Berjumpa dengan kawan se-dharma dari vihara lain bisa memberi semangat kepada umat Buddha di perdesaan. Melalui ruang-ruang perjumpaan seperti pada kegiatan anjangsana vihara, peringatan hari raya keagamaan Buddha, dan pertemuan-pertemuan rutin, umat Buddha di perdesaan bisa termotivasi.
Begitu yang diungkapkan Sri Hartati (52), umat Buddha Desa Ngabeyan, Kec. Candiroto, Kab. Temanggung. Sejak usia belia, Ia sudah aktif dalam kegiatan umat Buddha. “Dulu sering ke Kaloran, ikut kegiatan-kegiatan umat Buddha. Dulu kan ada pertemuan rutin ibu-ibu ke Vihara Cemara, ke Desa Celapar, Bulu, Kaloran, dan banyak lainnya,” katanya kepada BuddhaZine, Selasa (26/10) lalu.
Jarak tempuh bukan penghalang bagi Sri Hartati untuk menghadiri perayaan, atau anjangsana vihara. Tak jarang ia berpindah-pindah angkutan umum dan jalan kaki untuk menuju suatu vihara bila terpaksa. “Pernah dulu pulang dari mengikuti acara Waisak di Borobudur ikut teman-teman ke Vihara Dharma Surya, Dusun Janggleng, Kaloran. Kami naik angkot sampai Pasar Kaloran, dari sana jalan kaki sampai vihara” lanjutnya.
Meskipun begitu, Sri Hartati mengaku senang karena bisa bertemu dengan sesama umat Buddha. Bahkan ia mengaku tidak pernah absen mengikuti peringatan Waisak di Candi Borobudur, “Kalau acara Waisak di Candi Borobudur ambil air di Jumprit. Setelah ambil air saya langsung bablas ke Borobudur. Bisa sampai 3 hari, 3 malam di Borobudur. Ya senang saja. Kalau Waisak tahun ini tidak ada karena Korona ya,” tuturnya.
Cerita kegembiraan mengikuti kegiatan-kegiatan umat Buddha juga dirasakan oleh Kunyaenah (56), istri tokoh umat Buddha Desa Ngabeyan. Ibu dari 5 anak ini mengaku tak pernah ketinggalan dalam mengikuti kegiatan vihara. “Kalau Waisak saya pasti ke Candi Borobudur,” katanya.
Kondisi berbeda sangat dirasakan oleh Sri Hartati dan Kunyaneah sekarang. Jumlah umat Buddha yang semakin berkurang juga berpengaruh terhadap aktivitas vihara. “Kalau Waisak bisa dua bus yang berangkat dari sini. Kalau sekarang berbeda, umat Buddha-nya tinggal yang tua-tua, kebanyakan hanya kaum perempuan. Yang laki-laki sudah pada sepuh, dan banyak yang meninggal. Sementara generasi mudanya tidak ada yang mengikuti,” kata Kunyaenah.
3 dusun 1 Vihara
Secara atministrasi, Desa Ngabeyan masuk wilayah Kecamatan Candiroto. Di Kecamatan Candiroto terdapat beberapa komunitas umat Buddha yang tersebar di Desa Gunung Payung, dan Desa Ngabeyan. Di Desa Ngabeyan ini terdapat Vihara Prajna Dwipa Loka yang menjadi tempat aktivitas puja bakti umat Buddha Ngabeyan, Dusun Kalimati, dan Dusun Bantir.
Umat Buddha ketiga dusun tersebut memiliki akar sejarah yang sama. Menurut keterangan Kunyaenah, agama Buddha berkembang di ketiga dusun tersebut mulai tahun 1968, tidak jauh berbeda dengan tumbuhnya umat Buddha kecamatan lain di Temanggung. Mbah Sunoto, suami Kunyaenah adalah tokoh kunci perkembangan umat Buddha di sana.
“Sebelum mendirikan vihara, umat Buddha melakukan puja bakti dan pertemuan-pertemuan di sini (rumah Mbah Noto). Lalu mendirikan vihara, dari sana umat semakin berkembang,” katanya.
Memang tidak ada data pasti, tapi menurut penuturan beberapa sumber, puncak perkembangan agama Buddha di Desa Ngabeyan, Bantir, dan Dusun Kalimati sempat naik signifikan. Di Dusun Ngabeyan saja sampai 40 kk, Bantir 5kk, dan Kalimati 7kk. Kondisi itu sangat berbeda dengan sekarang yang keseluruhan umat Buddha di tiga dusun itu hanya 23 jiwa. Itupun tinggal orang-orang sepuh saja.
“Sekarang sedikit, di sini (Desa Ngabeyan) mungkin tinggal 15 kk, itu saja tinggal orang-orang sepuh,” tutur Sri Hartati. “Di rumah ini saja tinggal sendiri,” imbuhnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara