• Tuesday, 18 April 2023
  • Surahman Ana
  • 0

Melihat kedatangan Bhante Ditti Sampanno, umat bergegas keluar dari ruangan Dhammasala. Mereka menyambut kehadiran bhante dengan bersikap anjali. Senyum bahagia terlihat terpancar dari wajah-wajah umat Buddha perdesaan Kabupaten Semarang ini. 

Sore itu, Minggu (16/4), umat Buddha Vihara Dharma Maitri Dusun Tuguran, Desa Watuagung, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang menjadi tuan rumah pertemuan rutin selapanan (35 hari sekali berdasar penanggalan Jawa). Umat Buddha dari beberapa vihara di Kec. Tuntang, Kabupaten Semarang melakukan puja bakti bersama. 

“Ada enam vihara yang bergabung dalam kegiatan ini. Dusun Tuguran, Nalen, Watuagung, Dendang, Kadipuro, dan Plakaran,” tutur Pak Bejo (62), ketua Vihara Dharma Maitri. Berdasarkan pantauan tim BuddhaZine, anak-anak dan orang dewasa, pemuda dan orang tua, laki-laki dan perempuan hadir dalam acara ini. 

Vihara Dharma Maitri

Tanpa melihat plang nama di atas pintu dharmasala, orang tidak akan menyangka bangunan di pojok dusun dengan rindang pepohonan ini vihara. Bangunan itu sudah tampak tua, tembok dinding vihara yang sebelumnya dicat putih sudah mulai kusam dan berubah warna. Meski begitu, vihara yang sudah berusia lebih dari 25 tahun masih aktif digunakan sebagai tempat puja bakti rutin umat Buddha. 

“Dari sejak awal dibangun, sekitar tahun 1998 vihara ini belum pernah dipugar. Jadi kami ya berkegiatan di vihara dengan bangunan seadanya. Itu juga bagian plafon beberapa sudah patah,” ungkap Pak Bejo. 

Pak Bejo yang sudah menjadi ketua sejak terbangunnya vihara berharap adanya bantuan dari para donatur untuk memperbaiki viharanya. “Kami berharap nanti Bhante Ditti bisa mencarikan jalan untuk memperbaiki bangunan ini. Mungkin bisa dicarikan donatur dari mana saja untuk membantu dana,” imbuh Pak Bejo.

Keberadaan Umat Buddha Di Dusun Tuguran

Agama Buddha dikenal oleh warga Tuguran mulai tahun 1960’an. Pak Pramono disebut-sebut sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan ajaran Buddha kepada warga dusun ini. Sementara satu tokoh lagi asal Deplongan, Salatiga menyusul untuk melakukan bimbingan umat setelah Pak Pramono tidak lagi aktif berkunjung.

Hingga di tahun 1990’an, menurut Bejo penganut Buddha di Tuguran masih terhitung banyak. Namun, semakin lama mengalami penurunan hingga tersisa delapan Kepala Keluarga. Sebelum bisa membangun vihara sendiri, para umat Tuguran bergabung dengan umat tetangga dusunnya, Nalen yang sudah mempunyai vihara terlebih dulu.

Pada tahun 1998, Pak Bejo menghibahkan sebagian lahannya untuk dibangun vihara. Di tahun itu juga umat mulai membangun vihara di atas lahan seluas 20 x 7 meter. Bangunan viharanya sendiri hanya seluas 6×9 meter, sementara sisa lahan digunakan untuk membangun dapur dan kamar mandi di bagian belakang vihara. Lahan bagian depan digunakan untuk halaman.

Umat Buddha Tuguran  dan Toleransi Beragama

Proses pembangunan vihara kala itu dilakukan dengan gotong royong warga Dusun Tuguran. Pak Bejo menjelaskan, tidak hanya umat Buddha yang kerja bakti tetapi semua warga yang terdiri dari tiga penganut agama (Buddha, Muslim, Kristen) ikut serta dalam membantu pembangunan.

“Di sini kalau soal kerukunan bagus sekali. Kami sewaktu membangun vihara ini dulu, semua warga dari berbagai agama ikut membantu.

Begitu juga kalau dari umat Kristen atau Islam sedang membangun rumah ibadah kami yang umat Buddha juga ikut membantu.

Dulu kalau warga sini mau membangun tempat ibadah, untuk mencari bahan bangunannya kami gotong-royong mengambil pasir dan batu-batu dari sungai di bawah sana,” paparnya.

Nilai toleransi ini tetap lestarikan oleh warga Tuguran hingga saat ini, bahkan semakin berkembang. Menurut Pak Bejo, wujud kerukunan warga juga dilakukan pada saat hari-hari besar agama yang ada Dusun Tuguran. Ketika umat Buddha merayakan Waisak semua umat dari agama lain ikut melakukan kunjungan ke rumah-rumah umat Buddha. Sebaliknya ketika hari Raya Natal atau Idul Fitri para umat Buddha melakukan kunjungan ke rumah-rumah umat Kristen dan umat Muslim.

“Kalau ada yang meninggal juga kita bersama-sama semua umat beragama di sini yang mengurusi jenazah dan hal-hal lainnya,” Pak Bejo menambahkan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara