• Tuesday, 30 October 2012
  • Sutar Soemitro
  • 0

Libur akhir pekan panjang bagi banyak anak muda biasanya diisi dengan bersenang-senang. Tapi 186 anak muda ini lebih memilih mengikuti sebuah camp untuk melatih diri, Tzu Ching Camp.

Mereka mengikuti Tzu Ching di Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta tanggal 26-28 Oktober 2012. Camp ini rutin diadakan setiap tahun, pada tahun ketujuh ini terasa istimewa karena untuk pertama kalinya diadakan di Tzu Chi Center, rumah baru Tzu Chi yang diresmikan tanggal 9 Oktober lalu. Tzu Ching sendiri adalah perkumpulan relawan muda Tzu Chi, khususnya mahasiswa.

Tema camp kali ini adalah “Bergandengan Tangan Merangkul Dunia dengan Welas Asih”. Chandra Ferdinand, ketua panitia camp menjelaskan makna tema ini, “Kita semua lahir di bumi ini, kita besar di bumi ini. Kita tumbuh berkembang di atas bumi ini, sudah sepantasnya kita memperlakukan bumi ini sebagai ibu kita. Atau sebagai saudara kita, kita harus menyayangi, mencintai, menjaga, dan merawat, karena kalau kita tidak melindungi atau menyayangi bumi pasti suatu saat akan rusak.”

Tzu Chi selama ini memang dikenal sangat concern terhadap pelestarian lingkungan. Program daur ulang yang digagas Tzu Chi sangat dikenal luas dan melibatkan banyak orang negara asal Tzu Chi di Taiwan. Di Indonesia, program daur ulang juga telah cukup lama dijalankan. Pada camp kali ini, peserta mendapat pemaparan tentang arti penting pelestarian lingkungan dan juga vegetarian untuk memperlambat proses pemanasan global.

Selain tentang pelestarian lingkungan dan vegetarian, tema lain adalah pengenalan Tzu Chi beserta visi misinya, meneladani jejak langkah pendiri Tzu Chi Master Cheng Yen, budaya Tzu Chi, kerelawanan, hingga berbakti kepada orangtua. “Tujuan camp ini agar generasi muda ke arah yang lebih positif. Hidup mereka jadi lebih baik dari sebelumnya,” jelas Chandra Ferdinand.

 

20121030 Tzu Ching Camp VII, Belajar Welas Asih Selagi Muda_2

Mengenal Rumah Baru Tzu Chi

Peserta juga mendapat kesempatan mengenal lebih jauh rumah Tzu Chi yang baru. Pada hari kedua, peserta diajak berkeliling komplek Tzu Chi Center yang secara terbagi dalam tiga bagian: Aula Jing Si, Tzu Chi School, dan DAAI TV. Tiap sudut Tzu Chi Center tampil menawan dengan sentuhan desain artistik bernuansa oriental, berbahan dasar alam, dan tentu saja go green. Semua ruangan didesain semaksimal mungkin memanfaatkan cahaya alami matahari dan sirkulasi alami. Peserta camp tak berhenti takjub dan terlihat sekali mereka harus menahan keinginan untuk berfoto ria.

Ketika tiba di area Tzu Chi School yang memiliki fasilitas sangat lengkap, relawan Elvy Kurniawan, menjelaskan kenapa Tzu Chi membangun sekolah internasional yang berstandar tinggi. Salah satu misi Tzu Chi adalah misi pendidikan, bukan hanya misi kemanusiaan. Segmen yang disasar Tzu Chi School untuk memperkenalkan pendidikan Tzu Chi yang berlandaskan pendidikan budi pekerti, berbeda dengan segmen misi kemanusiaan. Sekolah ini mengutamakan kualitas pendidikan, para murid berasal dari golongan ekonomi mampu. Ia juga menuturkan biaya di Tzu Chi School tidak terlalu berbeda jauh dengan sekolah-sekolah internasional atau national plus pada umumnya. Kalau untuk sekolah bagi orang tidak mampu, Tzu Chi telah lama mendirikan Sekolah Cinta Kasih yang berada di komplek Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, rumah susun yang dibangun khusus bagi eks penghuni bantaran Kali Angke.

Usai berkeliling, Sudarno, relawan Tzu Chi yang juga mantan ketua Tzu Ching mengajukan pertanyaan menggelitik, “Pasti kalian bertanya-tanya kenapa Tzu Chi membangun gedung sebesar ini? Padahal misi Tzu Chi membantu orang tidak mampu.” Ia kemudian menceritakan bahwa selama beberapa tahun Tzu Chi telah memberikan bantuan beras sebanyak 80 ribu ton bagi masyarakat Indonesia. Jika dihitung, total biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 720 milyar.

Beras mungkin tidak sampai satu bulan akan habis. “Gedung ini biaya pembangunannya 600 milyar, tapi bisa bertahan ribuan tahun untuk mengumpulkan lebih banyak Bodhisattva untuk membagikan beras lebih banyak lagi,” jelas Sudarno. “Gedung ini nilainya jauh lebih besar daripada beras 80 ribu ton.”

 

20121030 Tzu Ching Camp VII, Belajar Welas Asih Selagi Muda_3

Dari Medan Hingga Papua

Peserta camp kali ini berasal dari Jakarta, Tangerang, Bandung, Surabaya, Medan, Batam, Pekanbaru, Singkawang, Makassar, hingga Papua. Agama mereka pun beragam, tidak hanya dari Buddhis.

Misalnya empat peserta dari Makassar yang terlihat mencolok, mereka berempat berjilbab. Mereka tak terlihat kikuk. Nuraisyah yang tercatat sebagai mahasiswi Universitas Negeri Makassar tidak merasakan ada upaya doktrinasi ajaran Buddha. ”Waktu kebaktian, yang Muslim dan Kristiani tidak ikut, pisah di belakang,” tuturnya. Lalu, apa yang ia peroleh? “Banyak pelajaran tata krama yang saya dapat, dari cara jalan, tidur, duduk. Tata krama yang belum saya dapat di luar saya dapat di sini,” kata Nuraisyah, “Saya beruntung bisa berbuat baik tapi tetap Islam.”

Kesan serupa juga diperoleh ketua panitia Chandra Ferdinand yang putra asli Papua sewaktu baru mengenal Tzu Chi. Chandra Ferdinand yang berwajah sangat asli Papua lahir dan besar di kota Biak, dengan ayah Tionghoa dan ibu asli Papua. “Yang saya salut di Tzu Chi bukan hanya belajar tentang Buddhis, tapi mencakup semua agama, tidak memandang latar belakang suatu individu, latar belakang, atau kalangan. Di sini lintas agama, merangkul semuanya,” jelasnya. Bukti paling terlihat dari ucapannya adalah ia yang asli Papua bisa terpilih menjadi ketua panitia Tzu Camp kali ini.

Chandra Ferdinand yang kini kuliah di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta mengenal Tzu Chi sejak kelas 3 SMP ketika relawan dari Taiwan melakukan bakti sosial membagikan beras cinta kasih dari Taiwan di Papua. “Orang yang begitu jauh dari luar negeri datang ke ujung timur Indonesia untuk membagikan beras kepada saudara-saudara yang tidak mampu. Mereka benar-benar penuh cinta kasih seperti Bodhisattva. Mereka tidak melihat jarak jauh dekat, latar belakang suatu individu sehingga mereka mau jauh-jauh datang ke ujung Indonesia membagi beras, memperkenalkan Tzu Chi, menjalin jodoh dengan kita,” tutur Chandra Ferdinand.

Sementara peserta camp dari Batam, Susanto, bercerita tentang tekadnya untuk bervegetarian sepulang dari camp. “Saya orang yang sangat susah untuk vegetarian,” ia mengawali kisahnya. Beberapa waktu lalu ia diajak relawan Tzu Chi Batam untuk main dalam sebuah drama musikal Tzu Chi akhir tahun ini dan diharuskan bervegetarian selama 108 hari. Sebagai anak perantauan dari luar pulau yang kuliah di Batam, ia merasa berat untuk bervegetarian karena biaya makan vegetarian lebih mahal. Ia pun kemudian mencoba “menawar” dalam sehari vegetarian satu kali dari tiga kali makan, dan ternyata disanggupi. “Tapi setelah ikut camp ini, saya akan vegetarian sehari tiga kali selama 108 hari,” tekad Susanto yang segera disambut tepuk tangan meriah.

Susanto juga bercerita tentang sikap buruknya selama ini kepada orangtuanya, yang akan ia perbaiki. “Saya sering melawan orangtua saya. Setiap hari dia telepon, tapi saya jawab, ‘Ma, saya kerja. Jangan ganggu!’ Mama saya bilang, ‘Sorry’. Setelah itu mama saya telepon hanya seminggu sekali,” ujarnya merasa bersalah. “Tapi setelah mengikuti sesi berbakti kepada orangtua, saya bisa mengerti alasan kekhawatiran mama saya.”

Cerita berbeda datang dari Gilbert, peserta dari Medan yang masih duduk di kelas 3 SMA. “Dulu saya remaja yang suka senang-senang, ah ngapain bantu orang,” ungkapnya jujur, “Pertama lihat Tzu Chi saya berpikir, ‘Apa sih senangnya membantu? Kenapa orang-orang itu suka menolong orang? Bahkan saya melihat seragamnya saja, wah cupu kali!’” Para peserta camp tertawa mendengar logat Medan Gilbert keluar.

Suatu ketika ia diajak ibunya yang sudah menjadi relawan Tzu Chi ikut acara donor darah Tzu Chi di sebuah sekolah di Medan. Ia berpikir, “Di sekolah ini kok anak mudanya semangat sekali membantu mengarahkan orang yang mau mendonorkan darahnya.” Gilbert menjadi merasa malu karena sebagai anak muda saat itu ia sendirian yang tidak ikut membantu. Akhirnya ia pun ikut membantu. “Di situ saya merasakan ternyata membantu orang tuh sangat seru. Ada perasaan senang juga,” tutur Gilbert. Sejak dari situ ia mulai tertarik dan masuk ke Tzu Ching.

Bagi Gilbert, selain mendapat banyak teman baru, ikut camp ini juga membuatnya mengintrospeksi diri. “Master Cheng Yen adalah manusia biasa yang bisa capek. Tapi meskipun begitu capek, tapi demi kita, demi orang-orang yang dia layani, Master rela untuk keluar, meskipun lelah ia tetap berjalan,” jelas Gilbert. “Saya sangat malu, karena saya ikut sesi pagi aja ngantuk.”

Usai sharing Gilbert, Elvy Kurniawan yang kali ini menjadi MC bertanya pada Gilbert, “Kamu tahu nggak arti logo (di baju) kamu?” “Lupa,” jawab Gilbert yang mengundang tawa peserta camp. “Logo Tzu Ching adalah lilin. Lilin artinya kita diharapkan bisa menjadi penerang, bisa menjadi teladan di tengah-tengah lingkungan sekitar kita. Saya bisa ibaratkan, Gilbert adalah lilin yang sudah dinyalakan, sekarang giliran Gilbert menjadi teladan bagi yang lain. Setuju teman-teman?” Tepuk tangan meriah pun segera menyahut pertanyaan Elvy.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara