Komunitas buddhis terakhir di Pakistan terancam punah, karena kurangnya sumber daya seperti tempat untuk beribadah, guru spiritual, dan dukungan dari pemerintah. Ini menurut delegasi dari Nausharo Feroze Provinsi Sindh yang mengunjungi pameran Gandhara “Roots or Routes: Exploring Pakistan’s Buddhist and Jain Histories” (Akar dan Jalur: Eksplorasi Sejarah Buddhis dan Jain di Pakistan), di Museum Taxila dekat Islamabad.
Komunitas buddhis menyampaikan kebahagiaannya bisa menghadiri pameran tersebut, karena masa depan ajaran Buddha di Pakistan tidaklah cerah.
“Kami sungguh bahagia bisa hadir di tempat ini dan berterima kasih kepada penyelenggara acara ini. Kami bahagia akan kebebasan beragama dan tidak adanya halangan untuk melangsungkan upacara keagamaan, namun agama Buddha di Pakistan berada di ambang kepunahan dari beragam penyebab,” ungkap Lala Muneer, ketua dari delegasi. (Dawn)
Pemerintah dari Provinsi Punjab menyelenggarakan pameran ini, yang diadakan pada tanggal 5-9 Oktober 2021, bekerja sama dengan UNESCO untuk mendukung pariwisata dan kelompok lintas agama dan toleransi.
Walaupun angka pemeluk agama Buddha di Pakistan tidak diketahui, Muneer mengatakan, kira-kira ada 650 keluarga pemeluk agama Buddha di pedalaman Sindh, termasuk Gothki, Sanghar, Khairpur, Nawabshah, dan Nowashahro Firoz. Namun, mereka tidak bisa berdoa karena ketiadaan tempat beribadah atau stupa. “Kami menyelenggarakan upacara, kegiatan, dan perayaan di rumah kami,” Imbuhnya. (Dawn)
Anggota delegasi lainnya, Juman, menjelaskan kegiatan upacara yang mereka lakukan berdasarkan legenda, kebiasaan lama, dan sedikitnya penggunaan bahasa Sindi sebagai publikasi serta tiadanya biksu yang datang untuk mengajarkan agama untuk generasi penerus.
Juman juga mengutarakan harapan jika pemerintah membangun sebuah wihara untuk pemeluk agama Buddha dan mengundang biksu dari luar negeri untuk mengajar komunitas. Beliau juga menambahkan jika Komunitas buddhis Pakistan juga tidak pernah mengunjungi Taxila atau situs buddhis lainnya di Khyber Pakhtunkhwa, terutama Takht-i-Bahi dikarenakan tiadanya biaya.
“Saya sudah datang ke Taxila untuk pertama kali dan mendapatkan Darshan (penampakan) dari Buddha Gautama untuk pertama kali seperti yang saya lihat di gambar-gambar,” ujar Vitrant Raj 18 tahun, yang baru pertama kali mengunjungi situs tersebut. Raj mengutarakan kebahagiaannya dapat mengunjungi reruntuhan Taxila yang mana dulu ajaran Buddha pernah berjaya.
Menurut Dr.Nadeem Omar Tarar, Direktur Eksekutif dari pusat Pakistan untuk Budaya dan Perkembangan (CCD), warisan budaya dari komunitas dunia yang dulunya pernah berjaya di Taxila, sudah dibayangi oleh perubahan demografi di kala kemerdekaan.
Nadeem mengatakan komunitas yang tadinya menjaga dari Situs Warisan agama Buddha tidak menyadari akan betapa pentingnya Situs Warisan yang mereka jaga.
Mayoritas pemeluk agama Buddha di Pakistan hidup di Provinsi Sindh dan area seperti Rohi di selatan Punjab. Namun ada kekurangan data akurat akan berapa tepatnya pemeluk agama Buddha, yang beberapa di antaranya mengalami diskriminasi, kekerasan fisik, dan perusakan tempat tinggal.
Lala Rajoo Ram, seorang perwakilan pemeluk agama Buddha Baori, dan orang yang berada di desa dengan level pendidikan yang tinggi mengungkapkan kekhawatiran akan komunitas mereka: “Sebagian besar orang di komunitas kami tidak memiliki CNIC (KTP elektronik) – bagaimana bisa mendapatkan hak sebagai warga negara? Populasi kami melebihi 16,000 orang namun di atas kertas angka yang tertera tidak seperti itu.” (The Friday Times)
Raam juga mengatakan sebuah serangan dari Hindu pada masjid di Babri, India, memicu serangan balik oleh penganut Islam garis keras pada sebuah wihara lokal. “Seperti yang Anda ketahui di Bahawalpur, banyak kuil Hindu menjadi sasaran balas dendam. Dalam proses itu, wihara kami menjadi hancur.
“Setelah itu kita tidak pernah membangun kuil kita lagi. Kami memiliki hubungan yang baik dengan tetangga beragama muslim di desa lain. Saya kira jika kami membangun wihara lagi kami akan menjadi sasaran kebencian lagi dan menciptakan kegaduhan.
“Kami menggunakan Moorat sebagai simbol Buddha di setiap rumah. Kami juga merayakan Holi dan Dewali setiap tahun. Kami berkumpul setiap tahun di Baba Ghoosai – di tempat kita merayakan Hari Raya agama kami.” (The Friday Times)
Sumber: buddhistdoor.net
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara