• Monday, 29 November 2021
  • Deny Hermawan
  • 0

Candi Borobudur yang didirikan pada abad ke-8 mengandung ajaran Buddha Esoterik. Dan ajaran esoterik atau tantra ini berbeda klasifikasinya dengan tantra Vajrayana yang dikenal luas di era modern.

Hal tersebut disampaikan Dr Hudaya Kandahjaya dalam Ceramah Umum Seri Borobudur 1 di ajang Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2021, Jumat (19/11/2021). Ia menyampaikannya dalam presentasi yang berjudul “Kaitan kitab Sang Hyang Kamahayanikan dengan Borobudur”. “Baik Sang Hyang Kamahayanikan maupun Borobudur mengandung unsur yang tidak kita punyai sekarang,” katanya.

Ia menerangkan, analisis yang sudah dilakukan terkait Kitab Sang Hyang Kamahayanikan (SHK) oleh para sarjana era Belanda selama ini kurang akurat dan banyak memiliki kekurangan. Namun ia sepakat dengan argumen R. Goris yang meyakini bahwa SHK sudah dikenal di Jawa abad ke-8, atau di era Borobudur. 

Hal ini menurut dia dibuktikan dengan adanya Prasasti Kelurak (782 Masehi) yang menunjukkan banyak hal yang setara dengan isi SHK. 
Bukti lain menurut Hudaya adalah adanya catatan dari Kukai, biksu pendiri aliran Tantrayana Jepang (Shingon).

Catatan Kukai mengungkap rekannya selama belajar Buddhadharma di Tiongkok, yakni Bianhong, seorang biksu asal Jawa.

Sebelum berangkat ke Tiongkok, diketahui Bianhong sudah mendapatkan realisasi kemampuan batin berkat mempraktikkan ajaran esoterik Cintāmaṇicakra. Dan meditasi terkait Cintāmaṇicakra juga tercatat di SHK.

“Ajaran esoterik sudah dikenal sejak masa Borobudur dibangun,” tegas Hudaya. Terkait ajaran esoterik Borobudur, yang terkait erat dengan SHK, menurut Hudaya tidaklah pas jika diklasifikasikan menurut klasifikasi Tantra buddhis yang dikenal secara umum saat ini, yakni Kriya Tantra, Charya Tantra, Yoga Tantra, dan Anuttara Yoga Tantra. Yang sering luput dari pengamatan banyak orang menurut Hudaya adalah asal mula klasifikasi ini.

“Klasifikasi ini baru muncul di Tibet di abad 12,” katanya.
SHK menurut dia lebih tua dari itu, dan berisi ajaran buddhis esoterik purba. Jadi kalau seorang peneliti memakai empat jenis tantra itu untuk menilai SHK maka penelitiannya akan keliru secara kronologis. “Penelitiannya akan terjebak ke arah anakronistik,” jelas Hudaya.

Kitab SHK menurut dia memiliki keunikan yang tidak ada di bentuk buddhis lain yang dikenal sekarang. Contohnya, SHK mengajarkan praktik 10 Paramita, yakni sad (6) Paramita Mahayana ditambah Brahma Vihara. Hal semacam ini tidak ditemui secara persis di ajaran Buddhisme yang eksis di era kini, baik Theravada maupun Mahayana.

Hudaya menguraikan, ajaran itu bisa dilacak dari teks prasasti di Nusantara yang lebih tua usianya, yakni Prasasti Talang Tuo, tahun 684 Masehi, yang menyebutkan ajaran 10 Paramita versi SHK itu.
“Ajaran di Sang Hyang Kamahayanikan sudah tercantum di Prasasti Talang Tuo,” katanya.

Ajaran lain di SHK menurutnya juga bisa dilacak dari sutra-sutra berusia tua, yang ditulis sekitar abad pertama/kedua Masehi. Sutra-sutra tersebut sudah jarang dikenal/dibahas lagi di era sekarang. Salah satunya adalah Aksayamati Sutra.

Saat sesi tanya jawab Hudaya membahas juga tentang Candi Mendut, yang usianya lebih tua dari Borobudur. Ia menjelaskan, sosok sentral yang ada di Candi Mendut bukanlah Buddha Wairocana atau Maitreya, namun sosok Buddha Sakyamuni, yang diapit oleh Bodhisattwa Lokeshwara dan Wajrapani. 

“Ajaran yang ada di Mendut berhubungan juga dengan yang ada di Sang Hyang Kamahayanikan,” pungkasnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara