• Friday, 29 November 2019
  • Ngasiran
  • 0

Om sujud kepada Arya Bhagavati Prajnaparamita!

Saat itu, Arya Avalokiteshvara sedang menyelami Prajnaparamita, namun yang tampak dalam pengamatan beliau hanyalah panca-skandha yang bersifat sunya dari svabhava.

Oh Sariputra, wujud adalah sunyata, sunyata adalah wujud; sunyata tak lain dari wujud, wujud tak lain dari sunyata; wujud apa pun itu sunyata, sunyata apa pun itu wujud. Begitu juga sensasi, pembedaan, aktivitas-aktivitas mental yang lain, dan kesadaran.

Oh Sariputra, semua Dharma bersifat sunya; tiada yang muncul dan tiada yang lenyap; tidak bernoda dan tidak murni; tiada yang kurang dan tiada yang lengkap.

Oleh karena itu, Sariputra, dalam sunyata tiada wujud, tiada sensasi, tiada pembedaan, tiada aktivitas-aktivitas mental yang lain, tiada kesadaran; tiada mata. Tiada telinga, tiada hidung, tiada lidah, tiada badan, tiada unsur kesadaran.

Tiada wujud, tiada suara, tiada bebauan, tiada rasa, tiada objek sentuhan, dan tiada Dharma. Tiada indra penglihatan, dan sebagainya, termasuk tiada unsur kesadaran. Tiada kesalahpengertian, tiada berakhirnya kesalahpengertian, dan sebagainya, termasuk tiada penuaan dan kematian, tiada berakhirnya penuaan dan kematian.

Tiada dukha, tiada sebab duhkha, tiada berakhirnya duhkha, tiada jalan untuk mengakhiri dukha. Tiada pengertian, tiada yang dicapai, dan tiada yang tidak dicapai.

Maka Sariputra, karena tiada yang ingin dicapai, dengan mengandalkan Prajnaparamita, Bodhisattwa bebas dari segala gangguan pikiran. Karena bebas dari segala gangguan pikiran, mereka tidak gentar. Dan dengan mengatasi penyebab halangan-halangan, pada akhirnya mereka mencapai Nirvana.

Semua Buddha di tiga masa, mencapai tingkat yang tak terbandingkan, Penggugahan agung yang lengkap dan sempurna, dengan mengandalkan Prajnaparamita.

Maka ketahuilah Prajnaparamita adalah mantra agung, mantra pengetahuan agung, mantra yang tertinggi, mantra yang tak terbandingkan, yang secara tuntas mengatasi semua dukha. Mantra yang seyogianya dimengerti sebagai kebenaran sejati, yang tidak mungkin palsu. Dengan Prajnaparamita, diutarakanlah mantra ini:

Tadyatha Gate Gate Paragate Parasamgate Bodhi Svaha

Syair di atas diambil dari Prajnaparamita Hrdaya Sutra yang diterjemahkan dari bahasa Sanskerta oleh tim Potowa Center, Jakarta. Oleh Danang Suseno, seorang penggubah gamelan, Prajnaparamita Hrdaya Sutra digubah menjadi sebuah kidung dengan iringan musik gamelan Jawa. Prajnaparamita Hrdaya Sutra dianggap memiliki makna yang mendalam, menjelaskan sebuah kebenaran sejati. Pembuatan kidung Prajnaparamita, baik dalam bahasa Sanskerta maupun dalam bahasa Indonesia mendapat respon positif, juga dapat dinikmati oleh semua kalangan.

Kidung dalam versi syair bahasa Indonesia seperti yang diunggah di akun YouTube Albert Song tanggal 13 Agustus 2014, sudah ditonton lebih dari 31 ribu kali, disukai oleh 546 orang dan mendapat 62 komentar bernada positif. “Seperti kembali ke Indonesia abad ke-8, semua orang mawas diri, eling, dan waspada mendengar sutra dibacakan,” tulis akun Subroto Xing. “Ditunggu sutra-sutra yang lain. Menenangkan batin,” tulis akun Parmin Savano.

“Saya Pandita Hindu dari Malaysia, mengagumkan rasanya, universal, menciutkan rohku, syahbas saudara! Moga Jagat ketenganan dan Om Shanti,” tulis akun Ramakrishnan Sinnasamy.

Sementara, kidung Prajnaparamita dalam syair bahasa Sanskerta mendapat respon positif lebih banyak dari masyarakat. Sejak diposting di akun Youtube bernama Konsultan Karen Sasikirana Ashalina pada 1 Februari 2018, sudah ditonton lebih dari 331 ribu kali, disukai oleh 4,4 ribu orang dan mendapat 888 komentar bernada positif. Komentar positif tak hanya berasal dari umat Buddha.

Akun Dodik Setiawan misalnya, menuliskan komentar, “Meskipun agama saya Islam tapi saya sangat menyukai kidung ini, sungguh tenang, nyaman, dan damai. Semoga semua makhluk berbahagia. Rahayu sagung dumadi.”

“Pakai langgam Jawa jadi enak didengar. Walaupun saya Katolik, tapi kakek dan buyut saya beragama Buddha dan Hindu Kejawen. Jadi ingat dulu pernah diajak berdoa bareng di tempat semadi pas masih kecil,” tulis akun Febrian Adhika.

Sepintas Danang Suseno dan Proses Kreatifnya

Kidung Prajnaparamita, baik versi bahasa Sanskerta maupun dalam versi Indonesia dengan iringan gamelan Jawa adalah garapan Danang Suseno, putra Ki Manteb Soedarsono. Seolah membuktikan pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” laki-laki kelahiran Karangpandan 21 November 1980, itu juga mengikuti jejak bapaknya, menjadi seniman wayang kulit.

Sebagai seorang putra dalang, memegang wayang dan gamelan memang sudah menjadi keseharian Danang Suseno. Baginya, gamelan menjadi medium Ayahnya dalam mendidik dan mengarahkan karakternya menjadi pribadi yang mencintai seni dan kebudayaan Jawa.

“Sejak kecil, kalau saya pulang sekolah, pulang dari bermain itu Bapak kan pasti sedang di depan gamelan. Memang itu aktivitas keseharian Bapak. Kadang saya dipanggil, kalau minta sangu (uang jajan), Biasanya Bapak bilang kene (sini) tak ajari, kene ngarep rene. Kalau permainan saya bagus biasanya dikasih seratus ribu, kalau kurang bagus ya lima puluh ribu, kalau bagus ya ditambahi lagi, itu cara Bapak mendidik,” tutur Mas Danang kepada BuddhaZine.

“Tapi saya menyadari itu cara mendidik ya sekarang ini waktu sudah dewasa. Waktu saya masih mbujang, masih sekolah, durung ndue dugo ya mikirnya Bapak ini sibuk mayang terus, mau ketemu, mau ngajak dolan saja tidak punya waktu,” imbuhnya.

Melalui tempaan itu, kini Danang Suseno menjadi seorang dalang handal berjuluk Ki Danang S. Tak hanya menjadi dalang, pemilik sanggar Bimo Putro ini juga membuka usaha membuat gamelan sekaligus menjadi penggubah gending-gending Jawa. Kidung Wahyu Kolosebo, Prajnaparamita dalam dua versi bahasa menjadi beberapa karyanya yang fenomental dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia.

“Saya kan nggak tau doanya teman-teman Buddhis Mas. Jadi dalam penggarapan itu saya tidak berani sembrono, apalagi itu sebuah sutra, sebuah mantra dengan makna mendalam. Bimbingan Om Salim Lee dan teman-teman komunitas Potowa Center sangat membantu saya dalam membuat gending itu,” kata Mas Danang berkisah proses pembuatan penciptaan gending Prajnaparamita kepada BuddhaZine.

Kidung Prajnaparamita digarap Mas Danang sekitar tahun 2013. Setidaknya membutuhkan waktu 1 bulan unntuk garapan mentah. “Karena itu perlu inspirasi, proses digital yang harus memasukkan ornamen gamelan satu persatu membutuhkan waktu cukup lama. Hampir ratusan kali kita muter itu terus, karena kita harus ngolah terus menerus. Musik, lagu itu kan kumpulan dari pecahan-pecahan nada, ornamen-ornamen itu kita masukkan satu persatu dengan karakteristiknya masing-masing. Nah kebetulan kok ya karya saya diterima,” jelasnya.

“Terus kenapa gamelan,” lanjut Danang.  “Ya, karena saya wong Jowo, apa pun aliran musiknya saya ingin tetap identitas sebagai orang Jawa, tetap ada gamelan yang menjadi identitas diri kita, sebagai orang Indonesia. Ternyata karya saya diterima Prajnaparamitta terus Karaniya Metta Sutta, Wahyu Kolosebo juga yang mendorong saya untuk terus berkarya.

“Yang penting bagi saya berani urun karya, tidak usah takut karya kita dianggap jelek, jelek masih bisa diperbaiki. Intinya kalau karya kita direspon positif dan banyak disenangi orang-orang ya Alhamdulilah. Kebetulan saya tidak sendiri, ada Om Salim yang sudah saya anggap seperti orangtua saya, juga guru saya. Apalagi dekat dengan Bapak dan teman-teman dari Potowa Center juga.

Mas Danang juga berpesan kepada para seniman untuk berani berkarya. “Yang penting kita berani untuk ikut menciptakan sejarah untuk anak-anak dan cucu kita,” pungkasnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara