• Monday, 28 May 2018
  • Deny Hermawan
  • 0

Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada abad ke telah meluluhlantakkan peradaban Mataram Kuno, yang dikenal juga sebagai Kerajaan Medang. Letusan tersebut, ditambah bencana lain, sangat berpengaruh pada situasi geopolitik saat itu, menyebabkan pusat peradaban Jawa Kuno yang melahirkan Dinasti Sanjaya dan Syailendra itu akhirnya dipindah ke Jawa Timur.

Hal itu diungkapkan oleh Dr. Didit Hadi Barianto, pakar geologi dari UGM, dalam diskusi “Proses Geologi yang Menutup Jejak Peninggalan Kraton Medang Abad VIII-X Masehi”. Diskusi digelar oleh Medang Heritage Society, Kamis (25/5) di Museum Sonobudoyo Yogyakarta.

Ia menerangkan, Indonesia adalah wilayah yang ditabrak oleh empat lempeng besar sejak puluhan juta tahun lalu, sehingga wajar kalau menjadi kawasan rawan bencana, baik gunung api maupun gempa bumi, maupun longsor. Menurutnya, banyak bangunan hasil budaya Medang tertimbun oleh bencana itu.

“Banyak peninggalan peradaban Medang terletak di zona patahan aktif, termasuk Candi Prambanan. Setting-setting pembangunan candi biasanya berhubungan dengan tinggian gunung api,” terang Didit.

Ia meneruskan, tiap candi memiliki kisah berbeda hingga akhirnya menyebabkan kerusakan. Didit menerangkan, untuk kasus Candi Kedulan, sesuai penelitiannya, yang paling merusak adalah efek lahar, mirip di Candi Sambisari. Namun di Candi Kedulan ditemukan ada lapisan tanah di bawah lapisan lahar. Ia menduga, candi sudah ditinggalkan sebelum terkena letusan.

“Ada temuan karbon dan akar pohon terbakar di level yang sama di candi itu, sehingga ada kemungkinan candi itu dahulu dibakar. Rusaknya candi juga ambruk ke bawah, tidak yang kalau karena lahar ambruk ke samping. Jadi kalau tidak dihancurkan, itu karena gempa,” terangnya.

Baca juga: “Borobudur, Bukti Kecanggihan Ilmu Astronomi Masyarakat Jawa Kuno”

Ia menduga, pembakaran candi tidak hanya terjadi di Candi Kedulan. Sebab ia melihat peninggalan karbon di beberapa candi lain.

“Mungkin itu karena terjadi konflik Hindu-Buddha saat itu,” katanya.

Untuk Candi Borobudur, Didit menerangkan, kerusakannya lebih disebabkan karena gempa, oleh deformasi bumi, pengaruh tektonik, atau pergerakan lempeng, bukan karena tektonik. Meskipun demikian, ada juga pengaruh abu vulkanik terhadap candi Buddhis terbesar di dunia itu.

“Itu terlihat dari foto temuan awal candi, candi ‘mblenduk’ (melengkung) ke atas,” paparnya.

Didit meneruskan, sejak 3000 hingga 250 tahun lalu telah terjadi 7 kali letusan besar Merapi. Ini menurutnya berpengaruh menimbun candi-candi di kebudayaan Medang.

“Ini belum dihitung karena debu vulkanik dari gunung lain, misal Gunung Kelud,” terangnya.

Namun, ia menambahkan, untuk area Jawa Tengah utara, menurutnya candi-candi di kawasan tersebut tidak tertimbun material Merapi, namun tertimbun lumpur hitam dari gunung lumpur, yang jenisnya seperti lumpur Bledug Kuwu di Grobogan. Ciri lumpurnya sama dengan lumpur Lapindo yang terletak di Jawa Timur.

“Timbunan dari gunung lumpur itu menyebar dari pesisir utara Jawa sampai ke Madura,” terangnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara