• Friday, 8 March 2013
  • Sutar Soemitro
  • 0

Acungan jempol patut diberikan kepada Hendri, seorang umat Buddha dari Bekasi, Jawa Barat. Ia dengan berani menangkap seorang bhiksu gadungan yang sedang meminta-minta di kawasan Harapan Jaya, Bekasi pada Rabu, 6 Maret 2013 lalu.

Hendri menyimpulkan orang tersebut bhiksu gadungan setelah melihat gerak-geriknya yang mencurigakan, yaitu meminta-minta. Dan setelah diperiksa dokumen pribadinya, orang tersebut tidak bisa menunjukkan identitas kebhiksuannya. Sebenarnya ia tidak sendiri, namun teman-temannya keburu kabur.

Bhiksu gadungan yang kemudian diketahui bernama Zhou Quoqing, adalah seorang warga negara China dengan paspor turis. Tidak ada perlawanan ketika ia ditangkap, tapi sikapnya yang seolah menantang sempat hampir memancing emosi Hendri dan teman-temannya. Tidak tahu mesti diapakan, Hendri menelepon Edy Widjaja, seorang staf Bimas Buddha Kementerian Agama DKI Jakarta. Akhirnya Hendri membawa bhiksu gadungan tersebut ke kantor Bimas Buddha di daerah Kebon Nanas, Jakarta Timur.

Selama di kantor Bimas Buddha, tingkah Zhou Quoqing makin jelas memperlihatkan dirinya bukanlah seorang bhiksu, diantaranya dari cara duduknya yang serampangan. “Kami makin yakin bahwa dia bhiksu palsu,” simpul Kuncoko Weni, salah satu staf Bimas Buddha.

Pakaian dan aksesoris kebhiksuan pada bhiksu gadungan tersebut akhirnya dipreteli, mulai dari jubah, mangkok patha, tasbih besar, tasbih kecil, giok, hingga mu yi dan pukulannya. Disita juga uang sejumlah Rp 240 ribu hasil ia meminta-minta. Paspor juga diamankan sebagai barang bukti.

Bimas Buddha kemudian mengirim bhiksu gadungan tersebut ke kantor imigrasi untuk diproses lebih lanjut. “Kami Kementerian Agama sebatas pembinaan mental dia, tapi karena ini sudah melanggar aturan keimigrasian, maka kami serahkan ke kantor imigrasi,” jelas Sutarso, Pembimas Buddha DKI Jakarta.

Sutarso berani memastikan orang tersebut bhiksu gadungan, “Karena dia tidak bisa menunjukkan bukti-bukti yang kuat kalau dia seorang bhikkhu, tidak punya nama kebhikkhuan, tidak punya identitas tentang kebhikkhuannya.” Menurutnya, semua rohaniwan asing harus memiliki paspor sebagai rohaniwan dan ada lembaga yang menjadi sponsor kedatangannya.

Saat ini sebenarnya cukup banyak bhiksu gadungan yang berkeliaran. Kebanyakan berasal dari China dan memakai atribut bhiksu Mahayana. “Kasus seperti ini sebenarnya sudah lama terjadi,” ujar Weni. Tapi sangat sedikit tindakan nyata dari umat untuk menghentikannya. Karenanya, apa yang dilakukan Hendri patut diacungi jempol.

“Hal ini meresahkan, nanti akan menimbulkan citra yang tidak baik bagi umat Buddha secara keseluruhan, ‘Masa bhikkhu kok minta-minta’,” jelas Sutarso. “Kasihan bhikkhu yang beneran. Citra bhikkhu jadi jelek.”

“Mau minta-minta silahkan, tapi jangan pakai jubah,” tegas Sutarso.

Nah, seandainya kita bertemu dengan bhiksu yang mencurigakan seperti itu, apa yang harus kita lakukan? “Kita orang beragama, tidak boleh main kekerasan. Tanyalah baik-baik,” Sutarso menganjurkan. Lantas, periksa dokumen pribadinya.

Jika ternyata tidak memiliki dokumen-dokumen pendukung? Sutarso menyarankan, “Pertama (lapor) ke kepolisian, kedua ke kejaksaan atau imigrasi. Delik pengaduannya penipuan mengaku sebagai rohaniwan Buddha dan penyalahgunaan paspor sebagai turis.” Keduanya adalah pelanggaran serius yang bisa berujung deportasi.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara