Ngasiran | Tuesday, 13 March 2018 15.00 PM News
Ngasiran
“Bapak itu menurut saya adalah sosok yang luar biasa. Lulusan sekolah dasar tetapi pemikirannya melampaui orang-orang lain, apa yang belum dipikirkan orang lain ternyata sudah dipikirkan oleh beliau,” Tuty Diyan Karunatuti.
Kalam Viryo Atmojo, atau lebih akrab dengan sapaan Mbah Kalam merupakan tokoh kunci kebangkitan agama Buddha di Jepara, baca: Memperjuangkan Agama Buddha di Jepara. Telah dibahas pada tulisan sebelumnya. Lalu siapa dan seperti apa sosok Mbah Kalam sebenarnya?
Ia lahir pada 10 Desember 1938. Ayahnya bernama Marjo Ahmad seorang modin (penghulu), sedangkan ibunya bernama Kasifah.
Pada usia muda, Kalam dibesarkan sebagai muslim yang taat dan pernah mengenyam pendidikan santri di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Ia adalah seorang terpelajar. Membaca dan menulis merupakan salah satu kegemarannya.
Kedekatannya dengan seorang dalang Ki Soetoyo mempertemukannya dengan ajaran Buddha. Dan pertemuannya dengan ajaran Buddha mengubah haluan hidupnya hingga menjadi penggerak “kebangkitan” agama Buddha Jepara.
Tuty Diyan Karunatuti
Sosok ayah yang tegas
Tuty Diyan Karunatuti salah satu putri dari Mbah Kalam bercerita dengan ceria saat ditemui tim BuddhaZine di rumahnya bulan lalu. Tuty adalah anak kedua yang mempunyai kedekatan khusus dengan Mbah Kalam.
“Bapak itu paling bisa cerita sama saya Mas. Apa pun itu, sampai hal-hal terkecil bisa cerita, sama anak yang lain tidak bisa. Begitu juga ketika saya ada masalah, saya bisa curhat hingga larut malam dengan beliau,” tutur Tuty.
Baca juga: Sebaran Umat Buddha di Jepara
Bagi Tuty, sebagai seorang bapak, Mbah Kalam adalah sosok yang tegas dan terpelajar. “Bapak itu paling kuat membaca, beliau bisa membaca sampai jam tiga pagi. Buku apa pun dibaca, setelah itu ditulis dengan tulisan latin (tulisan tegak bersambung) tirik-tirik, kata-kata yang tidak beliau pahami selalu ditulisnya. Untuk ini anaknya tidak ada yang mengikuti,” kenangnya sembari tertawa riang.
Ketegasan sosok Mbah Kalam terlihat ketika mendidik anaknya tentang ajaran yang dianut. Sebagai seorang ayah, Mbah Kalam menginginkan anak-anaknya mengikuti ajaran yang dianutnya.
“Bapak paling tidak mau anaknya menikah di luar Buddha. Dalam istilah yang digunakan bapak ‘sapi harus ketemu sapi jangan sampai sapi ketemu kerbau atau jaran. Kalau sapi ketemu sapi ‘kan kalau punya anak, ya sapi’ begitu kasarannya.”
“Nesu mas, wonge keras tapi tujuane apik, atine apik. Bukan untuk gimana-gimana. Jadi kalau marah kepada anaknya yang di luar jalur, langsung ditudingi, ‘nek koe ancen anakku manut aku’ Ngono Mas,” pungkasnya.
Mbah Kalam saat masih muda
Tokoh masyarakat dan agama Buddha
Hampir seluruh hidupnya digunakan untuk mengabdi kepada masyarakat. Mbah Kalam pernah menjabat Kepala Desa Kunir selama 13 tahun di era pemerintahan Orde Baru pada 1977-1988.
Dalam organisasi Buddhis, beliau pernah menjabat sebagai ketua Mapanbudhi (sekarang menjadi Magabudhi). Keberanian dan ketegasannya dalam memimpin dianggap sebagai pengayom masyarakat dan umat Buddha pada masa itu.
“Mbah Kalam itu orangnya keras, ceplas-ceplos, berani tapi benar. Contoh, dulu di desa Kunir ada orang Buddha meninggal, ketika mau dimakamkan ditolak oleh kelompok agama lain karena tidak boleh dicampur. Saat itu, mayat sampai terlunta sehari semalam mas.
Baca juga: Percaya Ramalan Darmagandhul, Umat Buddha Jepara Yakin akan Berkembang Pesat
“Tetapi ketika didatangi Mbah Kalam persoalan itu dapat selesai. Walaupun pada akhirnya umat Buddha harus iuran untuk membeli tanah pemakaman khusus umat Buddha,” tutur pengurus Kelompok Kerja Penyuluh Agama Buddha Jepara, saat ditemui di rumahnya di desa Kunir.
Tak hanya sebagai perumah tangga, totalitasnya dalam mengembangkan agama Buddha juga mendorong beliau untuk menempuh kehidupan samana. Pada 25 Januari 2001 Mbah Kalam diupasampada menjadi Bhikkhu di Thailand dengan nama Bhikkhu Kalannyuta, hingga akhir hayatnya pada 10 Juni 2005 dan dikremasi di Juwana.
Setelah melalui proses selama 9 tahun, BuddhaZine kini telah berpayung hukum dengan naungan Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara. Kami berkantor di Dusun Krecek, Temanggung. Dengan yayasan ini kami berharap bisa mengembangkan Buddhadharma bersama Anda dan segenap masyarakat dusun.
Kami meyakini bahwa salah satu pondasi Buddhadharma terletak di masyarakat yang menjadikan nilai-nilai ajaran Buddha dan kearifan budaya sebagai elemen kehidupan.
Anda dapat bergabung bersama kami dengan berdana di:
Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara
Bank Mandiri
185-00-0160-236-3
KCP Temanggung