
Foto: Dok. Panitia
Mengisi kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tempuran, Mahasiswa dari Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo gelar diskusi lintas iman di Pendopo Bapak Taufik selaku Sekretaris Desa Tempuran, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Kamis (6/2) pagi pukul 09.00 WIB. Acara diikuti oleh sejumlah mahasiswa dari UNSIQ dan juga dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta yang juga sedang melakukan KKN di Desa Tempuran.
Gelaran acara bertajuk “Memahami, bukan Menghakimi” ini menghadirkan enam nara sumber dari kalangan lintas iman, tokoh pemuda, dan juga pelaku budaya, di antaranya Kepada Desa Tempuran Priyanto, pelaku seni lokal Ana Surahman, tokoh pemuda Muslim Saiful Rokhim, Ketua Karang Taruna Desa Tempuran Khasin Ma’ruf, tokoh pemuda Buddhis Weni, dan selaku moderator Fakih Arya Kusuma, seorang budayawan dari Wonosobo. Turut hadir dalam acara Dosen Pembimbing Lapangan, Faisal Kamal.
Desa Tempuran merupakan salah satu desa yang memiliki keberagaman agama yang dianut masyarakatnya seperti Islam, Buddha, dan Kristen. Kegiatan diskusi ini menjadi yang pertama kali diselengarakan di wilayah Desa Tempuran. Ketua KKN, Faizal Nur Alwi menyampaikan bahwa tujuan kegiatan ini untuk mengeksplorasi nilai-nilai keharmonisan di tengah keberagaman agama yang ada di Desa Tempuran.
“Ternyata di sini banyak sekali keunikan dan keragaman termasuk bidang agama dan budaya, namun masyarakatnya tetapu rukun. Kami berharap ke depan kerukunan yang ada di Desa Tempuran ini dapat diketahui oleh khalayak yang lebih luas di luar Desa Tempuran,” ujar Alwi.
Kegiatan ini disambut hangat oleh Kepala Dusun Tempuran, Irkham Hambali. “Terimakasih sekali atas inisiasi para mahasiswa dari UNSIQ mengadakan diskusi ini. Harapan kami, kerukunan ini nanti bisa lebih dikenal oleh masyarakat yang lebih luas, dan bisa menjadi inspirasi bagi desa-desa lainnya,” ungkap Hambali.
Sementara itu, Fasial Kamal, Dosen Pembibing Lapangan, menyampaikan apresiasi atas penyelenggaraan diskusi ini. Ia berharap dengan adanya dialog ini akan semakin memperkuat kerukunan yang sudah tercipta di Desa Tempuran.
“Semoga dialog ini bisa membuka hati kita semua, terlepas dari semua perbedaan tersebut. Dunia ini diciptakan memang berbeda, dengan perbedaan ini menjadi satu titik bagi kita sebagai manusia ini untuk saling mengenal, yang kemudian timbul rasa kasih sayang tanpa melihat status sosial, agama, dan sebagainya,” terang Faisal.

Keharmonisan di Tengah Keberagaman Masyarakat Desa Tempuran
Terkesan akan kerukunan yang terjalin dalam masyarakat Desa Tempuran meskipun banyak perbedaan agama dan budaya, para mahasiswa menggali lebih jauh faktor-faktor pendukung terciptanya kondisi tersebut melalui sebuah diskusi lintas iman. Berbagai pandangan dan pengalaman dari setiap narasumber dikemukakan dalam kesempatan ini.
Kepala Desa Tempuran, Priyanto menyampaikan bahwa perbedaan agama di Desa Tempuran sudah berlangsung lama dan hal itu tidak menjadi penghalang bagi masyarakat untuk tetap menjalin kebersamaan dalam semua lini kehidupan masyarakat. Tidak hanya dalam tataran masyarakat, dalam lingkup perangkat desa pun kesetaraan serta saling menghormati antarumat beragama tetap terjaga.
“Dalam musyawarah pengambilan keputusan di tingkat desa kami tidak terpengaruh oleh umat mayoritas mana pun, kami mengambil keputusan beradasarkan asas kebermanfaatan,” ungkap Priyanto.
Menurut Priyanto, kerukunan yang terjalin dalam masyarakat Desa Tempuran berkat pemahaman masyarakat akan nilai-nilai kerukunan yang melampaui sekat-sekat agama maupun budaya.
Faktor pendukung lain juga diungkapkan oleh salah satu pelaku seni lokal, Ana Surahman. Menurut Ana, beragam kelompok kesenian yang ada di Desa Tempuran serta tradisi yang masih lestari mempunyai andil dalam memperkuat persatuan serta kerukunan masyarakat. Baginya, adanya group kesenian dan tradisi menjadi satu ruang pertemuan khususnya bagi generasi muda untuk bersatu tanpa pandang keyakinan.
“Ketika seseorang masuk dalam lingkup seni, baik itu pelaku maupun penikmat, sudah tidak lagi berbicara tentang agamanya apa. Seni berbicara kreatifitas dan keindahan,” katanya.
Ketua Karang Taruan Desa Tempuran, Khasin Ma’ruf, menyampaikan bahwa kerukunan juga terjalin di kalangan pemuda se-Desa Tempuran. Hal ini tercermin dari keaktifan pemuda lintas agama dalam berbagai kegiatan kepemudaan.
“Di Desa Tempuran ini, ketika ada kegiatan kepemudaan seperti olahraga, perlombaan antar dusun, kepanitiaan kegiatan, dan lainnya, semua melibatkan anak-anak muda dari lintas agama. Dengan berkegiatan bersama, kami saling berbincang dan akhirnya saling mengenal dengan teman-teman yang dari agama lain,” ungkap Khasin.
Sementara itu dua narasumber lain mengungkapkan pengalaman dan kesan hidup di tengah-tengah masyarakat yang berbeda keyakinan. Saiful Rokhim, tokoh pemuda Muslim yang notabene warga pendatang dari desa lain dengan mayoritas penganut Agama Islam menceritakan pengalaman uniknya ketika pertama kali masuk Desa Tempuran.
“Kebetulan di desa asal saya kan memang Muslim semua, jadi pemikiran orang tua saya itu kalau orang non- Muslim itu seram. Makanya waktu saya pertama mau masuk ke wilayah sini orang tua saya pesan supaya saya harus hati-hati, tidak boleh sendirian, karena di sini banyak juga yang bukan Muslim,” Saiful bercerita.
Meski awalnya sempat terkejut ketika melihat kehidupan masyarakat di tempat tinggal yang baru. Saiful melanjutkan cerita bahwa perlahan mulai menerima perbedaan dan mulai bisa membaur serta memahami arti kerukunan yang sebenarnya.
Cerita tak kalah menarik juga diungkapkan oleh Weni, selaku tokoh pemuda Buddhis di Desa Tempuran. Meski terlahir dan hidup di lingkungan yang penuh perberbedaan, namun kesan masa kecilnya menjadi cerita menarik yang memperlihatkan bahwa nilai-nilai kerukunan dalam perbedaan nampaknya sudah alami tertanam dalam masyarakat di dusun tempat tinggalnya sejak usia anak-anak.
“Saya masih ingat dulu waktu kecil, kita tidak pernah mempermasalahkan tentang apa itu perbedaan agama. Yang kami tahu dia teman saya, kami sama-sama bersenang-senang, jadi sewaktu hari Raya Idul Fitri yang takbiran di Masjid itu malah kami dan teman-teman yang dari Buddhis. Begitu juga sebaliknya, sekarang ini di area vihara kami itu semua anak-anak baik itu yang Muslim, yang Buddhis, yang Kristen, bermain bersama di sana. Tidak ada yang mempermasalahkan dan juga tidak ada yang kuatir jadi pindah agama,” ungkap weni.
“Kalau agama itu urusan ketika kita beribadah, sementara untuk bermasyarakat kita harus membaur,” tambahnya.

=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara