• Saturday, 14 November 2015
  • Ngasiran
  • 0

Pada tulisan sebelumnya telah dibahas tentang awal bangkitnya agama Buddha di Banyuwangi (Baca Banyuwangi, Tempat Runtuh dan Bangkitnya Agama Buddha di Nusantara), dalam tulisan ini akan dilanjutkan dengan membahas lebih khusus tentang umat Buddha Banyuwangi di Kecamatan Pesanggaran, dan lebih khusus lagi Desa Kandangan yang merupakan tempat awal berkembangnya agama Buddha di Banyuwangi.

Pesanggaran merupakan salah satu kecamatan di Banyuwangi yang memiliki wilayah paling luas selain Kecamatan Tegaldlimo. Sebagian wilayahnya terdiri dari hutan tropis di sisi utara dan pantai di bagian selatan, serta terdapat gunung-gunung yang tidak terlalu tinggi. Karena sebagian wilayahnya adalah pantai, maka Kecamatan Pesanggaran memiliki banyak tempat wisata pantai yang dikunjungi oleh wisatawan lokal dan mancanegara, seperti Teluk Hijau, Pantai Sukamade, Pantai Rajegwesi, Pulau Merah, Pantai Pancer, dan Pantai Lampon. Kecamatan Pesanggaran juga menjadi tempat wilayah konservasi Taman Nasional Meru Betiri yang melindungi spesies penyu hijau dan banteng Jawa.

Mayoritas penduduk Kecamatan Pesanggaran adalah suku Jawa, yang oleh warga Banyuwangi yang lain disebut “Orang Mentaraman” (Orang Mataram), karena dulu Banyuwangi (Blambangan) pernah dikuasai oleh Kerajaan Mataram. Bertani menjadi mata pencaharian paling banyak dijalani oleh penduduk Kecamatan Pesanggaran.

Secara administratif, Kecamatan Pesanggaran dibagi menjadi lima desa, yaitu Kandangan, Pesanggaran, Sarongan, Sumberagung, dan Sumbermulyo. Di Kecamatan Pesanggaran inilah pertama kali agama Buddha berkembang di Banyuwangi. Menurut data terakhir terdapat 307 KK umat dengan delapan vihara yang tersebar di tiga desa: Kandangan, Sarongan, dan Sumbermulyo.

Seperti dijelaskan pada tulisan sebelumnya, umat Buddha Banyuwangi dari awal berkembang hingga sekarang cenderung mengalami penurunan yang diakibatkan beberapa faktor. Di Desa Kandangan misalnya (daerah lain tidak jauh berbeda), ada beberapa faktor yang membuat umat Buddha Kandangan mengalami penurunan. Ada tiga faktor yang pengaruhnya paling besar, yaitu ekonomi, pernikahan beda agama, dan lemahnya pembinaan.

“Umat Buddha Kandangan rata-rata kelas ekonomi menengah ke bawah, jadi mereka lebih memikirkan kebutuhan jasmani daripada kebutuhan spiritual,” ujar Budiono, ketua Vihara Dhamma Santi, Dusun Krajan, Desa Kandangan.

Pada awal perkembangannya, di Kandangan terdapat satu vihara, yaitu Vihara Dhamma Santi yang dibangun pada tahun1967 di bawah bimbingan Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi). Vihara ini sekaligus menjadi pusat kegiatan umat Buddha di dua desa, yaitu Sarongan dan Kandangan.

“Kandangan sendiri terbagi atas 20 dusun dan hampir semua dusun ada umat Buddha-nya. Karena umatnya semakin banyak, kemudian daerah selatan Kandangan membangun Vihara Pancabala dan Desa Sarongan juga membangun vihara sendiri,” ujar Jumani, pembina umat Buddha dari Abdi Desa Ehipassiko Foundation.

20151112 Di Sinilah Agama Buddha di Banyuwangi Bangkit Kembali_2 20151112 Di Sinilah Agama Buddha di Banyuwangi Bangkit Kembali_3

Dalam perkembangannya, lanjut Jumani, umat Buddha Kandangan cenderung mengalami penurunan yang diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya pernikahan beda agama dan kurangnya pembinaan yang mengakibatkan umat jadi tidak aktif ke vihara, terutama generasi muda yang kurang tersentuh pembinaan.

“Berkembangnya umat Buddha itu kan juga dipengaruhi oleh generasi mudanya. Nah di sini pemudanya tidak terbina, anak muda ketika sekolah keluar kota, setelah itu menikah dan pindah agama. Rata-rata begitu, hanya baru-baru ini saja ada yang menikah tetap beragama Buddha,” jelasnya.

Selain itu, menurut Jumani, rapuhnya bangunan Vihara Dhamma Santi juga membuat umat Buddha Kandangan minder dan malu untuk ke vihara.

“Vihara Dhamma Santi adalah vihara tertua di Banyuwangi namun juga terjelek di Banyuwangi. Kita mau renovasi tidak mampu, swadaya juga tidak mampu. Mengajukan bantuan ke Dirjen Bimas Buddha juga tidak turun-turun. Ini membuat umat jadi minder. Hingga Lebaran tahun 2014, Aryadewi, salah satu umat Buddha Surabaya berkunjung ke sini, dan dia membantu renovasi vihara kami. Lebih senang lagi beliau mengajak Bhante Tejapunnyo yang mau datang melakukan pembinaan di Banyuwangi sebulan sekali,” pungkasnya.

Saat ini umat Buddha Vihara Dhamma Santi berjumlah 60 KK yang tersebar di seluruh Kandangan bagian utara. Meskipun tidak semua umat Buddha aktif dalam kegiatan, namun banyak kegiatan yang dilaksanakan umat vihara ini, diantaranya puja bakti umum yang laksanakan setiap malam Rabu, anjangsana ibu-ibu setiap Rabu malam dan Minggu sore, anjangsana bapak-bapak setiap malam Sabtu, dan yang lebih menarik puja bakti setiap bulan purnama yang diikuti oleh semua umat Kandangan dan Sarongan secara bergilir.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara