• Tuesday, 27 November 2018
  • Surahman Ana
  • 0

Pembukaan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) ke-7 dilaksanakan di aula Hotel Grand INNA Malioboro, Yogyakarta pada Kamis (22/10). Dalam BWCF yang ke-7 ini mengusung tema Taveling & Diary: Membaca Ulang Kitab-Kitab Pelawat Asing ke Nusantara. Peserta yang mengikuti BWCF berasal dari daerah Yogyakarta dan sekitar dengan dihadiri beberapa para penulis Indonesia.

Dalam acara ini juga diadakan pameran buku dari dua puluh delapan penerbit yang digelar di ruangan depan pintu masuk aula. Acara pembukaan dimulai sekitar pukul 15.30 WIB yang diawali dengan penampilan grup musik tradisional Nusa Tuak (Sasando).

Seusai penampilan grup musik acara dilanjutkan dengan pidato pembukaan yang diisi oleh Mudji Sutrisno. Dalam petikan pidatonya Romo Mudji menyampaikan pengaruh para pelawat asing dalam perkembangan Buddhadharma di Nusantara.

“Dari kumpulan surat-surat I Tsing yang di baca Yi Jing di abad ke-7 yang berjudul Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan atau Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan, misalnya kita diberi kesempatan membayangkan bagaimana situasi di Shili Foshi diperkirakan adalah Jambi pada tahun 671. I Tsing di usia 37 tahun singgah dan belajar Sabdavidiya (tata bahasa Sanskerta) selama enam bulan sebelum berangkat ke Nalanda, India. Dan bagaimana setelah belajar di Nalanda selama sepuluh tahun ia membawa pulang teks-teks Tripitaka sejumlah lima ratus ribu sloka dari India dan kembali berdiam di Shili Foshi, menerjemahkan, mengirimkan ke China. Karena itu dan maka dari itu bukunya berjudul Kiriman catatan dari Laut Selatan. Dan Laut Selatan ini, para saudara dan saudari dalam hal ini menunjuk Kepulauan Melayu.”

“Dari surat I Tsing kota Foshi diinformasikan berbenteng dengan ribuan biksu di dalamnya. Para biksu ini memperlajari semua mata pelajaran tepat, persis yang disaksikan I Tsing di kerajaan tengah Madyadesa India atau Nalanda. Tata cara dan upacaranya sama sekali tidak berbeda. Dari catatan I Tsing ini paling tidak kita bisa membayangkan bahwa di kota Foshi pernah terdapat sebuah pusat studi kesarjanaan Buddhis yang memiliki relasi internasional dengan studi Buddhis yang berpusat di Nalanda, India. Kesaksian I Tsing memberikan kita pemahaman bahwa di abad ke-7 itu sebuah kota kita di Sumatera sudah berperan aktif  dalam globalisme studi Buddhis di Asia,” tutur Romo Mudji.

Setelah pidato pembukaan, selanjutnya acara diisi dengan acara peluncuran buku dan penjelasan singkat dari para penulisnya. Acara peluncuran buku terbagi menjadi dua sesi. Sesi pertama menghadirkan lima penulis yaitu Dr. Tan Ta Sen dengan bukunya Cheng Ho, Penyebar Islam dari China Ke Nusantara; Salim Lee dengan bukunya Ketenaran Nusantara di Mata Dunia; Kesaksian Karya Yi Jing di Abad ke-7; Prof. Joko Suryo: Indonesia di Mata India, Kala Tagore Melawat ke Nusantara, karya Iwan Nurdaya-Djafar; Mona Lohanda: Painting dan description of Batavia in Heydt’s book of 1744 karya Romo A. Heuken S,J; Dr. S. Margana: Suma Oriental Karya Tome Pirez.

Pada sesi kedua menghadirkan empat narasumber yaitu Halim HD dengan mengulas buku yang berjudul Gunung Kidulan karya Wonggunung; Andi Muhammad Akbar: Islamisasi Bugis; I Gusti Dibal Ranuh: Napak Tilas Perjalanan Dang Hyang Nirata di Bali, dan terakhir Azhari Aiyub; Novel Kura-Kura Berjanggut.

Sebagai penutup acara pembukaan BWCF, acara diisi dengan pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Hudaya Kandahjaya dengan tema Borobudur: Bagan Perjalanan Spiritual Tiga Dimensi.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara