“Dewa ini memang tidak ada di pantheon dewa manapun di seluruh dunia, hanya ada di Majapahit,” katanya.
Keberadaan istadewata tunggal di era Majapahit ini menurut Manu tak lepas dari campur tangan pemerintah kerajaan. Akibatnya, tidak muncul pertentangan antar berbagai aliran spiritual di era Majapahit.
“Karena ada satu istadewata ini,” imbuh Manu.
Istadewata menurut Manu adalah sumber inspirasi bagi Sang Kawi (penulis kakawin) untuk menghasilkan karya. Kakawin, menurut Manu, bukanlah karya tulis sembarangan. Namun harus ditulis oleh seseorang yang sudah mendapat inspirasi dari istadewata yang dipujanya.
Ia menjelaskan, istadewata bisa “dijumpai” lewat semadi, dengan menembus “alam” sekala-niskala. Sang Kawi sebelum menulis harus bisa “berjumpa” dengan istadewata itu, lewat praktik yoga atau penyatuan, antara dirinya dengan istadewata.
“[Perjumpaan dengan istadewata] Ini akan menjadi petunjuk, [penulisan kakawin] harus ke mana, harus bagaimana,” jelasnya.
“Pertemuan Sang Kawi dengan Sang Istadewata pasti menghasilkan Kakawin,” imbuh Manu.
Ia menambahkan, Mpu Prapanca sepanjang perjalanan bersama Hayam Wuruk selalu “bersenang-senang” manunggal bersama istadewatanya. Karena itu Prapanca tidak pernah mengeluh atau merasa susah. Dan hal itu tercermin dari isi Negarakertagama, yang salah satu bagiannya mengisahkan perjalanan itu.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara