• Sunday, 22 December 2019
  • Surahman Ana
  • 0

Apabila kita memiliki suatu cita-cita, harus ditempuh dengan usaha dan tekad. Usaha berkaitan dengan apa saja yang dilakukan, tekad adalah kekuatan batin yang menjadi pendorong untuk berusaha mewujudkan cita-cita tersebut.” 

Berbeda dengan pertunjukan wayang biasanya, penampilan Ki Eko dan kawan-kawan wiyogo dari ISI Surakarta ternyata mampu mengundang para penonton dari berbagai daerah di Temanggung. Bahkan nampak anak-anak muda yang biasanya enggan untuk menonton wayang, kali ini ikut menonton. Di samping lakon yang menjadi favorit dan populer di kalangan pencinta seni wayang, penampilan dalang, dan wiyogo pun turut mempengaruhi minat masyarakat untuk menonton pertunjukan malam itu, Festival Dusun Krecek (2/12).

Ki Eko dengan nama asli Ki M.Ng. Eko Prasetyo, M.Sn yang kemudian oleh Bhante Dittisampano diberi tambahan nama Gutomo Carito adalah seorang dalang buddhis yang lahir di Lampung Tengah, 13 Juni 1984. Sejak kecil oleh orangtua memang digadang menjadi dalang. Untuk mewujudkan cita-cita orang tuanya, ia menempuh pendidikan seni di SMK N 8 Surakarta, jurusan Seni Pedalangan lulus 2002. Selanjutnya ia meneruskan kuliah di ISI Surakarta jurusan Karawitan, lulus tahun 2007, dan S2 Seni Teater, lulus 2014.

Aktivitas Ki Eko saat ini mengajar di Akademi Seni Mangkunegaran, Surakarta bidang Seni Pedalangan dan di STIAB Smaratungga, Ampel, Boyolali. Ia mengampu UKM Karawitan, di samping itu beliau juga sering mengisi pertunjukan wayang kulit utamanya dalam kegiatan-kegiatan vihara.

Atas permintaan warga Dusun Krecek, Ki Eko membawakan lakon Dewa Ruci, yang menurut warga Dusun Krecek, lakon ini lebih dekat dengan kisah-kisah hidup dan ajaran-ajaran Buddha.

Lakon Dewa Ruci diambil dari Kitab Nawaruci karya Mpu Siwamurti yang diperkirakan ditulis pada era Majapahit akhir. Kitab ini kemudian ditulis ulang oleh Yosodipuro I, Pujangga Keraton Kasunanan Surakarta periode paling awal yang berbentuk Macapat dengan judul Serat Dewaruci. Sumber ini kemudian banyak disalin dan kemudian dijadikan rujukan para dalang untuk menyusun lakon.

Alur carita lakon Dewa Ruci

Dikisahkan Bima sedang berguru tentang ajaran Sunyata kepada Resi Drona. Resi Drona memerintahkan Bima untuk mencari Kayu Gung Susuhing Angin. Perintah ini sesungguhnya adalah siasat Drona untuk melenyapkan Bima. Drona melakukan ini atas tekanan Doryudana dan Sengkuni yang selalu diliputi kebencian terhadap para Pandawa.

Bima adalah murid yang sangat patuh kepada gurunya. Ia berangkat menuju tempat berbahaya yang sudah ditentukan Drona. Tempat tersebut adalah Gua Sigrangga yang berada di hutan Tikbrasara, lereng Gunung Candramuka.

Namun, apa yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua dan sekitarnya diobrak-abrik hingga membuat terkejut dua raksasa yang tinggal di sana, yaitu Rukmuka dan Rukmakala. Kemudian terjadi perkelahian antara mereka dan membuat dua raksaksa tersebut terbunuh.

Tak lama kemudian, bangkai Rukmuka dan Rukmakala berubah wujud menjadi Batara Indra dan Bayu.

Dikatakan bahwa Kayu Gung Susuhing Angin adalah ukara pepindhan atau kalimat teka-teki. Kayu berarti Kajeng atau keinginan, Gung artinya besar, luhur, Susuhing Angin adalah napas. Jadi, siapa pun yang memiliki keinginan luhur, terlebih dahulu harus mampu mengamati napasnya sendiri dengan penuh kesadaran. Ini sebenarnya adalah ajaran Pranayama yang disampaikan oleh penulis kisah ini.

Setelah mendapatkan wejangan dari Indra (Sakha) dan Bayu, Bima kembali ke Astina. Agar untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke Astina.

Tirta suci

Di Astina, Drona pun memerintahkan Bima untuk menuju samudera demi mendapatkan Tirta Pawitra atau Tirta Amerta (Air Suci). Sebelum pergi, semua kerabat Bima melarang dan memperingatkan bahwa semua itu hanyalah jebakan. Namun Bima tetap teguh dan bertekad pergi demi melaksanakan titah sang guru. Bahkan jika ia harus menemui kemalangan pun ia siap, sebab ia sendiri memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah Dharma (kebenaran).

Sesampai di tepi laut, ia mengatur segala emosi yang timbul, ketakutan, keraguan di dalam diri atas sanggup dan tidaknya ia memasuki samudera raya. Dengan kesaktian aji Jalasegara yang ia dapatkan dari Batara Bayu pada perjalanan sebelumnya, ia memasuki dasar laut dengan menyibak air, bahkan sanggup bernapas di dalam air.

Alkisah ada naga sebesar pohon tal, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Bima sampai tubuhnya tak mampu bergerak. Tak disengaja, kuku Pancanaka milik Bima menancap di leher naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, laut berwarna merah jingga.

Bima pun mati. Di dalam kondisi itulah, Bima bertemu dengan sosok yang agung, Ia adalah Sang Nawa Ruci atau Dewa Ruci, atau juga disebut sebagai Sang Asyintya (yang tak terpikirkan, Jawa: Tan kena kinaya ngapa).

Di situ, Bima mendapatkan wejangan tentang “sunyata” sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan. Bagi orang Jawa, tujuan tertinggi bukanlah surga yang masih memiliki rupa, melainkan sunyata atau padamnya segala kondisi, segala kotoran batin.

Setelah selesai mendapatkan wejangan, Bima dihidupkan kembali. Kemudian diminta kembali ke kehidupannya untuk melanjutkan tugasnya sebagai seorang ksatria pinandita.

“Pesan yang paling mendasar dalam lakon ini adalah apabila kita memiliki suatu cita-cita, harus ditempuh dengan usaha dan tekad. Usaha berkaitan dengan apa saja yang dilakukan, tekad adalah kekuatan batin yang menjadi pendorong untuk berusaha mewujudkan cita-cita tersebut. Ini mirip dengan kisah Buddha saat berusaha mewujudkan cita-cita-Nya. Beliau bisa mencapai Pencerahan karena tekad yang kuat dan usaha yang pantang menyerah,” jelas Ki Eko.

“Mungkin dalam bahasa buddhisnya Saddha. Saya lebih suka menerjemahkan ini tekad, bukan keyakinan atau keimanan,” imbuhnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara