• Sunday, 1 July 2018
  • Deny Hermawan
  • 0

Jepang memang terkenal sebagai salah satu negara sekuler yang maju, namun memiliki khazanah budaya spiritual yang kuat, yang berkaitan dengan Buddhis. Semenjak diperkenalkan pertama kali tahun 552 M, oleh biksu dari Korea, ajaran Buddha memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat Jepang dan tetap menjadi aspek yang berpengaruh dalam budaya Negeri Sakura hingga hari ini.

Berbagai corak aliran Buddhis lahir atau berkembang di negara ini. Sebut saja Zen, Nichiren, atau Shingon. Semuanya berakar dari ajaran Mahayana, yang menyebar lewat utara khatulistiwa. Namun meski mungkin tak banyak diketahui, aliran Buddhis Theravada, atau yang juga disebut Buddhis Selatan juga bisa ditemukan di Jepang.

Japan Theravada Buddhist Assosiation (JTBA), atau Asosiasi Buddhis di Jepang, adalah salah satu dari sedikit komunitas Buddhis Theravada di Jepang. Didirikan tahun 1994, asosiasi yang memiliki nama lokal Terawada Bukkyo Kyokai ini merupakan salah satu komunitas Theravada yang paling sukses di Jepang, selain komunitas meditasi Vipassana dari aliran SN Goenka.

Asosiasi ini terpusat di kawasan Tokyo, tepatnya di Vihara Gotami, sebuah vihara kecil di kawasan pemukiman penduduk yang relatif sepi. Mirip dengan bangunan ruko dua lantai, vihara ini turut diprakarsai berdirinya oleh imigran dari Sri Lanka. Tak heran, pemimpin spiritual di sini adalah seorang bhikkhu dari Sri Lanka, Alubomulle Sumanasara.

Menurut data resmi tahun 2008, vihara tersebut memiliki 1.500 anggota, dan mampu mendistribusikan 2.000 eksemplar majalahnya secara bulanan. Bhante Sumanasara sendiri telah menulis beberapa buku tentang agama Buddha sejak 1998, dan pertama kali datang ke Jepang pada sekitar tahun 1984 dengan beasiswa untuk mempelajari agama Buddha Jepang.

Dia tidak cocok dengan teologi Mahayana, yang menurutnya menyajikan dogma yang tidak mungkin dikonfirmasi oleh pengamat independen, lalu mulai mengajar Theravada berdasar Tipitaka Pali di Jepang. Ia tidak tinggal di Vihara Gotami, namun sehari-hari tinggal di rumah umat, dan hanya datang ke vihara bila diadakan acara khusus.
Hal tersebut dijelaskan oleh Hayakawa, salah satu umat yang mampu berbahasa Inggris, saat dikunjungi penulis pada akhir Mei 2018.

Menurutnya, sehari-hari vihara memang sepi pengunjung, dan hanya ramai bila diadakan acara, seperti misalnya Dhamma Class oleh bhante di vihara tersebut. “Kalau ada acara bisa 150 orang datang ke vihara ini,” terang wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu. Meski sudah “berumur”,  Hayakawa termasuk salah satu umat yang rajin.

Tiap pagi dirinya datang ke Vihara Gotami, untuk mengikuti sesi meditasi pagi sekitar satu jam, mulai pukul 05:30 hingga 06:30. Padahal ia harus menempuh perjalanan naik kereta melewati empat stasiun plus berjalan kaki hampir satu kilometer dari rumahnya menuju vihara.

Tiap pagi, tak banyak orang yang mengikuti sesi meditasi. Ketika dikunjungi, hanya ada empat orang yang mengikuti meditasi, termasuk penulis. Vihara hanya diramaikan oleh dua ekor kucing yang tinggal di sana, yang sehari-hari relatif tidak berisik. Karena itulah, nuansa keheningan dapat ditemukan dengan mudah di kawasan ini.

Menurut Hayakawa, meditasi yang diajarkan di sana menyerupai meditasi Vipassana model Mahasi Sayadaw. Praktisi meditasi mengamati kembang kempisnya perut, sembari mencatat seandainya ada emosi atau pikiran yang muncul. “Memang mirip dengan gaya Mahasi, tapi itu diajarkan Bhante Sumanasara berdasar sutta,” terang Hayakawa.

Ia sendiri mengaku menganut ajaran Theravada sejak umur sekitar 15 tahun, karena banyak membaca buku dan banyak berpergian ke luar negeri. Dirinya merasa, Buddhis Jepang pada umumnya tidak mengajarkan apa yang Buddha ajarkan. Karena itu, meski sempat mendalami ajaran Zen yang meditatif, ia berpaling ke ajaran Theravada, yang menurutnya paling cocok dengannya.

“Ajaran tentang anicca, dukkha, dan anatta itu sangat berarti dan sangat dalam bagi saya. Di Buddhis Jepang sebenarnya istilah-istilah itu juga ada, tetapi tidak sering dibahas,” ujarnya. Meski bercorak Theravada, Vihara Gotami juga tidak lepas dari budaya Jepang. Vihara ini juga merayakan  festival hanamatsuri sekaligus perayaan Waisak, yang biasanya secara tradisional diadakan pada 8 April. Ini adalah festival Jepang yang merayakan mekarnya pohon ceri, yang lalu diasosiasikan dengan kelahiran Buddha.

Bila Anda kebetulan berada di Jepang dan ingin mengunjungi Vihara Gotami, datang saja ke 1-23-9 Hatagaya, Shibuya-ku, Tokyo 151-0072. Stasiun kereta terdekat adalah Hatagaya, dan Anda cukup berjalan kaki sekitar 10 menit untuk menuju vihara ini.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara