• Friday, 23 December 2022
  • Surahman
  • 0

Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF), sebuah wahana pertemuan penulis, pekerja kreatif, budaya dan keagamaan, menyelenggarakan Diklat Jurnalisme Arkeologi pertama di Temanggung. Sebanyak 30 peserta mengikuti acara pada 17-20 Desember yang dihelat di Hotel Indraloka, Temanggung. Kehidupan masyarakat buddhis di Indonesia dinilai dekat dengan dunia arkelogi.

Diklat menghadirkan sembilan narasumber, diantaranya: Bhante Ditthisampanno (penasehat BWCF – STAB Smaratungga Boyolali), Sugeng Riyanto (Arkeolog-Peneliti Ahli Madya BRIN), Chris Dharmawan (Arsitek-Pemilik Museum Rumah Peranakan, Parakan), Ahmad Arif (Jurnalis Senior Kompas), Dwi Cahyono (Arkeolog dan Redaktur KlikTimes.com), Candra Gautama (Editor Senior Penerbitan Kepustakaan Populer Gramedia), Fendi Siregar (Fotografer Senior), Naswan Iskandar (Arkeolog-Sutradara Film), Seno Joko Suyono (Redaktur Pelaksana Majalah Tempo-BWCF).

Ketua pelaksana Diklat, Seno Joko Suyono menyampaikan bahwa pelatihan merupakan salah satu program dari BWCF di tahun ini. “Diklat Jurnalisme Arkeologi baru pertama kali kami laksanakan dimana ini merupakan salah satu program BWCF di tahun ini. Sementara program lainnya di akhir Desember nanti kami akan mengadakan retret meditasi di Borobudur . Dan mungkin program ini bisa dilanjutkan untuk tahun-tahun ke depan,” katanya.

Bhante Dithi Sampanno, penasehat BWCF dalam sambutan pembukaan menjelaskan kaitan antara peradaban Buddhisme masa lalu di Nusantara dengan tradisi dan kebudayaan di Indonesia saat ini. Menurut Bhante, pemikiran-pemikiran Buddhisme masa lalu sudah melekat dalam masyarat Indonesia dan masih dijalankan hingga saat ini.  

 “Kalau melihat sejarah, sebenarnya Agama Buddha di Indonesia sudah menjadi peradaban dan nilai-nilainya sudah melekat dalam pemikiran orang Indonesia. Ada beberapa hal yang saya temukan ketika melatih diri sebagai seorang Bhikkhu, ada beberapa peraturan yang sebenarnya dalam tradisi lama terutama di Jawa itu sudah dijalankan oleh masyarakat saat itu. Seperti contohnya kalau dulu semasih saya kecil kalau mau buang air kecil tidak boleh berdiri, kemudian kalau makan tidak boleh di depan pintu, atau tidak boleh sambil bersuara. Nah ini ketika saya menjadi bhikkhu peraturan ini ternyata ada, seperti tidak boleh meludah di air, buang air kecil dengan berdiri dan sebagainya,” jelas Bhante.

Wujud pengaruh Buddhisme dalam kearifan lokal Nusantara juga bisa ditemukan dalam beberapa istilah atau pun mantra yang digunakan oleh para sesepuh saat ini. Salah satunya seperti pemakaian mantra  Hong Wilaheng, Awignam Astu Nama Sidam. Menurut Bhante, Mantra ini juga sudah digunakan oleh para Bhikkhu dan sesepuh Buddhis di masa lalu. 

Selain nilai-nilai dalam pelaksanaan hidup keseharian, Bhante menambahkan bahwa Agama Buddha khususnya di era kerajaan dulu sudah menyatu dengan kearifan lokal yang ada saat itu. Munculnya kitab Buddha Jawa “Sang Hyang Kamahayanikan”, merupakan wujud bahwa Agama Buddha masih tetap menjaga dan melestarikan kelokalan Nusantara. 

“Bahkan kitab ini digunakan ketika tahun 60an, dimana saat itu pemerintah mengeluarkan peraturan kriteria sebuah agama agar bisa diakui oleh negara, yaitu salah satunya adalah setiap agama harus berTuhan. Dari para sesepuh Buddhis pada waktu itu memunculkan sendiri sebutan Tuhan atau Ketuhanan dalam agama Buddha, dan itu ditemukan dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan yaitu Adi Buddha. Jadi, Adi Buddha pengertiannya bahwa Buddha adalah yang absolut, paling tinggi. Kalau dipadukan dengan keTuhanan di agama-agama lain itu sama, inilah wujud kelokalan yang dimunculkan kembali di era tahun 60-an. Bahkan diambil dari kita Jawa kuno,” imbuh Bhante.

Diklat dilaksanakan secara indoor maupun outdoor. Hari pertama peserta diajak mengunjungi situs Liyangan di Ngadirejo, Temanggung yang dipandu oleh arkeolog Sugeng Riyanto. Selain itu peserta juga diajak mengunjungi rumah-rumah penduduk sekitar Liyangan yang menyimpan benda-benda peninggalan serta mengunjungi situs yang terletak di Masjid Limbungan Parakan. Hari kedua peserta diajak berkunjung ke beberapa rumah peranakan di Parakan yang dipandu oleh arsitek Chris Dharmawan. 

Dua hari terakhir peserta mengikuti sesi diskusi terkait arkeologi dengan pemateri-pemateri lainnya dan  pemutaran film arkeologi di sesi menjelang penutupan Diklat. [MM]

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara