• Monday, 15 August 2022
  • Surahman
  • 0

Puluhan orang dari berbagai kota mendatangi Dusun Krecek, Temanggung untuk Ruwatan Sukerta, Jumat (11/8). Ruwatan sukerta adalah sebuah ritual masyarakat Jawa kuno untuk membersihkan diri. 

Terlihat beragam sesaji, rapi menghiasi Pendopo Agung Dusun Krecek. Bagian depan nampak altar Rupang Buddha dengan persembahan puja di sepanjang teras. Harum semerbak dupa berpadu aroma kemenyan memenuhi segala penjuru area pendopo, menambah kesan sakral acara Ruwatan Sukerta di Bulan Suro.

Ruwatan ini diselenggarakan oleh Inda Vineyyajana, pelaku spiritual asal Blitar dan Bhante Dhammakaro bekerjasama dengan warga Dusun Krecek. Sebanyak 44 orang dari berbagai kota seperti Semarang, Jakarta, Surabaya, Banten yang mengikuti ruwatan. Beberapa bahkan ada yang dari luar negeri yaitu Malaysia dan Prancis. Lima anggota Sangha juga nampak turut hadir dalam acara ini.

“Peserta yang bisa hadir langsung hanya enam belas, yang lainnya hanya mengirimkan potongan rambut serta pakaian yang nantinya akan digunakan sebagai sarana ruwatan,” kata Inda. 

Inda menyampaikan bahwa ruwatan bertujuan untuk pembersihan diri peserta ruwatan. “Ruwatan ini untuk menyingkirkan energi negatif dalam diri orang-orang yang diruwat. Selain itu juga untuk perbaikan kehidupan di masa mendatang yang meliputi kesehatan, mental, perekonomian dan lainnya,” imbuhnya.

Ruwatan Sukerta di Dusun Krecek, Temanggung. Foto: Ngasiran

Menurut Inda, suasana Dusun Krecek yang mempunyai aura positif cukup kuat serta menyimpan energi-energi yang mendukung spiritual menjadi alasan pemilihan tempat pelaksanaan acara ruwatan. Sementara Mbah Sukoyo, Kepala Dusun Krecek mendukung pelaksanaan acara dengan memberikan ijin serta membantu mempersiapkan acara.

“Sebelum pelaksanaan acara, malam Jumatnya kita juga menyediakan berbagai sesaji yang ditempatkan di beberapa lokasi di Dusun Krecek. Ini sebagai wujud permisi kita kepada alam dan segenap makhluk yang ada di sekitar Dusun Krecek,” jelas Mbah Sukoyo.  

Ruwatan Sukerta di Dusun Krecek, Temanggung. Foto: Ngasiran

Acara berjalan hampir satu hari satu malam penuh, dimulai pukul 10.00 WIB dan selesai pukul 04.00 WIB dengan beragam acara dari yang inti hingga acara hiburan. Uniknya, ruwatan ini juga seperti simbol toleransi umat beragama, etnis, serta kebudayaan. Meskipun peserta yang ikut hampir semuanya dari etnis Tionghoa tetapi diruwat dengan kebudayaan Jawa. Para pelaku ruwatan juga dari berbagai latar belakang agama.

Alunan gending-gending sakral yang dibawakan sekelompok pengrawit mengiringi berjalannya upacara. Pagelaran wayang dengan Lakon Ngeruwat Kala/Murwa Kala yang dibawakan oleh Ki Suratno, dalang asal Dusun Cendono, menjadi simbol pembersihan segala kenegatifan dalam diri peserta ruwatan. 

Upacara ruwatan juga sebagai wujud pelestarian kebudayaan bangsa yang telah diwariskan oleh para leluhur, yaitu budaya puja. Hal ini disampaikan oleh Bhante Dhammasubho dalam pesan Dhammanya. Bhante menjelaskan bahwa budaya puja sudah dilakukan oleh para leluhur Bangsa Indonesia sejak ratusan abad yang lalu. Menurut Bhante, terjaganya kebudayaan menjadi penunjang keutuhan suatu bangsa.

“Suatu bangsa akan utuh apabila rakyatnya tidak melupakan budaya bangsa sendiri. Di jaman Buddha masih hidup, budaya puja juga sudah dilakukan. Tetapi Sang Buddha tidak menyetujui penggunaan makhluk hidup dalam sebuah upacara, sebagai gantinya bisa menggunakan beragam tanaman” jelas Bhante.

“Sementara di Indonesia budaya puja juga sudah dilakukan oleh para leluhur bangsa sejak ratusan abad yang lalu. Maka dari itu sudah selayaknya kita sebagai pewaris kebudayaan bisa menjaga dan melestarikan warisan nenek moyang kita. Negara yang kuat adalah negara yang merawat dan melestarikan budayanya sendiri, agar tidak terjadi kehancuran,” imbuhnya. 

Sementara beragam kesan dirasakan oleh para peserta setelah mengikuti ruwatan, baik terkesan dengan acaranya maupun dengan lokasi Dusun Krecek. Salah satunya disampaikan oleh Candrawati, peserta asal Semarang yang kini tinggal di Malaysia.

“Saya ikut ini juga sebagai wujud turut merawat tradisi leluhur untuk sebuah keutuhan budaya Bangsa Indonesia. Dan saya juga terkesan dengan Dusun Krecek ini, apalagi ada Bhante Dhammakaro yang berasal dari sini. Jadi Krecek ini harus terus berkembang dan jangan sampai terpolusi,” ucap Candrawati. 

Malam harinya, umat Buddha sekitar dusun turut mengikuti rangkaian upacara berupa prosesi mengelilingi Dusun Krecek. Acara ditutup dengan pagelaran wayang kulit hingga selesai. 

Ruwatan Sukerta di Dusun Krecek, Temanggung. Foto: Ngasiran

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *