• Tuesday, 28 June 2022
  • Klisin
  • 0

Hingga kini, sejumlah daerah masih merayakan Dharma Santi Waisak. Sekitar 500 umat Buddha di Temanggung mengikuti perayaan Waisak 2566 BE/2022 di Vihara Prajna Karunna Loka Dusun Rowo, Desa Kertosari, Kecamatan Jumo, Sabtu (25/06). Lima Bhikkhu Sangha turut menghadiri kegiatan ini.

Eva Prasetyo, koordinator pemuda Buddhis Dusun Rowo menyatakan bahwa perayaan mengundang umat dari puluhan vihara yang tersebar di wilayah Kabupaten Temanggung dan Kendal. “Kurang lebih 20 vihara yang kami undang, meliputi wilayah Kecamatan Candiroto, Parakan, Ngadirejo, Jumo, Kaloran, dan ada juga dari Kecamatan Patean Kabupaten Kendal. Meskipun hujan dan pelaksanaannya malam hari, tapi ternyata umat tetap antusias mengikuti acara, yang datang cukup banyak,” ungkapnya.

Perayaan Waisak berbalut budaya berupa lantunan paritta dalam Bahawa Jawa mendapatkan apresiasi dan dukungan Bhante Subhapanno sebagai pengisi pesan Waisak. Menururut bhante, budaya Jawa mengandung nilai-nilai kebajikan dan kedamaian hati yang bisa bermanfaat dalam kehidupan umat Buddha. 

“Agama Buddha dan budaya ini tidak terpisahkan. Karena di dalam budaya mengandung nilai-nilai luhur yang juga diajarkan oleh Guru Agung kita,maka ada istilah budaya adi luhung. Budaya mampu mengkondisikan hati kita menjadi lebih halus, sehingga perilaku serta ucapan kita pun akan lebih lembut, punya sopan santun serta pengendalian diri. Selama budaya ini masih dilestarikan umat Buddha, maka ajaran Buddha juga tetap kuat mengakar. Maka sebagai umat Buddha hendaknya tetap melestarikan budaya yang sudah menjadi warisan dari nenek moyang kita ini,” jelas bhante.

Bhante juga mendorong umat yang hadir untuk senantiasa menumbuhkan dan mengembangkan sikap toleransi serta saling menghormati umat agama lain dalam kehidupan bermasyarakat. “Sebagai umat Buddha kita juga hidup berdampingan dengan umat agama-agama lain dalam masyarakat, keberagaman ini terjadi sebab negara kita ini negara Pancasila. Sejak jaman nenek moyang kita di era kerajaan Majapahit bahkan di era sebelumnya, budaya toleransi sudah dijalankan oleh para pendahulu kita. Sehingga kita saat ini mengingat jaman dahulu yang sudah menjadi hal lumrah, dimana kita hidup bersama, saling membantu, saling menolong, hidup rukun di dalam perbedan-perbedaan yang ada,” imbuhnya.

Menyikapi kemajuan jaman dalam kehidupan saat ini, menurut bhante ada dua hal yang harus dipahami oleh umat Buddha. Pertama dari sisi tekstual dimana umat Buddha mempunyai keyakinan terhadap ajaran Buddha yang tertuang dalam wujud teks yaitu kitab Suci Tripitaka. Namun bhante juga menegaskan bahwa tidak semua yang ada dalam kehidupan ini tercantum dalam Tripitaka. Seperti halnya yang pernah dikatakan Guru Agung dalam kisah segenggam daun. Dimana ajaran Buddha diibaratkan hanya segenggam daun dibandingkan dengan daun-daun yang ada di hutan dimana Guru Agung berada saat itu. 

“Akan tetapi ajaran yang ibarat hanya segenggam daun ini akan membawa umat manusia terbebas dari penderitaan apabila dipelajari dan dijalankan dengan benar dan sungguh-sungguh. Karena tidak semua tercantum dalam Tripitak, akhirnya kita juga harus memahami hal kedua yaitu sisi kontekstual. Dimana kita memahami kenyataan hidup saat ini dengan segala kemajuannya. Berbagai kemajuan teknologi saat ini memang tidak tertuang dalam Tripitaka, tetapi bukan berarti Agama Buddha menolak kemajuan,” tegas bhante.

Sisi kontekstual berkaitan dengan tema besar Waisak nasional tahun ini yaitu tentang moderasi. Bhante manyampaikan bahwa moderasi berarti jalan tengah yang mengarah kepada kebijaksanaan menjalani kehidupan. “Kemajuan teknologi yang saat ini sudah merambah bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa harus kita sikapi dengan kebijaksanaan. Hal ini sudah menjadi bagian dari ketidakkekalan hidup, semua mengalami perubahan dari jaman ke jaman, annica. Dan kita harus menerima perubahan ini.”

“Kalau kita hanya terpaku dengan apa yang tertuang dalam kitab suci lalu kita meganggap kemajuan teknologi tidak cocok dengan Agama Buddha kemudian menolak, ya malah kita akan ketinggalan jaman. Sekali lagi Agama Buddha tidak menolak kemajuan teknologi,” lanjutnya.

Bhante menambahkan bahwa kemajuan teknologi justru harus dimanfaatkan untuk memudahkan umat dalam mengembangkan hal-hal yang baik. “Pengaruh teknologi sepenuhnya tergantung dari kita sebagai penggunanya. Maka dari itu gunakanlah teknologi untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat. Dengan teknologi kita juga bisa lebih mudah mengakses ajaran-ajaran Guru Agung melalui media sosial.”

“Maka sebagai umat Buddha gunakanlah media sosial untuk lebih banyak mendapatkan pengetahuan Dhamma. Sebagaimana kita tahu bahwa Guru Agung sangat menekankan praktik Sila, Samadhi, dan Panna bagi kita sebagai umat Buddha. Dengan kemudahan kita mendapatkan pengetahuan tentang Sila, Samadhi dan Panna akan mendorong kita untuk mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari,” pungkas Bhante. [MM]

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *