• Thursday, 9 May 2019
  • Ngasiran
  • 0

Umat Buddha Yamatitam adalah salah satu suku Alifuru, suku di pedalaman Pulau Seram, Maluku. Pola kehidupan mereka masih sederhana dan hidup tidak menetap, mereka berpindah-pindah di tiga gunung yang ada di pulau tersebut. Mereka juga tidak bisa berbahasa Indonesia.

Menurut Rama Sugianto, pertemuan suku pedalaman dengan agama Buddha tidak terlepas dari peran Pak Aseng, salah satu umat Buddha Maluku. Suatu ketika, anak-anak Yamatitam turun gunung, menjual atau menukarkan hasil kebun mereka dengan orang-orang tertentu untuk dibawa ke atas. Dalam keterbatasan komunikasi, akhirnya anak-anak ini berjumpa dengan Pak Aseng.

“Meskipun terkendala komunikasi, Pak Aseng memperkerjakan mereka di kebun Kobisonta. Cerita berlanjut saat Pak Aseng dikenalkan dengan Pak Sabeo (kepala suku Yamatitam). Melihat kondisi masyarakat pedalaman yang mengalami ketertinggalan dalam berbagai hal, Pak Aseng kemudian menghubungkan dengan Sangha Theravada Indonesia (STI). Malah mereka memohon pembinaan secara tertulis kepada STI,” tutur Rama Sugianto.

Permohonan itu ditanggapi secara positif oleh STI yang menunjuk Bhante Siriratano sebagai pembina umat Buddha Yamatitam. Pada tanggal tanggal 20-26 Mei 2014, Bhante Siriratano bersama rombongan umat Buddha Ambon berkunjung ke Yamatitam.

“Memang mereka sangat asing dengan kita, saat diajak bicara saja mereka tidak berani menatap kita. Mungkin juga karena tidak pamaham dengan yang kita katakan dan mau ngomong apa mereka juga tidak tau,” Bhante Siriratano berkisah kepada BuddhaZine.

Meskipun begitu, kedatangan bhante dan rombongan disambut dengan baik. Bhante dan rombongan adalah tamu orang luar pertama yang benar-benar diterima oleh mereka. “Saat kami sampai, semua orang seperti mengalami kesurupan, sampai di dapur menjerit-jerit. Kita sih takut waktu itu, tetapi mau ke mana? Wong di tengah hutan. Belakangan saya baru tau kalau itu adalah tanda kita diterima di sana,” kata bhante lanjut.

Rupang Buddha yang bhante bawa sebagai kenang-kenangan mereka terima. Mereka juga merasa cocok dengan agama Buddha dan menyatakan ikut dengan bhante. Kesediaan mengikuti bhante dan alasan kemanusiaan ini kemudian yang mendorong Bhante Siriratano dan STI mempunyai komitmen untuk membina masyarakat Yamatitam.

“Pertama saya kaget dan prihatin ketika ke sana ‘kok masih ada masyarakat Indonesia yang kehidupannya masih seperti itu’, kedua ketika mereka menyatakan memang mau ikut bhante sepertinya susah ditolak meskipun dengan berbagai resiko. Perjalanan yang saya kira hanya satu sampai dua jam ternyata saya harus jalan selama dua hari. Saya tidak bisa janji seperti apa, tetapi mau tidak mau saya harus bertanggung jawab dan mengatakan walaupun hanya Tete dan Pak Sabio saya akan tetap ke sana. Tetapi meskipun mereka tidak ikut saya akan tetap berkunjung dan bersahabat dengan mereka.

“Tapi ketika mereka mengatakan ikut, saya merasa ada ikatan dan mendorong kepedulian. Dari kita sebagai komunitas umat Buddha saya melihat ini sebagai salah satu kontribusi umat Buddha untuk ikut membangun bangsa ini. Saya sebagai bhikkhu mengajak ayo peduli kepada masyrakat ini karena mereka percaya kita sebagai penyambung dengan dunia baru,” ajak bhante.

Sejak saat itu, Sangha Theravada Indonesia mulai rutin membina umat Buddha pedalaman Yamatitam. Pembinaan tak sekadar membabar ajaran Buddha tetapi juga menyangkut kehidupan sosial, pendidikan, administrasi kependudukan dan ekonomi.

Pernikahan massal

Dua puluh tiga pasang pengantin masyarakat pedalaman Pulau Seram, Provinsi Maluku akan melangsungkan perkawinan massal secara agama Buddha. Mereka adalah umat Buddha suku Alifuru yang bermukim di Gunung Yamatitam, Mainkiem, dan Von. Secara administratif tiga gunung tersebut masuk wilayah perbatasan Kabupaten Maluku Tengah dengan Kabupaten Seram bagian timur.

Upacara perkawinan akan digelar saat peringatan Waisak bersama umat Buddha Provinsi Maluku, Minggu 19 Juni 2019 mendatang. Menurut informasi dari Tim Khusus Pembinaan Umat Buddha Pedalaman Keluarga Buddhis Theravada Indonesia (KBTI), acara akan digelar di Kebun Kelapa, di kaki Gunung Namirang, Negri Atiahu, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur dan diperkirakan lebih dari 300 umat Buddha Yamatitam akan hadir.

“Lima tahun berlalu, kini mereka berharap dapat merayakan Waisak bersama. Keluarga Buddhis Theravada Indonesia (KBTI) yang sejak awal mempunyai komitmen melakukan pembinaan umat Buddha membentuk tim khusus untuk mengakomodasi keinginan mereka menyelenggarakan Waisak bersama sekaligus upacara perkawinan massal secara Buddhis,” Kata Rama Sugianto, salah satu tim pembina.

Kabar baik ini disambut antusias oleh umat Buddha Maluku. Mereka akan turun gunung dengan berjalan kaki dan tinggal selama dua hari di kebun kelapa. “Karena itu kami mengajak seluruh umat Buddha Indonesia untuk terlibat dan mendukung kegiatan ini,” ajak Rama Sugianto.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *