• Saturday, 27 February 2021
  • Deny Hermawan
  • 0

Jelas tak ada peninggalan foto apalagi rekaman video untuk mengenal sosok Śākyakīrti, seorang mahaguru dari Muaro Jambi yang hidup di abad ke-7. Namun upaya mengenal sosok itu dapat dilakukan dari prasasti Talang Tuo, yang berasal dari tahun 684 Masehi, di era Kerajaan Sriwijaya. Menurut Hudaya Kandahjaya Ph.D, seorang pakar Buddhisme, tulisan di prasasti itu merupakan gubahan Śākyakīrti.

Rupanya selain itu masih ada cara lain bagi kita untuk mengetahui “isi kepala” Śākyakīrti, yakni melihat dari catatan yang ditinggalkan Yijing. Seperti diketahui, Yijing (I-Tsing) adalah seorang biksu dari Tiongkok yang sempat belajar ke Muaro Jambi di bawah bimbingan Śākyakīrti.

Catatan sejarah

Dari catatan sejarah dapat ditemukan kisah Yijing yang berziarah dari Tiongkok ke India via Sumatera dan kembali ke Tiongkok melalui jalur laut. Masanya di antara tahun 671 hingga 695 M. Dalam kurun waktu itu, Yijing belajar di Mahavihara Nalanda India selama sepuluh tahun dan hampir selama itu pula ia tinggal di Sriwijaya.

Melalui catatannya, Yijing menuliskan tentang gurunya yang bernama Śākyakīrti, seorang guru Dharma (dharmācārya) di Sumatera yang dipandang setara peringkatnya dengan para guru agung yang ada di India.

Menurut Hudaya Kandahjaya, terdapat warisan kitab karya Śākyakīrti yang berjudul Hastadaṇḍaśāstra. Kitab ini pernah diterjemahkan Yijing ke bahasa Tiongkok.

“Saya dulu sudah memulai menerjemahkannya tetapi belum kunjung selesai karena banyak halangan yang membuat proyek ini terus tertunda,” kata Hudaya kepada BuddhaZine belum lama ini.

Ia menerangkan, Kitab Hastadaṇḍaśāstra berisi ajaran Yogācāra, dan punya peran cukup penting dalam kanon Buddhis Tiongkok. Namun kitab ini tidak populer karena kepentingan tradisi ajaran.

“Di Cina dan Asia Timur pada umumnya yang mengikuti tradisi Huayen atau Kegon atau Hwaeom (Avataṃsaka) misalnya, otomatis akan memandang Buddhāvataṃsaka-sūtra sebagai sutra terpenting. Tetapi, sutra ini walaupun besar takkan bisa dikuasai secara terpisah tanpa bantuan sutra-sutra lainnya.

Begitu pun Hastadaṇḍaśāstra, yang khususnya buat Indonesia, menggenggam peran penting untuk menjelaskan ajaran agama Buddha yang berkembang di arsipel (kepulauan Nusantara),” terangnya.

Yogācāra yang secara harfiah berarti “praktik yoga” adalah pemikiran psikologi dan filosofi Buddhis yang menekankan pada fenomenologi dan ontologi melalui kebatinan dengan praktik meditasi / yoga.

Yogācāra sering disebut juga sebagai Cittamātra (cuma batin). Pemikiran ini dikaitkan dengan Buddhisme Mahayana pada sekitar abad ke-4 Masehi. Ajaran Yogācāra menjelaskan bagaimana pengalaman manusia dibangun oleh batin.

Biksu Asaṅga dan Vasubandhu dianggap sebagai filsuf dan pembuat sistem klasik dari pemikiran ini. Yogācāra dalam sejarah telah berpengaruh dalam perkembangan Buddhisme Tibet, Buddhisme Asia Timur, hingga Buddhisme Nusantara.

Profesor studi Buddhis Lambert Schmithausen pernah mengatakan, salah satu ciri utama filsafat Yogācāra adalah konsep vijñapti-mātra yang berarti “sekadar representasi”. Kemunculan paling awal istilah ini ada di bab 8 dari Saṅdhinirmocana Sūtra, yang hanya bertahan dalam terjemahan Tibet dan Tiongkok.

Ini digambarkan sebagai jawaban Sang Buddha atas pertanyaan yang menanyakan “apakah gambar atau replika (pratibimba) yang merupakan objek (gocara) dari konsentrasi meditasi (samadhi), berbeda / terpisah (bhinna) dari batin (citta) atau tidak?”

“Sang Buddha berkata bahwa mereka tidak berbeda, karena gambar-gambar ini adalah vijñapti-mātra,” kata Schmithausen dalam “The Genesis of Yogācāra-Vijñānavāda: Responses and Reflections” yang ditulisnya tahun 2014.

Pandangan Yogācāra ini jugalah yang diyakini oleh Suvarnadvīpi Dharmakīrti, mahaguru dari Muaro Jambi yang lain, tiga abad sesudah era Śākyakīrti. Meskipun demikian, filsafat ini tidak diikuti oleh Atisha Dipamkara Shrijñana, murid Dharmakīrti, yang cenderung menggunakan perspektif Madhyamika. Namun dapat kita lihat bahwa perspektif filosofis yang dianut Mahaguru Śākyakīrti berkembang kuat di era dan wilayahnya, hingga paling tidak tiga ratus tahun berselang.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara