• Sunday, 23 September 2018
  • Junarsih
  • 0

Hingga saat ini belum, semua negara bisa menerima keberadaan Sangha bhikkhuni. Salah satu alasan penolakan adalah Sangha bhikkhuni setelah masa Buddha telah putus dan tidak ada penerusnya. Kegiatan 3rd Asian Buddhism Connection bertujuan untuk menyatukan seluruh pendapat para panelis dari 16 Negara di Asia dan Australia terutama berkaitan dengan pendidikan dan perempuan dalam Buddhis.

“Mulanya penahbisan bhikkhuni mendapat penolakan yang berakar dari Theravada. Padahal, kepemimpinan perempuan sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa kini,” jelasnya Ajahn Sujato mengawali pemaparan materinya, pada 3rd Asian Buddhism Connection, Sabtu (15/9/2018) lalu di Auditorium Prasadha Jinarakkhita.

Ajahn Sujato menjadi pembicaara kunci pada Konferensi Internasional ini. Ia merupakan salah satu bhikkhu yang ditahbiskan dalam silsilah Ajahn Chah, selanjutnya ia tinggal selama 3 tahun di Bodhinyana Monastery (Perth) sebagai sekretaris dari Ajahn Brahmavamso. Bhikkhu ini adalah Founder of Santi Forest Monastery, Australia yang pada sesi pemaparan utama ini dengan tema, “Bhikkhuni dan Kepemimpinan Spiritual.”

Menurut Ajahn Sujato, diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya sebagaimana adanya, melainkan aktif dan sengaja dibangun oleh laki-laki. Dari sikap itu, dunia yang seharusnya bisa menjadi lebih adil dan damai malah menjadi dunia yang banyak terjadi kasus pelecehan, penggertakan, dan penyalahgunaan perempuan.

Namun, pada masa kini, Sangha bhikkhuni telah berkembang dalam Theravada dengan melakukan berbagai kegiatan seperti berlatih, belajar, melayani, beribadah, mendukung komunitas, menginspirasi dan menjadi teladan bagi masyarakat.

“Untuk mengatasi masalah yang terjadi, hendaknya kita mengembangkan welas asih, kebaikan, pemahaman, kebebasan, dan mendengarkan dengan baik. Apabila kita mendukung aspirasi perempuan untuk menjalankan kehidupan keagamaan, maka secara tidak langsung kita mengangkan derajat perempuan sekaligus derajat laki-laki,” tegas Ajahn Sujato mengakhiri pemaparannya.

Pendapat yang sama diutarakan oleh Bhikkhu Nyanasuryanadi sebagai narasumber kedua. Dosen sekaligus Nayaka Theravada Sangha Agung Indonesia (SAGIN) ini menuturkan dalam pandangan Buddhis perempuan memiliki peran yang setara dalam pengembangan spiritual.

“Perempuan saat ini menjadi perhatian khusus dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berbeda dengan zaman sebelum Buddha, perempuan dianggap sebagai yang rendah dan diperlakukan tidak sewajarnya,” jelas Dosen STAB Smaratungga ini.

Pada masa Buddha, peran perempuan dalam lingkungan Sangha dapat dilihat dari perjuangan Prajapati Gotami untuk menjadi bhikkhuni agar bisa mengangkat derajat perempuan setara dengan laki-laki.

“Melalui tranformasi diri dan sosial yang membantu mengenali diri serta melalui pencarian diri dan praktik spiritual akan membuat mereka mengubah diri menjadi sumber kebijaksaan, belas kasih, kesetaraan, dan keteguhan yang memiliki pandangan non-sektarian, inklusif, pluralism universalis, dan berkeyakinan kepada Dharmakaya,” pungkas bhante.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara