• Thursday, 24 August 2017
  • Andre Sam
  • 0

Kelahiran sebagai manusia seperti seekor kura-kura buta yang hanya dapat memunculkan kepalanya dari samudera luas setiap seratus tahun sekali. Dan ketika kepalanya muncul, ada sebuah cincin yang tepat masuk dalam kepalanya. Demikianlah kondisi kelahiran menjadi manusia yang begitu sulitnya.

Jakarta (17/8), Pengurus SIDDHI (Perkumpulan Sarjana dan Profesional Buddhis Indonesia) cabang Jakarta menggelar acara bertajuk, “Meta Transformational Leadership” Batch 34 di Jl Muwardi 1 No.7 Grogol, Jakarta Barat. Mulai dari pukul 09.00 – 17.00 WIB.

Acara ini diikuti oleh 15 peserta yang cukup antusias, dua pembicara yakni Henry Jonathan dan Wahyudi Akbar mambawakan workshop dengan dinamis serta jauh dari kesan formalitas seperti layaknya workshop pada umumnya. Santai, serius plus terjadi dialog dua arah. Sehingga nuansa di ruangan terasa nyaman.

Dalam salah satu topik pembicaraannya, Wahyudi Akbar menuturkan, “Manusia memiliki kemampuan memilih kata-kata. Menjadi manusia merupakan kondisi yang begitu berharga. Bayangkan, jika kita terlahir menjadi seekor kambing. Dia diberi makan rumput selama satu tahun, apakah dia akan protes? Tidak. Dalam satu tahun itu, ia akan tetap makan rumput. Tidak ada keluhan ataupun protes.

“Sekarang bayangkan jika itu terjadi pada manusia. Bangun tidur makan roti, siang makan roti, malam makan roti. Esoknya begitu lagi hingga satu tahun. Bosan tidak? Protes tidak?” Peserta menjawab serentak protes.

“Jadi sekarang enakan mana? Jadi manusia atau jadi kambing?”

Kali ini peserta cukup kompak untuk menjawab dengan jawaban yang sama, “Kambing…”

Seiisi ruangan menjadi segar dengan canda tawa tersebut.

Apa enaknya jadi manusia?

“Tidak ada enaknya jadi manusia itu.” Sahut pembicara bernama Henry Jonathan, “Menurut Buddha hidup penuh penderitaan, kenapa kok Buddha kurang kerjaan ngomong begitu?”

“Penderitaan itu datang dari keinginan,” jawab spontan dari salah satu peserta.

“Tua, sakit dan mati. Itu adalah penderitaan.” Salah seorang peserta yang lain menambahi, “Kita bisa memilih bahagia. Memang ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, seperti tubuh maupun kondisi sekitar kita.”

Wahyudi Akbar setelah beberapa jeda sesaat kembali menuturkan, “Dukkha merupakan suatu keadaan yang tidak pas! Sehingga solusinya adalah menerima keadaan.

“Salah memaknai situasi mempengaruhi benak (pikiran dan perasaan), kemudian hal itu mempengaruhi keputusan, sehingga berpengaruh pada tindakan kita yang ujungnya menentukan kualitas kehidupan kita.”

Ciri manusia

Apakah ada bedanya kita dengan makhluk yang lain? Beberapa peserta ketika menanggapi pertanyaan tersebut jawabannya variatif tetapi ada beberapa benang merah yang sama, yakni manusia memiliki akal sehat dan kesadaran serta mampu menciptakan solusi.

“Sebagai manusia, kita bisa memilih dan memutuskan. Setiap pilihan ada konsekuensi dan resikonya. Sebagai contoh jika ada yang nanya, mau makan apa? Jika jawabannya terserah. Maka dia telah memilih, memilih untuk tidak memilih. Konsekuensi menyangkut sebuah proses, sementara resiko adalah sisi pahitnya. Konsekuensi dan resiko adalah sebuah tanggung jawab,” demikian pungkas Wahyudi Akbar.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara