• Friday, 19 June 2020
  • Deny Hermawan
  • 0

Mungkin tidak banyak yang familiar dengan nama Ki Ajar Windusono, kecuali orang-orang pegunungan yang tinggal di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Padahal ia adalah tokoh yang sangat penting dan berpengaruh pada zamannya.

Siapa Ki Ajar Windusono? Ia dikenal sebagai pemilik perpustakaan pribadi naskah-naskah kuno Merapi-Merbabu, koleksi naskah yang sebagian besar berisi ajaran spiritual sebelum Islam menjadi kepercayaan mayoritas di Jawa. Informasi mengenai naskah-naskah ini pertama kali tercatat di masa pemerintahan Hindia Belanda.

Penembahan Ki Ajar Windusono menurut teks Belanda dikenal sebagai seorang pendeta Buddha yang diduga berasal dari kawasan Klaten. Saat Islam ekspansi mulai masuk Jawa Tengah, Windusono menyingkir ke lereng Merapi di lereng barat Gunung Merbabu, tepatnya di Desa Kedakan, Residen Kedu, yang sekarang masuk Kabupaten Magelang. Ia membawa serta lebih kurang 1.000 naskah. Namun sejalan dengan perjalanan waktu naskah-naskah itu telah menyusut dan kini hanya tinggal sekitar 400 naskah.

Abad ke-19, sebuah ekspedisi Belanda menyusuri lereng barat Merbabu, dan menemukan perpustakaan pribadi milik Ki Ajar Windusono, yang dikelola keturunannya. Perpustakaan itu berisi koleksi ratusan lontar dari Merapi-Merbabu yang bentuk dan sistem aksaranya memiliki ciri khas tersendiri. Berbeda dengan aksara Sanskerta India, Kawi (Jawa kuno), atau aksara Jawa modern. Ahli waris lontar menyebut aksara itu sebagai aksara “Budo” dan menerangkan bahwa Kiai Windusono dahulu tokoh agama Buddha.

Naskah lontar itu kemudian oleh tim ekspedisi diambil untuk disimpan di perpustakaan Batavia (Jakarta), Bataviaas Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Lontar-lontar Budo itu sebagian kini tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Sebagian lainnya berada di luar negeri, di Bibliotheque Nationale Paris, British Museum, museum di Jerman, dan tentunya di Belanda.

Penelitian Naskah Merapi-Merbabu

Hanya sedikit peneliti yang pernah naskah Merapi-Merbabu, sehingga banyak orang menyebutnya sebagai naskah yang terlupakan. Bahkan mahaguru sastra Jawa kuno, Prof Zoetmulder SJ saja semasa hidupnya tidak pernah menyentuh lontar Budo ini.

Namun ada pastor Jesuit lain yang merupakan anak bangsa yang mendalami naskah Budo, yakni Dr. Ign Kuntara Wiryamartana SJ (1946-2013). Ia mengkaji khusus naskah koleksi Budo yang berjudul Arjunawiwaha, sebuah naskah Hinduistik. Hasil penelitiannya dituangkan ke dalam disertasinya yang lalu diterbitkan menjadi buku setebal 526 halaman di tahun 1990.

Ada lagi peneliti yang mengkaji salah satu naskah Budo, yakni Willem van der Molen. Peneliti asal Belanda kelahiran 1952 ini mengamati secara khusus naskah yang berjudul Kunjarakarna, sebuah naskah Buddhistik. Hasil penelitiannya dilahirkan dalam bentuk disertasinya di Universitas Leiden yang diterbitkan tahun 1983.

Pusat perhatian van der Molen dalam penelitiannya adalah paleografi dan penanggalan naskah. Ia secara khusus mengamati masalah huruf dan penanggalan yang terdapat dalam naskah yang dikajinya. “Kunjarakarna itu teks Buddha tentang perjalanan tapa brata,” kata van der Molen.

Melakukan Perjalanan Pelacakan

Melacak sisa peninggalan Ki Ajar Windusono tidaklah terlalu gampang. BuddhaZine melakukan ekspedisi kecil-kecilan ke salah satu tempat yang menurut teks Belanda merupakan makam beliau.

“Di distrik Ballah dekat desa Kedakan terdapat makam pendeta agung bernama Windoe Sonno, seorang penganut ajaran Budha. Di atas bukit di dekatnya ada pondok bambu tempat penyimpanan kitab-kitab pendeta agung itu dan persembahyangan diadakan,” demikian informasi di laporan Belanda tahun 1822, yang dimasukkan van der Molen ke disertasinya.

Namun sebelum menuju area makam, BuddhaZine berusaha menemui Pak Sumitro, seorang dalang lokal di Desa Kedakan. Ia dikenal sebagai pewaris beberapa lembar lontar Lontar koleksi Ki Ajar Windusono. Iya, sebenarnya masih ada lontar yang tersimpan di tempat asalnya. Sayang, Pak Sumitro sudah meninggal sekitar tiga tahun lalu.

Peringatan 1000 harinya pun baru saja dilangsungkan belum lama ini. Suratmi, sang isteri maupun anak-anaknya juga tidak berani membuka bahkan sekadar menyentuh kropak atau kotak kayu tempat menyimpan lontar. Karena lontar itu dianggap sebagai jimat, dan diyakini harus ada orang khusus yang mendapat perintah gaib yang boleh membuka naskah yang sebenarnya juga susah dibaca/diidentifikasi karena usianya itu.

Tak mendapatkan hasil, perjalanan pun dilanjutkan ke area makam melalui perjalanan kaki yang lumayan menanjak, dengan jarak beberapa ratus meter. Di sini dijumpai beberapa bangunan yang berisi nisan.

Bangunan yang pertama yang bercat biru oleh warga tidak dianggap sebagai makam, namun dianggap sebagai bekas petilasan. Bangunan selanjutnya, yang ditempuh dengan sedikit mendaki diyakini merupakan makam Ki Ajar Doko, rekan spiritual Ki Ajar Windusono.

Baru bangunan di belakangnya, di dalamnya terdapat nisan yang diyakini tempat mengubur abu jenazah Windusono. Di sekitarnya, di area luar ruangan, terdapat empat nisan kecil, yang diyakini sebagai pengikut dua orang tokoh itu. Tidak ada tanda-tanda bekas pondok bambu tempat penyimpanan kitab di sekitarnya.

Penelusuran dari Literatur

Tak banyak informasi yang bisa digali dari kawasan ini. Tidak ada orang yang bertugas sebagai juru kunci. Informasi secuil dan terbatas hanya bisa diperoleh dari beberapa warga setempat, dan itupun berdasar tradisi tutur turun-temurun saja. Namun berdasarkan pelacakan literatur, ditemukan kisah singkat tentang Ki Ajar Windusono dan Ki Ajar Doko.

Dari buku “Selected Studies in Indonesian Archeology” tulisan F.D.K Bosch (2013) disebutkan bahwa suatu hari, dalam perjalanannya di lereng barat Merbabu, Ki Ajar Windusono dan Ki Ajar Doko yang disertai para murid dan pengikut mengalami lelah dan haus. Rombongan lalu beristirahat.

Namun sayang tak ada mata air di sekitar mereka. Ki Ajar Windusono lalu berdoa pada para dewa meminta air dan makanan. Sebelumnya, Windusono meletakkan rokok miliknya, dan lalu menancapkan tongkat miliknya ke tanah. Ia lalu berdoa dengan laku meditasi.

Dewa lalu merespons, namun memberi syarat bersedia membantu jika Windusono mendirikan pertapaan di kawasan itu. Windusono lantas berdiri sambil mencoba mengambil rokoknya, namun ia tidak bisa menemukan. Alih-alih, ia menjumpai ladang jagung di sekitarnya.

Dan ketika Windusono mencabut tongkat miliknya, air jernih muncrat deras ke atas. Ini adalah asal usul sumber air Tuk Pujan di Desa Kedakan yang diyakini mempunyai kekuatan penyembuhan penyakit dan mampu membantu orang yang kesulitan punya anak.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara