• Monday, 4 June 2018
  • Sutar Soemitro
  • 0

Waisak Nasional 2562 BE/2018 Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) di Candi Sewu, Klaten, Jawa Tengah pada Kamis (29/5) mengalami lonjakan jumlah peserta yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ada ribuan umat Buddha yang hadir, bahkan dua tenda besar yang didirikan panitia tidak mampu menampung umat yang hadir.

Waisak di Candi Sewu kali ini lebih ramai karena dijadikan Waisak Nasional dan kepanitiaan dipegang langsung oleh KBI Pusat. Tahun-tahun sebelumnya Waisak di Candi Sewu hanya diikuti oleh umat Buddha dari Jawa Tengah dan DIY dengan kepanitiaan lokal yang dipelopori oleh Bhikkhu Bodhi.

Perayaan Waisak dimulai pukul 16.00 WIB dengan prosesi dari Candi Plaosan menuju Candi Sewu. Barisan terdepan adalah Garuda Pancasila yang diikuti oleh barisan pakaian adat berbagai daerah di Indonesia. Di belakangnya adalah pasukan paskibra dan drumband. Di belakangnya api abadi dan air suci dari tujuh mata air.

Api abadi diambil dari Mrapen, Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan air suci diambil dari tujuh mata air, yaitu Umbul Jumprit (Temanggung), Umbul Pikatan (Temanggung), Candi Umbul (Temanggung), Umbul Senjoyo (Kabupaten Semarang), Umbul Jalatundo (Klaten), Umbul Pengging (Boyolali), dan Sendang Pitutur (Gunung Kidul).

Setelah barisan sarana puja adalah barisan anggota Sangha, barisan pandita Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), dan barisan umat di barisan paling belakang.

Puja bakti detik-detik Waisak di pelataran Candi Sewu turut dihadiri oleh dua tokoh nasional, yaitu Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dan anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Mahfud MD.

Sri Sultan menuturkan tentang hakekat hidup beragama dengan perumpamaan air dan cahaya. Menurutnya, “Ibarat air yang substansinya adalah satu tetapi bentuk wujudnya berupa sungai, danau, lautan, uap, mendung, hujan, kolam, dan embun. Dan ibarat cahaya yang substansinya satu tetapi spektrum cahayanya punya ‘daya terang’ tersendiri.”

“Ia sama dengan agama, kebenaran substansial hanyalah satu, tetapi aspek-aspeknya berbeda,” jelas Sri Sultan.

Sri Sultan mengungkapkan, peradaban negeri saat ini membutuhkan orang yang berani hidup syahid dengan saling mengasihi sesama, saling tolong-menolong, dan melindungi. “Kemiskinan dan mereka yang tidak berdaya sangat banyak jumlahnya, yang justru membutuhkan bantuan. Mari kita tunjukkan peran ke-syahid-an dunia dengan pengabdian, agar hidup terasa lebih bermatabat,” tutur Sri Sultan.

Baca juga: Memaknai Perbedaan di “Taj Mahal” Candi Sewu

Sementara Mahfud berharap apa yang menjadi tema perayaan Waisak Nasional KBI tahun 2018 ini, “Harmoni dalam Kebhinnekaan untuk Bangsa” dapat menyadarkan kebersatuan dalam kebhinekaan yang saat ini sedang menghadapi ancaman meskipun tidak terlalu serius.

“Gerakan-gerakan radikal muncul di berbagai tempat secara sporadis menjadi gangguan ikatan kebangsaan kita. Yang sebenarnya ingin membangun harmoni dalam kebhinnekaan itu,” ujar Mahfud MD.

“Kita tidak perlu berkonflik hanya karena perbedaan agama. Alangkah lebih baiknya saling mengagungkan apa pun agama yang kita anut dengan melaksanakan ajaran agama dengan baik, maka kita akan damai. Yakinlah bahwa orang yang tidak suka perdamaian itu salah dalam melaksanakan ajaran agama. Kalau orang melaksanakan ajaran agama dengan benar, pasti akan saling kasih dengan sesama. Apa pun agamanya,” tandas Mahfud MD.

Ketua Umum Sangha Agung Indonesia (SAGIN) Bhikkhu Khemacaro yang memimpin puja detik-detik Waisak juga berpesan agar kita selalu menjaga kebhinnekaan. Detik-detik Waisak jatuh pada Kamis, 29 Juni 2018 pukul 21.19.13 WIB.

“Nilai dari Waisak ini sesungguhnya adalah memahami perbedaan dari masing-masing individu yang hadir di tengah-tengah kita bersama. Banyak sekali perbedaan yang muncul dalam diri kita, baik keinginan, pengharapan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan diri kita,” ujarnya.

“Kebhinnekaan ini merupakan hal yang tidak dapat kita pungkiri, tidak dapat kita lewatkan, dan akan senantiasa berada di tengah-tengah kehidupan kita,” Bhante Khemacaro menegaskan

Isu tentang kebhinnekaan memang menjadi belakangan menjadi tema yang banyak diapungkan karena kehidupan berbangsa belakangan ini sering diwarnai tindakan yang mencederai kebhinnekaan.

Menurut ketua panitia Waisak Nasional 2562 BE/2018, Bhikkhu Ditthi Sampanno, tema “Harmoni dalam Kebhinnekaan untuk Bangsa” dipilih berdasarkan fenomena bangsa saat ini. Tema tersebutlah yang menjadi spirit umat dalam menyikapi keadaan dan bangsa.

“Tema ini ditetapkan oleh Sangha Agung Indonesia sebagai cerminan semangat dari pelopor kebangkitan Agama Buddha Indonesia. Kita ingin mengajak umat menciptakan kerukunan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama,” jelas Bhikkhu Ditthi Sampanno.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara